Seriuskah Prabowo mencalonkan diri menjadi presiden kali ini? Pertanyaan itu sungguh sangat menggelitik kedalaman dada saya. Hari-hari terakhir menjelang pendaftaran Capres dan Cawapres, situasi politik bergerak sangat dinamis dan memunculkan kejadian yang tidak terduga. Belum sempat terurai kesepakatan antara dua Jenderal, Prabowo Subianto dan Soesilo Bambang Yudhoyono, tiba-tiba muncul berita pengkucuran dana Rp 500.000.000.000,- (lima ratus milyar) yang masing-masing digelontorkan kepada parpol PAN dan PKS oleh Sandiaga Uno, yang itu berarti seharga Rp 1.000.000.000.000,- (satu trilyun).
Sandiaga mengobral yang sebanyak itu karena menginginkan posisi Wakil Presiden.
Soal benar atau tidakkah berita imbal dagang ini, kita melihat Sandiaga Uno tidak membantah dan kita melihat, Sandiaga Uno kemudian memecat dirinya sendiri dari jabatan Wakil Gubernur DKI. Bolehlah kita ikut percaya pada sakit hati Demokrat, kucuran dana setrilyun itu amat mungkin benar adanya.
Itulah hal yang kemudian menjadi penyebab koalisi karbitan penyokong Prabowo bagaikan dihantam tsunami. Kubu Demokrat (baca : Susilo Bambang Yudhoyono, SBY) yang dalam hatinya amat menginginkan sang putra mahkota (baca : Agus Harimurti Yudhoyono, AHY) yang akan dipilih menjadi cawapres, terbelalak terkejut mendapati permainan uang itu. Bahwa Demokrat meradang, bolehlah itu dianggap sebagai indikator “keinginan tak sampai” partai itu bahwa AHY yang mereka ingin akan dipilih Prabowo menjadi cawapres. Namun bahwa koalisi di saat yang demikian dianggap jauh lebih penting daripada kepentingan pribadi, Demokrat ternyata harus menyesuaikan diri dengan memaklumi tarik ulur dan keputusan yang diambil Prabowo.
Demokrat yang semula meradang balik kucing ikut bergabung lagi. Boleh jadi inilah saatnya, mata SBY terbuka oleh langkah blunder dan tidak mulusnya mimpi besarnya, mempensiundinikankan putra mahkotanya di level mayor, yang kenyataan itu ternyata harus berhadapan dengan situasi pahit. SBY boleh jadi berangan-angan atas mudahnya jalur yang akan ditempuh anak lelaki kebanggaannya dengan meniti posisi dari wapres Jokowi, dan lantas menjadi presiden di lima tahun setelahnya. Ia lupa di luar sana ada Megawati yang masih menyimpan rapi dendamnya.
Di level Gubernur DKI kandas, kini di level Wapres juga kandas.
Kita semua ingat, cara Megawati menjawab dengan bahasa sindiran, saat AHY menghadap kepadanya, cukup diwakilkan kepada anak lelakinya untuk menerima sowannya. Seharusnya cara tuan rumah menerima kehadiran anaknya seperti itu dibaca sebagai indikator. SBY lupa, Jokowi menganggap Megawati itu bagaikan ibunya. Jika Megawati menggoyangkan tangannya melarang, Jokowi yang tak memiliki partai dan numpang ke PDI, pasti tidak akan berani membantahnya.
Kita masih menyimpan kenangan betapa pada empat tahun yang lalu ketika Jokowi terpilih, ia harus berkompromi sampai berhari-hari untuk menentukan siapa orang-orang yang akan ditunjuk menjadi pembantunya. Ia bahkan direndahkan sebagai petugas partai. Waktu yang semula bergerak amat lambat bagi Jokowi, berubah cepat sejalan dengan kinerjanya.
Kita kemudian menyaksikan, Jokowi berubah menjadi dirinya sendiri, bukan bayang-bayang, ia bukan lagi petugas partai. Bila saya boleh mengatakan sekarang keadaan berbalik, tanpa Jokowi PDI Perjuangan tidak punya barang jualan. Dengan kenyataan pahit yang tersaji macam itu, sulit saya membayangkan level puncak macam apa nantinya yang akan berhasil diraih AHY. Bukan saja AHY yang terpuruk, saya menakar pamor Partai Demokrat juga mulai jatuh terpuruk. Jargon “katakan tidak padahal kurupsi” mulai menjadi gelombang yang datang menerjang. Ke depan rupanya sulit bagi Demokrat untuk memperbaiki situasi yang tak ubahnya menyembuhkan kanker stadium empat.
