Gelar Habib, Mungkinkah Bisa Dihilangkan?

Gelar Habib, Mungkinkah Bisa Dihilangkan?

Gelar Habib, Mungkinkah Bisa Dihilangkan?

Sepak terjang kalangan keturunan Arab di Indonesia, gelar “kebangsawanan” seperti habib pernah menjadi isu perselisihan dan polemik di kalangan internal komunitas keturunan Arab. Ini menandakan bahwa komunitas keturunan Arab, maupun komunitas lain di Indonesia, sebenarnya tidak pernah seragam atau homogen, tetapi terdapat heterogenitas dalam internal komunitasnya.

Baca juga: Ahmad Surkati, Pendiri Al-Irsyad yang Menolak Status Sayyid dan Non-Sayyid

Kita bisa melihat bagaimana kontestasi dan ketegangan yang pernah terjadi di dalam komunitas keturunan Arab itu sendiri, yakni antara kalangan Al-Alawi, representasi dari Rabitah Al-Alawiyah, dengan Al-Irsyad, representasi Jamiyah Al-Islah Wal-Irsyad. Keduanya saling bersitegang perihal gelar sayid yang disandang oleh kalangan keturunan Arab, yang punya garis keturunan Nabi Muhammad dan keluarganya—garis keturunan Husein.

Kalangan Al-Irsyad menuntut adanya kesamaan dan kesetaraan sosial di kalangan komunitas keturunan Arab. Apalagi pengikut Al-Irsyad sebagian besar melakukan gerakan-gerakan emansipatoris di kalangan masyarakat bawah. Kalangan Arab yang tergabung dalam Al-Irsyad juga dipenuhi oleh kaum modernis-reformis, sehingga anggapan gelar kebangsawanan tradisional sebagai keturunan Nabi dan keluarganya tidak berlaku bagi kelompok Arab manapun.

Mereka menolak gelar sayid yang menunjukkan adanya strata sosial di kalangan Arab di Indonesia dan menganggap bahwa gelar tersebut menggambarkan keangkuhan perilaku aristokratik keturunan Arab. Gugatan tersebut berimbas pada keinginan untuk menghapus gelar kebangsawanan sayid dengan menyelaraskan Islam dalam tuntutan kesetaraan sesama mukmin.

Huub de Jonge (2019) mencatat perselisihan antara Alawi dengan Al-Irsyad dengan cukup baik. Ia menjelaskan bagaimana Al-Irsyad dalam kongres pertamanya menyatakan bahwa gelar kebangsawanan sayid bukanlah hak keistimewaan Alawi. Sayid memiliki makna yang sama seperti mister, sir, tuan, atau mounsier. Hal ini selaras dengan penggunaan gelar tersebut di wilayah Arab.

Di wilayah Arab, gelar sayid digunakan untuk menyebut orang yang dihormati atau dermawan, atau hanya  sekadar sapaan atau sinonim untuk suami, bapak, pemimpin, dan pangeran. Alasan ini menjadi dasar bagi kalangan Al-Irsyad untuk menegaskan bahwa gelar tersebut tidak dikhususkan untuk kelompok tertentu—sebagaimana kehendak kalangan Arab keturunan Nabi dan keluarganya, Alawi. Oleh karena itu, siapapun berhak menyandang gelar tersebut secara abriter.

Hal inilah yang memicu ketersinggungan Alawi yang merasa dirugikan atas sikap kalangan Al-Irsyad. Alawi menganggap bahwa sikap Al-Irsyad akan menghilangkan hak istimewa mereka sebagai keturunan Nabi dan keluarganya, serta tidak ada lagi pembedaan di antara kalangan muslim itu sendiri.

Lebih tepatnya, dengan dihapuskannya gelar sayid atau penggunaannya secara abriter dikhawatirkan akan mengaburkan keistimewaan Alawi secara sosial dan agama atas kedudukannya sebagai garis keturunan Nabi dan keluarganya.

Gelar kebangsawanan sebagai keturunan Nabi dan keluarganya yang pernah diperselisihkan oleh kalangan Al-Irsyad menunjukkan adanya heterogenitas komunitas keturunan Arab di Indonesia—terlepas mereka muwallad (Arab campuran) dan wulaiti (Arab totok).

