Salah satu perkara yang harus diimani setiap orang mukallaf ialah percaya qadha dan qadar. Artinya, harus mengimani bahwasanya segala kebaikan dan keburukan pasti ada kaitannya dengan Allah SWT, atau kalau dalam bahasa Arab, “khairihi wa syarrihi minallah.”
Dijelaskan oleh Syekh Muhammad al-Fudhali, dalam kitabnya yang berjudul Kifayah al-‘Awam fi ‘Ilm al-Kalam, bahwasanya qadha ialah kehendak Allah yang sudah ada sejak zaman azali. Sedangkan qadar adalah pengadaan yang sudah ditentukan di azali itu. Pendapat lain yang lebih sederhana bahwa qadha itu pengetahuan Allah sejak azali, sedangkan qadar itu pengadaan yang disesuaikan dengan pengetahuan.
Pembahasan menyangkut qadha dan qadar memang sering menjadi pembahasan yang sulit dijumpai titik temunya, dan harus berhenti pada tahap yang penting mengimaninya. Karena apabila seseorang memiliki konsep yang kurang tepat, dapat menimbulkan pikiran yang seakan ingin menjangkau–atau sekadar meraba–Dzat Allah SWT. Padahal mengingat keterbatasan akal yang dimiliki makhluk, tidak mungkin untuk bisa menjangkau Dzat Sang Khaliq.
Dalam suatu kuliah umum, Gus Baha pernah ditanya oleh salah seorang santri seputar qadha dan qadar. Khususnya penjelasan terkait kemaksiatan yang dilakukan oleh seorang hamba, serta kaitannya dengan ketentuan Allah Swt.
Menjawab pertanyaan yang cukup ekstrem tersebut, terlebih dahulu Gus Baha mengingatkan para hadirin supaya senantiasa menanamkan kesalehan tatkala membincang urusan qadha dan qadar. Karena apabila tidak menanamkan kesalehan, pemikiran seseorang bisa menjadi kriminil.
Bisa jadi seseorang yang memikirkan hal tersebut menganggap bahwa ia menjalankan ketaatan itu karena “dipaksa” Allah SWT, begitu juga ketika melaksanakan kemaksiatan. Atau sebaliknya, ia beranggapan bahwa kebaikan dan kemaksiatan yang dilakukan “hanya” atas kehendaknya sendiri, tanpa campur tangan Allah.
“Apabila seseorang sudah cukup saleh, maka ia akan menyadari bahwasanya Allah itu sangat keren. Bagaimana tidak, karena Allah mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi pada hamba-Nya, kebaikan maupun keburukan,” jelas Gus Baha.
Kiai asal Rembang, Jawa Tengah, ini menambahkan bahwasanya, seorang hamba sepatutnya merasa bangga karena ia memiliki Tuhan yang serba tahu. Hal itu tentu akan menghilangkau keragu-raguan seorang hamba bahwa yang disembah ialah sebenar-benarnya Tuhan. Karena, betapa anehnya, apabila Tuhan tidak tahu masa depan hamba-Nya.
Soal kepanikan seorang hamba yang kadang merasa bahwa amal kesalehannya di dunia itu tidak berguna, itu adalah kesalahannya secara pribadi. Ia kecewa karena mungkin saja kesalehannya tidak menjadikannya masuk surga. Padahal apabila seseorang benar-benar hamba Allah (‘abdan lillah), pasti tetap bangga. Karena memiliki Tuhan yang tahu segalanya dan bisa berkehendak apa pun.
Baca juga: Perempuan ini Menyadarkan Seorang Menteri
Selanjutnya Gus Baha mengutip argumen Imam Hasan bin Ali, menyangkut aturan iman yang mensyaratkan adanya iman pada qadha dan qadar Allah SWT.
مَنْ لَا يُؤمِنْ بِاللّٰهِ وَقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ فَقَدْ كَفَرَ، وَمَنْ حَمَّلَ ذَنْبَهُ رَبَّهُ فَقَدْ فَجَرَ. إِنَّ اللّٰهَ لَا يُطَاعُ اسْتِكْرَاهاً، وَلَا يُعْصَى لِغَلَبَةٍ؛ لِأَنَّهُ المـَليْكُ لِمَا مَلَّكَهُمْ، وَالقَادِرُ عَلَى مَا أَقْدَرَهُمْ.
“Orang yang tidak beriman pada Allah, serta qadha dan qadar-Nya, maka telah kafir. Dan orang yang menimpakan dosanya atas Tuhannya, maka telah durhaka. Sesungguhnya Allah itu tidak ditaati dengan cara paksa, serta tidak didurhakai karena kalah. Karena Allah adalah Dzat yang merajai segala hal yang diberikan kepada hamba-Nya, juga Dzat yang kuasa atas segala hal yang dikuasakan kepada hamba-Nya.”
Memang aneh, apabila seorang hamba melakukan dosa, kemudian menimpakan dosanya kepada Tuhannya, dengan alasan dipaksa. Padahal dalam kenyataannya saja sudah jelas, Tuhannya tidak menyuruhnya untuk maksiat. Perilaku inilah yang disebut oleh Gus Baha sebagai perilaku sangat kriminal yang dilakukan oleh seorang hamba.
Apabila seorang hamba tidak mengimani qadha dan qadar-nya Allah SWT, maka dihukumi kafir, karena apabila Allah tidak memiliki kuasa atau pengetahuan akan segala hal yang terjadi pada makhluk-Nya, maka ada suatu keadaan yang berada di luar kerajaan-Nya. Sebab, jika ada yang tidak mengetahui tetapi disebut Tuhan, maka sangat tidak mungkin menjadi Tuhan yang sesungguhnya.
Selain penuturan di atas, Gus Baha juga menyebutkan hadis yang diceritakan oleh Abdullah bin Mas’ud, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda;
إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِي فَأَمْسِكُوا وَإِذَا ذُكِرَت النُّجُوْمُ فَأَمْسِكُوا وَإِذَا ذُكِرَ القَدَرُ فَأَمْسِكُوا
“Apabila dibicarakan tentang sahabatku, hendaklah kalian diam. Apabila dibicarakan bintang-bintang, hendaklah kalian diam. Apabila dibicarakan tentang taqdir, hendaklah kalian diam.” (H.R. Tabrani)
Berdasar berbagai uraian di atas, dapat dimengerti bahwasanya terdapat dua pilihan apabila seseorang mencoba membicarakan tentang qadha dan qadar. Pertama, melanjutkan penjelasan apabila dapat memberikan kemaslahatan. Kedua, menahan diri supaya tidak membicarakan hal yang masih berada di luar pengetahuannya. (AN)
Wallahu a’lam bish shawab.