Sekelompok buruh tampak bergerombol dan berteriak dengan narasi yang lebih dihaluskan dari yel-yel “buruh bersatu tak bisa dikalahkan”, berhadap-hadapan dengan aparat keamanan ingin menemui bosnya. Bentrokan terjadi, gambaran film akan dibawa ke arah mana saya coba menebak, walaupun ternyata tidak seluruhnya benar.
Seperti lazimnya film khas Joko Anwar, film ini berusaha menampikan satu peristiwa dalam filmnya dengan lebih dari satu sudut pandang, walaupun mungkin film tergoda menjadi abu-abu. Sementara, Gundala jelas pahlawan pembela kebenaran, artinya pengkotakan siapa salah dan siapa benar nyaris tetap dibutuhkan.
Parameter saya menonton film super hero adalah “The Dark Knight”-nya Christopher Nolan, dan masih belum berubah sepertinya, menikmati petualangan pembela kebenaran ternyata bisa menjadi persoalan yang lebih rumit sekadar bersembunyi di balik topeng. Namun, jika film hanya sebagai sebuah sarana hiburan semata, menurut saya Gundala sudah cukup.
Film Gundala, merupakan film adaptasi komik “Gundala Putra Petir” karya Harya Suraminata. Jika versi komiknya, sosok di balik Gundala yaitu Sancaka, adalah peneliti yang mencari serum anti petir. Dalam film, Sancaka tempak sebagai representasi kelas proletar. Bahkan, awalan buruh pabrik yang berdemo tadi adalah penggambaran ayah Sancaka yang bersama kawan-kawannya menuntut kesejahteraan.
Sancaka kecil, sebatang kara kemudian. Menjadi pengamen, dan bertahan hidup sampai menjadi penjaga kemananan di sebuah percetakan.
“Gundala Negeri Ini Butuh Patriot” tentu kemudian hasil tafsir Joko Anwar yang kita nikmati kemudian. Dari sisi tagline judul saya sudah berkerut kening, terasa begitu polos. Walaupun setelah menonton, ceritanya tidak sepolos demikian.
Penggambaran sekian karakter yang bertentangan dalam satu frame nyaris mendominasi. Progresif, ataupun oportunis ada dalam rajutan dari benang cerita, setidaknya sampai setengah film hal tersebut masih terasa kental.
Sancaka kecil yang seperti terlalu dini diajarkan menuntut hak dan keadilan, mendapati konswekensi logis, dia kemudian sendirian menggelandang.
Adegan saat tiba-tiba dia diajak masuk ke mobil mewah dengan pasangan orang kaya yang ingin mengangkatnya sebagai anak, lantas ditolaknya dengan bayangan anak seusianya sedang diganggu di luar mobil, sungguh seperti pikulan berat yang seolah dia sadar akan menanggungnya.
Membela kebenaran di usia terlalu dini tadi lantas tidak lama terpatahkan, saat Sancaka kecil bertemu Awang, pesan tidak usah terlalu mencampuri urusan orang lain, setidaknya menggelayut dalam pikirannya seiring kerinduannya dengan ibunya yang selalu hadir dalam mimpi saat dia tertidur. Lantas, kedatangan Wulan seolah-olah menjadi titisan ayahnya saat menyampaikan pesan keadilan, ketika konflik pedagang dengan preman pasar berkecamuk.
“Gundala Negeri Ini Butuh Patriot” tampak pula menjadi seperti rangkuman beberapa film Joko Anwar sendiri di sana sini. Beberapa adegannya tampak familiar misal dalam “Folklore: A Mother’s Love”, atau “Pengabdi Setan”. Bahkan lagu “Kelam Malam” juga diperdengarkan ulang di film ini berbaur dengan kritik urban semisal dalam “Pintu Terlarang”.
Jika kemudian film ini tidak hanya berhenti sebagai konsumsi hiburan saja adalah dalam hal bagaimana persoalan moralitas yang kemudian dibungkus dengan bahasa simbol tentang beras, dan ketakutan akan generasi ke depan yang digambarkan oleh sekolompok ibu-ibu hamil. Sisipan tentang konsumsi hoax juga seolah menjadi keresehan Joko Anwar sendiri yang kemudian ikut dihadirkan.
Antagonis yang dibangun pun tidak serta merta terlahir menjadi penjahat. Transformasi Pengkor (diperankan Bront Palarae) anak keluarga kaya yang juga harus menyaksikan orang tuanya meninggal bersamaan luka bakar yang menjadi penanda luka dendamnya.
Pengkor musuh Gundala tersebut, sejarah hidupnya seperti tidak jauh berbeda dengan Sancaka. Sancaka kecil, dan Pengkor kecil seolah menjadi miniatur korban saat dua kelas berperang. Tumbuh dalam ketidak adilan lantas membuat mereka dewasa dengan pilihan-pilihan layaknya Magneto atau Charles Xavier dalam X-Men.
Selain moralitas yang coba dipertanyakan ulang, ungkapan Agung, kawan Sancaka sesama penjaga keamanan tentang; “tidak ada yang berumur panjang selain perdamaian” terasa lebih ada ruhnya.
Konflik yang tak terlalu klise, humor yang secukupnya, dan anggota dewan yang sepertinya tidak terlalu penting hadir mengisi cerita, membuat pertanyaan awal mengenai judul tentang negeri ini butuh patriot seperti mengganjal.
Saya tiba-tiba membayangkan, Gundala kemudian datang ke Papua dan ikut menolong mereka yang tertindas di sana.