Berkaca dari pergulatan internal komunitas Arab di Indonesia di atas, mungkinkah gelar Habib juga bisa diperselisihkan atau bahkan dihilangkan?

Gegap gempita kehadiran keturunan Arab dalam lanskap politik Indonesia bukanlah hal baru. Hal ini bisa ditunjukkan dengan adanya Partai Arab Indonesia (PAI) yang diinisasi Abdur Rahman (AR) Baswedan. Sebagai wujud partisipasi mereka sebagai kalangan keturunan Arab, mereka bernaung dalam partai politik untuk turut membingkai keindonesiaan dengan terlibat urusan politik.

Lain halnya dengan AR Baswedan yang membuat partai Arab, langkah yang ditempuh Rizieq Shihab justru di luar kontestasi politik elektoral, yang membidani sekaligus pemimpin salah satu organisasi Islam di Indonesia: Front Pembela Islam (FPI). Pasca orde baru, organisasi masyarakat sipil terutama organisasi Islam mulai menunjukkan geliatnya dalam politik Indonesia setelah sekian lama tiarap karena represifitas pemerintahan Suharto.

Tidak heran kehadiran Rizieq Shihab beberapa dekade ini turut meramaikan gemuruh demokratisasi dan lanskap politik di Indonesia. Dengan modal sosial sebagai seorang Habaib, di satu sisi, Rizieq Shihab menjadi sosok keturunan Arab yang paling vokal dalam politik Indonesia. Namun, di sisi lain, dalam beberapa kasus, Rizieq Shihab selalu berlindung di balik gelar Habaibnya dari serangan kritik atau bahkan proses hukum.

Dari beberapa kasus yang menyangkut Rizieq Shihab, hampir dirinya tidak tersentuh bahkan kebal hukum. Kalaupun ada gugatan atau kritik yang dilancarkan kepada Rizieq Shihab, para pengikutnya, atau bahkan Rizieq Shihab sendiri, menancapkan wacana “kriminalisasi ulama”. Ini menunjukkan adanya sikap dilema—jika tidak dikatakan pembedaan—perlakuan terhadap kalangan muslim keturunan Nabi dan keluarganya yang  berpredikat Habaib.

Sebagaimana gelar sayid, gelar Habib punya keistimewaan sosial-kultural bagi keturunan Nabi sehingga tidak menutup kemungkinan mereka “dikultuskan” terutama bagi para Habaib yang mewarnai demokratisasi Indonesia. Akan lebih adil jika gelar kebangsawanan itu dihilangkan agar tidak ada bentuk privilese bagi setiap warga negara.

Keputusan Quraish Shihab sekeluarga yang menolak gelar Habib ini bisa menjadi cerminan bagi para keturunan Arab di Indonesia. Gelar kebangsawanan itu hanya mungkin akan hilang jika yang menggugat adalah kalangan keturunan Arab itu sendiri. Apa yang dilakukan Quraish Shihab hanyalah sikap individual dan lingkaran keluarganya saja, tetapi tidak secara kolektif sebagaimana pernah dilakukan kalangan Al-Irsyad.

Baca juga: Jangan Asal Memberikan Gelar Ulama, Ini Kriteria-Kriteria Seorang Ulama

Perlu kiranya untuk memikirkan kembali Habaib dalam diskursus politik Indonesia selain kita hanya menempatkan mereka sebagai sosok yang punya otoritas spiritual-keagamaan. Keterlibatan Habaib dalam gema demokratisasi atau mereka yang berkedudukan sebagai pemimpin organisasi Islam apapun, dengan mengesampingkan gelar kebangsawanannya, kekhawatiran untuk mengkritik dan terkesan kebal hukum tidak lagi terjadi.

Gelar kebangsawanan sebagai keturunan Nabi dan keluarganya seakan menjadi tameng bagi Habaib. Apa yang dulu pernah digugat oleh Al-Irsyad terkait gelar kebangsawanan yang menjadi privilese bagi kelompok keturunan Arab di Indonesia bisa kembali direnungkan. Dengan demikian, hilangnya gelar kebangsawanan ini hanya mungkin terjadi di dalam komunitas keturunan Arab sendiri sebagaimana yang sudah dilakukan oleh Quraish Shihab dan keluarganya. (AN)