Terkadang kita berharap banyak kepada seseorang. Namun ternyata ia mengecewakan kita. Saat dikecewakan manusia seperti itu, kita tentu baper, bahkan berujung dendam.
Logika manusia secara umum tentunya tidak bisa menerima tatkala dia atau orang terdekatnya dituduh melakukan sesuatu yang tidak diperbuatnya atau dalam kata lain ia dikecewakan manusia. Misalnya, ketika anak yang kita sayangi dituduh melakukan pencurian, padahal kita jelas mengetahui dan sangat yakin bahwa ia tidak melakukan apa yang dituduhkan. Sebagai orang tua, tentu kita akan merasa sakit hati.
Apabila yang menuduh ialah orang yang yang memang sebelumnya tidak disukai, normalnya kita akan semakin tidak simpatik kepadanya. Sedangkan jika yang menuduh ialah orang yang sebelumnya sempat dekat dengan kita, maka kita akan merasa kecewa kepadanya. Bahkan mungkin karena itu, hubungan kita dengannya bisa jadi semakin kita renggangkan.
Kondisi hampir serupa juga pernah dialami oleh Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, sehingga kemudian diturunkanlah Al-Qur’an surah An-Nur [24] ayat 22.
وَلَا یَأۡتَلِ أُو۟لُوا۟ ٱلۡفَضۡلِ مِنكُمۡ وَٱلسَّعَةِ أَن یُؤۡتُوۤا۟ أُو۟لِی ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡمَسَـٰكِینَ وَٱلۡمُهَـٰجِرِینَ فِی سَبِیلِ ٱللَّهِۖ وَلۡیَعۡفُوا۟ وَلۡیَصۡفَحُوۤا۟ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن یَغۡفِرَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُور رَّحِیمٌ
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kalian bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak suka bahwa Allah mengampuni kalian? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Q.S. An-Nur [24]: 22]
Dalam pengajian Tafsir Jalalain yang diampu oleh K.H. Bahauddin Nursalim (Gus Baha), kami pernah mendengar penjelasan bahwa ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan perilaku Sayyidina Abu Bakar yang bersumpah tidak akan bersedekah lagi kepada kerabatnya yang bernama Misthah. Adapun alasannya ialah karena Abu Bakar merasa kecewa kepada Misthah yang terlibat dalam penyebaran kabar bohong tentang Sayyidah ‘Aisyah, yang tidak lain ialah putri Abu Bakar, serta istri Rasulullah Saw.
Menurut Gus Baha, sikap yang diambil Abu Bakar jika mengikuti logika manusia memang tampak wajar-wajar saja. Karena memang sudah sepantasnya apabila orang tua merasa kecewa kepada seseorang yang menuduh anak yang dikasihinya melakukan tindakan yang melanggar syariat. Padahal sejatinya tidak melakukan. Justru malah aneh apabila orang tua tidak menjadi saksi atas kebenaran anaknya sendiri.
Akan tetapi sikap yang diambil Abu Bakar itu ternyata tidak dibenarkan oleh Allah SWT, kemudian diturunkanlah ayat Al-Qur’an yang disebutkan di atas. Sebagaimana kita tahu, bahwa Allah itu senantiasa memerintahkan hamba-Nya untuk berbuat kebaikan. Sehingga tidak mungkin Allah membenarkan perilaku yang dapat menjadi sebab terputusnya kebaikan, yaitu terputusnya kebaikan Abu Bakar yang sebelumnya menjadi donatur tetap untuk Misthah dan keluarganya.
Gus Baha menuturkan bahwa, “Itulah perintah Allah–yang meskipun berat–tetap harus dijalani. Cocok atau tidak (kepada orang lain), kalau sudah perintah Allah maka harus dijalani. Jangan sampai kekecewaan itu menjadi penyebab terputusnya kebaikan.”
Contoh lain yang disebutkan oleh kiai muda asal Rembang ini ialah tentang Nabi Musa a.s. yang merasa kecewa kepada Bani Israil. Suatu saat Nabi Musa berdoa kepada Allah supaya golongan Bani Israil tidak berbicara buruk kepadanya. Harapannya supaya Nabi Musa bisa merasa nyaman ketika berdakwah. Tetapi Allah justru tidak berkenan menuruti permintaan yang berdasar atas kekecewaan Nabi Musa a.s.
يَا مُوْسَى، هٰذَا شَيْئٌ لَمْ أَصْطَفِيهِ لِنَفْسِي، فَكَيْفَ أَصْنَعُهُ بِكَ؟ إِنِّي أَخْلُقُهُمْ وَأَرْزُقُهُمْ، وَإِنَّهُمْ يَسُبُّونَنِي ويَشْتُمَونَنِي.
“Wahai Musa, Aku saja tidak menjadikan hal itu untuk diri-Ku, bagaimana Aku membuatnya untukmu? Padahal sesungguhnya Aku yang menciptakan mereka dan memberi mereka rezeki, tetapi mereka menghina-Ku dan mengumpat kepada-Ku.”
Dalam kesempatan tersebut, Rais Syuriah PBNU ini juga turut memberikan peringatan kepada para guru agama supaya tidak mudah kecewa kepada muridnya. Jika seorang guru kecewa kepada muridnya, kemudian ia bersumpah untuk tidak mengajarkan ilmu lagi, maka betapa banyaknya kerugian yang akan datang pada keduanya. Karena menurut Gus Baha, sedekah seorang guru yang akan langgeng itu adalah mengajarkan ilmu Allah kepada murid-muridnya.
Kerugian pertama ialah bagi seorang guru yang bersumpah itu sendiri, karena terputuslah amal kebaikan yang sudah dilanggengkannya. Kerugian kedua ialah bagi seorang murid yang dianggapnya telah mengecewakan, karena bisa jadi murid tersebut tidak memperoleh pengajaran agama yang baik lagi, atau bahkan tidak minat belajar agama lagi.
“Mendiamkan orang lain itu boleh. Apalagi mendidik, tentu sangat boleh. Akan tetapi bisa menjadi tidak boleh, jika hal itu bisa memutus amal kebaikan yang biasa dilakukannya. Selain itu juga jangan sampai atas nama Allah dijadikan sebagai penghalang amal kebaikan,” pungkas Gus Baha.
Kekecewaan itu tentu hal wajar yang dialami manusia, tinggal bagaimana cara kita mengelola dan menyikapi kekecewaan itu saja. Karena di antara orang yang dianggap baik ialah mereka yang mampu menahan emosinya sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa apabila kita dikecewakan manusia dan kita hanya menuruti rasa kecewa itu saja, maka dapat menyebabkan terputusnya berbagai amal kebaikan yang biasa dilakukan. Padahal Allah senantiasa memerintahkan hamba-Nya untuk menambah kebaikan, serta tidak melegalkan hamba-Nya memutus amal kebaikan barang sekecil apa pun.