Indonesia adalah negara agraris, begitulah julukan yang biasa kita dengar. Konon hal tersebut lantaran begitu banyaknya area pertanian di Negara Indonesia, sehingga sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Akan tetapi, dengan semakin terdesaknya pertanian dengan berbagai macam hal masih pantaskah Indonesia disebut sebagai negara agraris?
KH. Hasyim Asyari pernah berkata bahwa ‘petani adalah penolong negeri’, yang berarti bahwa jasa petani sangatlah besar bagi negara ini. Nabi Muhammad SAW juga menganjurkan supaya kita tetap menanam dan melestarikan alam bahkan sampai dunia ini kiamat. Beliau bersabda: “Jika tiba hari kiamat sedang pada tangan dari kalian bibit pohon kurma maka tanamlah” (HR. Ahmad).
Sayangnya berbagai tantangan tengah dihadapi oleh para petani, salah satunya mulai berkurang generasi yang mau menjadi petani. Saat ini dunia pertanian tidak terlalu diminati oleh generasi muda. Kebanyakan dari mereka cenderung lebih memilih bekerja sebagai buruh pabrik, merantau, atau yang berpendidikan tinggi bekerja kantoran. Hal itu menyebabkan pertanian kita sebagian besar digeluti oleh orang-orang tua saja.
Selain masalah menurunnya generasi petani, tanah pertanian kini juga semakin tersingkir oleh kehadiran industri, pemukiman, atau dampak pembangunan yang dilakukan pemerintah. Dengan berkurangnya tanah maka hasil pertanianpun akan berkurang.
Apalagi jika kita membahas tentang kualitas hasil pertanian yang juga tak luput dari masalah seperti serangan hama wereng dan ulat, penggunaan obat pestisida yang tidak ramah lingkungan, lalu banjir yang menyebabkan gagal panen, dan lain-lain. Belum lagi petani dihadapkan pada harga yang fluktuatif dan permainan dari tengkulak yang cenderung merugikan mereka.
Beberapa masalah pertanian di atas bukannya berdiri sendiri melainkan saling berkesinambungan. Menyoal masalah menurunnya generasi petani misalnya, merupakan akibat dari pengabaian pemerintah untuk menyejahterakan petani. Akibatnya, pertanian masih dipandang sebelah mata sebagai pekerjaan yang tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup sepenuhnya atau sekedar untuk hidup secara subsisten.
Semakin hari petani semakin dibuat merasa tidak percaya diri dengan pekerjaannya. Bukankah petani sendiri malah sering berkata pada anaknya: “Jangan jadi petani nak, jadilah guru atau pekerja kantoran supaya hidupmu tidak sengsara seperti bapak”. Wajar saja apabila banyak petani berkata demikian, karena kebanyakan dari mereka masih tetap miskin dan semakin dimiskinkan.
Penulis sendiri tidak ingin men-generalisir bahwa semua petani adalah orang miskin. Toh tetap ada mereka yang mengaku petani namun hidupnya sejahtera bahkan dapat dikatakan kaya. Oleh sebab itu masalah kemiskinan petani sesungguhnya harus diuraikan lagi ke dalam analisis kelas yang ada di dalamnya.
Jika mengacu pada pembagian kelas yang dikemukakan oleh Bernstein (2019), setidaknya ada tiga kelas utama petani berdasarkan kategori kepemilikan, tenaga kerja, output, dan sarana produksi: petani kapitalis (sepanjang tahun mempekerjakan buruh tani), petani subsisten (memiliki tanah yang cukup untuk dikerjakan oleh ia dan keluarganya dan hanya sesekali mempekerjakan buruh), dan petani proletar (hanya memiliki tenaga untuk memburuh).
Dengan mengetahui klaster dari setiap keluarga petani yang ada di negara kita tentu akan mempermudah dalam memecahkan masalah kemiskinan petani karena sasarannya telah jelas diketahui. Pemerintah dapat saja menggaransi kesejahteraan bagi para petani yang tergolong subsisten dan proletar dengan cara memberi subsidi atau pemerataan lahan.
Sayangnya jangankan sampai melakukan riset analisis kelas untuk menguraikan masalah pertanian kita, pemerintah justru seringkali menjadi penyebab miskinnya petani itu sendiri. Pembangunan yang banyak menggusur area pertanian, konflik lahan petani dan perusahaan yang berujung kriminalisasi terhadap petani, dan semakin dihilangkannya subsidi bagi petani adalah sederet permasalahan yang mestinya tidak perlu jika negara ini memang peduli pada nasib petani.
Kebijakan bagi-bagi sertifikat tanah yang dilakukan oleh Jokowi juga seharusnya dapat memastikan bahwa petani akan mengelola tanah itu tanpa mendapat ancaman digusur untuk pembangunan atau dibeli oleh perusahaan tertentu. Sudah saatnya pemerintah kembali memperhatikan pertanian sebagai poros perekonomian negara yang sangat penting, baik untuk pemenuhan kebutuhan pangan di negara sendiri, maupun untuk kemakmuran para petani secara umum. Jangan sampai petani mati di lumbung padi.