Akan tetapi nasi telah menjadi bubur. Bagaikan menggaruk gatal di dubur (ini pepatah ciptaan saya) SBY dan AHY akhirnya harus menerima kenyataan pahit itu, tetap bergabung dengan koalisi yang telah terbentuk dengan hati sangat sangat tidak senang.
Saya menakar, majunya Prabowo Subianto kembali ikut berkompetisi di usianya yung semakin uzur itu tidaklah seperti periode-periode sebelumnya, tidak seperti ketika ia mendampingi Megawati yang kemudian terbukti Megawati mengkhianati kesepakatan yang dibuatnya, juga tak seperti ketika ia maju tandem dengan Hatta Rajasa.
Majunya Prabowo kali ini dengan kesadaran penuh mustahil ia menang melawan Jokowi. Namun siapa yang tahu yang dianggap mustahil itu bisa dijungkirbalikkan. Itu sebabnya saya menduga, pikiran Prabowo sedang terjejali jargon cara apa pun bisa ditempuh. Ia sadar sepenuhnya, Sandiaga Uno adalah kartu mati baginya, akan tetapi siapa tahu dengan uang sebesar itu, keadaan bisa dijungkir balikkan, atau, jangan-jangan Prabowo tidak waspada betapa sang calon wakil Sandiaga Uno justru membebani, di mana terbongkarnya transaksi setrilyun rupiah itu akan dicurigai sebagai alat untuk mempengaruhi arah ketertarikan rakyat dalam memilih – yang malah memicu antipati – yang pastinya akan mengundang KPK masuk.
Saya belum mendapat kepastian apakah sumbangan macam yang dilakukan Sandiaga Uno itu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran Undang-undang Pemilu atau tidak, akan tetapi kedalaman hati nurani, saya menduga hal seperti itu tak bisa dibenarkan. Jika ya, amat mungkin Sandiaga Uno harus menghadapi kenyataan pahit harus berhadapan dengan masalah hukum.
Saat artikel ini saya tulis, saya meyakini KPK pasti mempertajam telinga dan matanya. Sandiaga Uno menjadi langkah blunder Prabowo, saya tak akan menyebutnya demikian apabila gelontoran uang yang sangat besar itu tidak terendus melalui amarah Demokrat yang disuarakan dengan lantang oleh Andi Arief. Sempat terdengar hubungan mesra Demokrat dan Gerindra bergerak mendidih menuju ke titik nadir, namun itulah politik, kita kemudian melihat, Demokrat yang amat kecewa ternyata tetap berada dalam gerbong yang sama, Demokrat hadir diwakili AHY dan Edhie Baskoro Yudhoyono (EBY) saat pendaftaran.
Aksi-Reaksi
Bahwa transaksi itu kemudian menjadi santapan publik, maka saya menakar, Sandiaga Uno akhirnya akan benar-benar akan menjadi kartu mati, walaupun ia menggelontorkan uangnya berlipat, Orang akan melihat dan memberinya cap, ia memperoleh jabatan sebagai Wapres karena uangnya, apalagi jumlah uang yang ditebar itu sungguh gila-gilaan.
Maka, saya kemudian menakar terbongkarnya transaksi miring itu malah sangat merugikannya. Saya memprediksi dalam hari-hari ke depan akan terjadi pergeseran simpati.
Berhadapan dengan jumlah uang yang luar biasa dan bisa dijadikan oli untuk memperderas laju mesin kampanyenya, amat disayangkan Prabowo menyantapnya tanpa melihat resiko yang sungguh nyata, betapa sebuah aksi akan menimbulkan reaksi, obral uang Sandiaga Uno yang demikian akan menumbuh suburkan antipati orang padanya, bisa menjadi kartu blunder mimpinya.
Bahwa benar dan mungkin ada pemilik suara yang tidak berhati nurani, dengan menjual suara hak pilihnya, akan tetapi di arah berseberangan tidak sedikit pula orang yang menggunakan renungan dan nalar untuk menakar tindak perbuatan dan perilaku lancung (baca : Sandiaga Uno) yang macam itu sebagai perbuatan tidak terpuji.
