![Gus Dur dalam Bingkai Satu Dasawarsa Peringatan Haul](https://islami.co/wp-content/uploads/2020/03/20200306_123755-768x717.jpg)
Peringatan adalah tanda cinta. Lewat peringatan, kita berarti menaruh perhatian pada sesuatu secara sadar dan utuh. Seperti kata seorang bijak: lawan dari cinta bukanlah benci, melainkan ketidakpedulian. Itulah kenapa seorang pencinta rela menyita waktunya demi perhatian, peringatan, simpati, dan segala rasa kepedulian lainnya demi suatu hal yang dianggapnya pantas.
Selama rentang bulan Januari hingga Februari lalu, ratusan orang berjibaku mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, dan materi demi memperingati wafatnya seorang figur yang dicintai bersama, yaitu KH. Abdurrahman Wahid. Ya, kami semua memperingati sepuluh tahun wafatnya sosok yang akrab dipanggil Gus Dur tersebut selama dua bulan.
Peringatan haul, atau wafatnya seseorang, biasanya memang diselenggarakan selama sehari/semalam setiap tahun sekali. Tapi di Yogyakarta, kami memutuskan untuk membuat satu rangkaian acara cukup panjang untuk memperingatinya. Meski peringatan sedasawarsa haul Gus Dur ini diinisasi oleh Komunitas Gusdurian Jogja, tapi rasa memiliki dan mencintai yang melekat pada diri seluruh lapisan masyarakat Jogja akhirnya membuat acara ini menjadi milik bersama.
Selain sebagai momentum pengingat, peringatan haul ini juga dimaksudkan untuk menyebarkan nilai, pemikiran, dan keteladanan Gus Dur kepada kalangan yang lebih luas dan segmen yang lebih beragam. Maka dari itu, rangkaian acara haul lalu diisi oleh berbagai kegiatan yang beragam pula, seperti tahlil dan doa keliling pesantren, ziarah pemikiran yang membedah buku-buku Gus Dur di berbagai tempat epistemik, dan festival kampung yang menayangkan film tentang toleransi dan acara-acara kebudayaan di desa.
Selain itu, ada pula festival urban yang memfasilitasi masyarakat perkotaan agar lebih mengenal Gus Dur lewat pameran foto dokumentasi, dan puncaknya yaitu pengajian kebangsaan yang dihadiri oleh ribuan orang dari berbagai elemen yang ikut mendoakan Gus Dur dan bangsa Indonesia.
Presiden keempat RI itu adalah sosok multidimensi yang telah menelurkan banyak pelajaran hidup dan mewariskan berlimpah kebijaksanaan, dengan atau tanpa “celana kepresidenan”. Setidaknya, lewat pengalaman mengkurasi ribuan foto Gus Dur untuk keperluan pameran, sedikit-banyak saya mendapat banyak wawasan baru tentang kukuhnya sepak terjang Gus Dur dalam menjaga negara dan bangsa ini.
Dalam pameran foto dokumentasi Gus Dur yang menjadi kegiatan utama festival urban, terdapat lebih dari dua puluh foto yang ditampilkan. Sebagian besar foto Gus Dur tersebut diambil dari arsip The Wahid Institute, sedangkan selebihnya ditambahkan dari arsip DIAN/Interfidei, dua lembaga yang didirikan oleh Gus Dur beserta kawan-kawannya.
Dari berbagai bingkai foto dokumentasi yang memotret aktivitas Gus Dur semasa hidup, saya menaruh perhatian pada beberapa foto yang saya anggap monumental, sering menjadi obrolan, dan beberapa potret “baru” yang tidak pernah saya temui di internet. Berikut adalah foto-foto Gus Dur yang saya ambil sebagian dari pameran foto dokumentasi peringatan sedasawarsa haul Gus Dur di Yogyakarta:
[FOTO 1]
[FOTO 2]
[FOTO 3]
[FOTO 4]
[FOTO 5]
[FOTO 6]
Dan, [FOTO 7]
Sebagian potret Gus Dur yang lain menampilkan beberapa peristiwa penting bersejarah hingga aktivitas keseharian Gus Dur, seperti potret Gus Dur sesaat setelah pelantikan presiden pada 20 Oktober 1999; aktivitas Gus Dur saat bersilaturahmi (sowan) ke Gus Maksum, Gus Miek, Tuan Guru Sekumpul, dan Habib Abu Bakar bin Hasan Al-Atas; hingga pertemuannya dengan Hugo Chávez dalam sebuah kesempatan yang memperlihatkan keakraban kedua pemimpin negara itu.
Akhir kalam, sepuluh tahun lebih berlalu sejak Sang Guru Bangsa mangkat pada 30 Desember 2009. Kini, raganya memang tak bisa kita jumpai seperti dulu, tapi warisan pemikirannya tetap dan akan selalu hidup, menyebar, serta berlipat-ganda. Gus Dur sudah meneladankan, saatnya kita melanjutkan!