Beberapa hari terakhir ini saya membaca sebuah tesis S2 karya Rifki Rosyad. Isinya menceritakan proses penguatan identitas keagamaan di kalangan anak muda Bandung selama 1970-an hingga 1990-an. Menarik. Dengan membaca tesis ini saya menjadi paham mengapa konservatisme keagamaan di masyarakat urban bisa sekuat sekarang.
Rosyad menjelaskan bagaimana kegiatan keagamaan diaktifkan di masjid-masjid kampus utama di kota Bandung, seperti Al-Furqon (UPI), Salman (ITB), dan Al-Mujahidin (Unpad) dan juga di luar kampus, seperti Masjid Al-Istiqomah sejak awal 1970-an. Para penggeraknya umumnya terkait dengan Masyumi atau DI di era sebelumnya. Karena beraktivitas di dunia politik dibatasi, mereka memilih jalur dakwah.
Masalahnya, materi yang diajarkan dalam kegiatan dakwah tersebut bercorak konservatif. Selain fokus pada akidah, bukan fikih dalam pengertian yang komprehensif, isu yang sering dimunculkan adalah ancaman Kristenisasi dan dominasi ekonomi kaum Tionghoa.
Akibat dari gerakan ini, lahir suatu keprihatinan bahwa seolah-olah umat Islam terpinggirkan. Dari sini timbul apa yang oleh Wertheim disebut sebagai fenomena “mayoritas dengan mental minoritas”.
Saya kira hingga saat ini proses pembentukan perasaan “mayoritas dengan mental minoritas” di kalangan umat Islam Indonesia terus terjadi, khususnya di kalangan urban. Proses ini semakin menjalar sehingga menjangkau juga kalangan di pedesaan karena adanya media sosial.
Hal ini diperparah dengan dibumbui oleh situasi ketimpangan sosial, proses ini belakangan direkayasa sedemikian rupa untuk kepentingan strategi politik praktis. Seakan-akan perasaan “minoritas”–padahal mayoritas–itu terjadi karena Jokowi.
Kesimpulannya, lalu apakah proses yang telah lama berlangsung itu bisa diubah?