Sebagian besar orang menghabiskan waktu malam hari untuk tidur. Tujuannya untuk mengecas energi setelah beraktivitas sepanjang hari. Namun, ada juga sebagian lain yang kesulitan untuk tidur, sehingga ia terpaksa menghabiskan malam hari dengan begadang.
Selain menjadi waktu yang pas untuk beristirahat, malam hari juga menjadi waktu yang istimewa untuk beribadah dan berdoa kepada Allah SWT. Banyak sekali amalan sunnah yang dapat dikerjakan, seperti shalat Witir, shalat Hajat, hingga shalat Tahajud.
Meski demikian, tidak jarang ditemukan orang begadang yang lebih memilih untuk bersantai atau rebahan, sembari mendengarkan musik, menonton film, hingga bermain game. Mereka tidak tergerak untuk melakukan amal ibadah yang mungkin saja disebabkan tubuhnya yang lelah.
Menurut KH. Bahauddin Nur Salim, seseorang yang menghabiskan waktu malam hari dengan begadang dan hanya bersantai atau rebahan, maka ia harus tetap bersyukur. Karena dengan melakukan hal-hal yang membuatnya senang, selama itu dibolehkan oleh syariat, sesungguhnya ia sedang tarkul ma’ashi (meninggalkan maksiat).
“Alhamdulillah, malam ini saya nggak zina, nggak maling, nggak dugem,” ucapnya mencontohkan.
Dengan berkeyakinan seperti itu, seseorang tidak perlu minder saat melihat orang lain beribadah, yang bisa jadi membuatnya merasa tidak mendapat hidayah dari Allah SWT. Barangkali justru melalui hal-hal itulah Allah melimpahkan hidayah-Nya, sehingga hamba-Nya terhindar dari maksiat.
Pengasuh Pondok Pesantren LP3IA Rembang tersebut kemudian mengutip sebuah penjelasan dari Ulama.
إِذْ مَا مِنْ مُبَاحٍ إِلَّا وَ يَتَحَقَّقُ بِهِ تَرْكُ حَرَامٍ مَا
Setiap perkara mubah yang dilakukan pasti di saat bersamaan ada pekara haram yang ditinggalkan.
“Makanya dulu banyak orang saleh yang semalaman guyon tok (hanya bercanda), guyon sampai pagi. Bukan karena ingin urakan (membuat keributan), tapi ingin mengalahkan setan (godaan untuk bermaksiat),” ujarnya.
Ulama yang akrab disapa Gus Baha ini menceritakan bahwa banyak ulama dahulu menggunakan hal-hal yang menyenangkan untuk ‘melawan setan’. Mereka bercanda dengan temannya atau melakukan permainan yang dibolehkan.
“Karena setan itu paling senang kalau melihat orang mukmin susah. Kalau susah terus jadi ngersula (mengeluh), kalau ngersula jadi menggugat qadha dan qadar,” jelasnya.
Selain sebagai ‘pemantik’ untuk selalu mensyukuri nikmat Allah berupa dijauhkan dari maksiat, meyakini bahwa terdapat perkara haram yang ditinggalkan saat seseorang melakukan perkara mubah juga dapat menjauhkan kita dari sikap merendahkan orang lain. Jangan sampai, hanya karena melihat orang lain rebahan dan tidak melakukan amalan sunnah, lalu kita dengan gegabah merasa lebih baik dari dirinya. Naudzubillahi min dzalik. (AN)