Di tempat berseberangan, kejutan datang dari Jokowi yang ternyata memilih Prof. Dr. Ma’ruf Amin sebagai calon pendampingnya. Hingar-bingar terjadi karena sungguh tidak diduga oleh banyak pihak, termasuk saya, bukan Prof. Dr. Mahfud MD yang diminta Jokowi untuk mendampinginya sebagai calon wakil presiden.
Saya butuh waktu sedikit lama buat menelisik mengapa Jokowi memilih Ma’ruf Amin, bukan Mahfud MD meski kita semua melihat tak ada yang perlu diragukan keislaman orang Madura ini.
Guyonan almarhum Gus Dur bisa digunakan sebagai kacamata untuk membedahnya.
Gus Dur bercerita begini: “Ada terjadi sebuah kecelakaan. Ayo kita tolong.”
“Ehhh, jangan dulu, tanyai dulu, agamanya Islam atau bukan.” “Agamanya benar Islam, ayo kita tolong.”
“Ehhhhh jangan dulu, ia harus kita tanyai, Islamnya Muhammadiyah atau NU?”
“Ia orang PKB, ayo kita tolong,”
“Eh jangan dulu, tanyai NU nya ikut siapa? PKBnya ikut saya atau ikut Muhaimin?”
Tak ada yang akan berani meragukan keislaman Prof. Dr. Mahfud MD. Akan tetapi ia berada di pihak mana, mendukung atau dekat dengan siapa, hal macam itu sangat menentukan apakah ia akan didukung atau harus dijegal. Terhadap Muhaimin Iskandar misalnya, Muhaimin tentu tak akan merasa nyaman menghadapi Prof. Dr. Mahfud MD karena kepemimpinannya terhadap PKB bisa dipersoalkan atau digoyang.
Kita semua tahu, sebagian orang PKB melihatMuhaimin justru mengkhianati Gus Dur. Saat Gus Dur meninggal dan Muhaimin Iskandar harus datang melayat, ia menyembunyikan raut wajahnya di balik kacamata hitam untuk menyembunyikan rasa groginya telah masuk ke kandang macan.
Pergerakan politik yang demikian keadaannya, menyebabkan saya menduga, pesta demokrasi yang akan datang kehilangan greget tidak lagi hingar-bingar, akan tetapi sekaligus saya bisa menduga sebaliknya, kegaduhan pesta pemilu presiden dan wakil presiden nanti akan lebih parah dari periode lalu.
Cinta Tidak Abadi
Saya berpendapat, tidak ada peristiwa apa pun yang abadi di dunia ini. Segala sesuatu berubah dan bergerak, maka saya kemudian berpendapat, perubahan itu sendirilah yang kemudian kita sebut abadi. Apalagi dalam urusan politik, tidak ada teman abadi, yang lebih menonjol adalah kepentingan abadi. Kalau kita melihat betapa kritis Fadli zon sebagaimana kita saksikan dalam berbagai forum terhadap Jokowi, dulunya Fadli Zon justru juru kampanye Jokowi saat pemilihan Gubernur DKI. Siapa yang akan melupakan keakraban Prabowo dengan Megawati dalam pilpres yang kalah. Kita melihat Anis Baswedan dulu berdiri di mana dan sekarang bagaimana sikapnya? SBY adalah menteri Megawati ketika kemudian kedua orang itu harus menempatkan diri berhadapan.
Kita kemudian juga mencatat berapa tahun sudah rentang dendam Megawati pada SBY karena telah ditelikung. Kita mencatat, betapa erat dan bahu membahunya SBY dan jusuf Kalla (baca : JK) namun kedua orang itu akhirnya harus berhadapan sebagai lawan ketika SBY tak lagi menggandeng tangannya.
JK pun kandas, JK yang semula meremehkan Jokowi karena tak mungkin mampu menjadi presiden, namun empat tahun sudah ia berada di sebelahnya, melihat kenyataan yang berbeda.
Tentu yang paling dramatis, Amin Rais.
Aminlah orangnya yang menendang Gus Dur ke atas menyandingkannya dengan Megawati, padahal kita semua ingat bagaimana dulu manuver Amin yang membangun Poros Tengah menghadang Megawati. Amin Rais yang kemudian menjatuhkan Gus Dur dan menaikkan Megawati. Kini ia berada di belakang Prabowo padahal di hari-hari genting jatuhnya Suharto, Prabowo sangat membencinya.
Bagaimana fenomena macam itu bisa terjadi? Mungkin Ali Muchtar Ngabalin bisa menceritakan alurnya karena ia salah satu pelakunya.