Demi melihat Capres 02 Prabowo Subianto menggebrak podium saat kampanye di Yogyakarta, saya semakin optimis kalau niatnya untuk mewakafkan diri kepada Ibu Pertiwi yang telah diperkosa memang bukan kaleng-kaleng.
Betapa tidak, sama asing—ntah asing mana yang dimaksud—aja Pak Prabowo anti, apalagi sama sistem khilafah yang jelas-jelas merupakan ideologi imporan asing. Pasti mendengarnya saja bikin alergi.
Ya, sebagai ex-TNI yang lebih TNI dari TNI, nasionalisme Pak Prabowo tidak perlu kita sangsikan lagi. Pasalnya, mau ndaftar jadi PNS aja materi tentang BPUPKI, PPKI, dan unsur-unsur kebangsaan lainnya harus sudah di luar kepala, bayangkan bila hendak ndaftar TNI, apalagi kalau pangkatnya sudah Jenderal!! Tentu ia sangatlah nasionalis, bila perlu lebih nasionalis daripada nasionalisme itu sendiri.
Sebagai Capres hasil “Ijtimak Ulama”, saya mbok yakin seyakin-yakinnya kalau sebetulnya Pak Prabowo ogah dikait-kaitkan dengan agama tertentu. Bukan karena ke-tawadlu’-an, bukan, tetapi lebih pada alasan khawatir tidak bisa mengimbangi pergumulan wacana keagamaan.
Kendati begitu, namanya juga politisi—yang menuntut setiap pemainnya harus pragmatis, maaf, maksud saya realistis—, melihat adanya massa yang ditaksir memiliki bobot suara tidak sedikit, mana mungkin akan dianggurkan begitu saja.
Alhasil, dijaringlah sebagian umat Islam yang memimpikan tegaknya sistem politik Khilafah atau minimal Indonesia bersyariah ke kubu Pak Prabowo. Dan, hal ini saya kira tidak perlu disangsikan lagi. Mau bukti?
Baik. Pertama-tama tidak dimungkiri kalau sebagian, sekali lagi sebagian, pendukung Prabowo itu memiliki semangat anti-Jokowi. Pokoknya, asal bukan Jokowi. Mengapa? Karena kubu Presiden Jokowi dilingkari oleh koalisi yang cukup vokal menolak penerapan formalisasi Islam sebagai sistem kenegaraan.
Tapi, buru-buru harus saya pertegas, bahwa hal itu juga bukan berarti mereka anti-Islam. Sebaliknya, penolakan terhadap formalisasi syariat Islam justru dilatari oleh kesadaran yang lebih fundamental, yaitu menempatkan nilai-nilai Islam sebagai basis moral-spiritual dalam segenap penyelenggaraan negara ketimbang sebatas simbol.
Di samping itu, pengalaman sejarah Islam di masa lalu justru memperlihatkan betapa mahalnya ongkos kemanusiaan yang diakibatkan oleh gesekan horizontal gara-gara perbedaan tafsir syariat Islam. Inilah yang seringkali mejadi salah paham.
Jadi dalam hal ini, nalar yang musti diprioritaskan bukan lagi soal menang-menangan, tapi bagaimana umat Islam sebagai kelompok yang dominan bisa melampaui nafsu kedirian menuju maqam kebijaksanaan.
Itulah yang dilakukan para pendiri bangsa ketika menyepakati bahwa Indonesia itu bukan dar al-Islam, melainkan dar al-salam dan lalu merumuskan dasar negara yang mampu menaungi heterogenitas bangsa Indonesia ketimbang mendahulukan kepentingan individu.
Dari manakah pelajaran kemajemukan itu didapat, untuk, misalnya, bicara di luar teks-teks Alquran dan Sabda Nabi?
Jawabannya, kalau kita boleh menebak: dari kebijaksanaan Nabi di sekitar sebuah perjanjian yang disebut Piagam Madinah.
Ya, Piagam ini, seperti dicatat Syu’bah Asa (1999) banyak dipandang sebagai konstitusi pertama di dunia dan dinyatakan dalam kalimat pertamanya sebagai “naskah perjanjian dari Muhammad, nabi dan rasul Allah mewakili kaum muslimin...” dan menurut isinya dibuat demi kepentingan pertahanan wilayah, keamanan, serta kerukunan hidup lintas-suku di Madinah.
Rupanya, ajaran akan pentingnya persatuan, bil khusus dari unsur-unsur heterogen seperti yang terlintas dalam kesadaran Nabi tersebut belum nyampe ke batok kepala para pejuang khilafah.
Lebih sial lagi kalau dipikirnya khilafah itu satu-satunya sistem warisan Nabi. Sehingga, ditudinglah mereka yang menolak khilafah sebagai penolakan terhadap ajaran Islam. Padahal, sungguh tidak demikian.
Kembali ke koalisi Pak Prabowo. Seperti kita tahu bahwa sebagian umat Islam dengan kecenderungan pengusung wacana khilafah, kalau bukan Indonesia bersyariat itu memang bertengger di koalisinya.
Hal ini, umpamanya, dipertegas oleh selentingan “ganti sistem” dari Ismail Yusanto menyambut ajakan “ganti presiden” dalam video yang di dalamnya juga terdapat Mardani Ali Sera. Dan, kiranya hal itu juga tidak bisa dianggap remeh.
Meskipun, memang, sekali lagi, kecil kemungkinan kalau Pak Prabowo—meminjam istilah Bachtiar Nasir—terlalu tolol sekonyong-konyong menuruti kemauan mereka.
Tetapi satu hal yang perlu mengerti oleh Pak Prabowo, bahwa mengutip seorang kawakan gerakan sosial Antonio Gramsci, ada sekurang-kurangnya dua strategi yang dinamakan “war of postion” dan “war of manuver”.
Perang manuver, dalam hal ini dimengerti sebagai gerakan yang secara langsung dan cepat bertujuan mengubah sebuah tatanan atau kebijakan. Adapun takaran kesuksesan dari perang manuver ini adalah ketika sistem, rezim, atau sebuah kebijakan yang dipandang tidak adil segera tumbang.
Tapi nampaknya, untuk mengatakan gerakan 2019 ganti presiden sebagai “perang manuver” hanya akan berujung pada kegagalan. Mengapa? Tentu karena Prabowo, sekali lagi, adalah ex-TNI yang lebih TNI dari TNI itu sendiri dan ia pun tidak terlampau tolol menggadaikan Pancasila dengan Khilafah.
Karenanya, situasi ini memungkinkan setrategi kedua, “perang posisi” yang, kata Gramsci, lebih menjanjikan ketimbang “perang manuver”. Fokus dari model-model yang begini bukanlah untuk mengubah kebijakan jangka pendek, melainkan merengkuh pengaruh di masyarakat.
Karenanya, keberhasilan dalam pengertian ini tidak lagi ditakar lewat kendali atas negara, tetapi oleh seberapa jauh gerakan ini bisa menancapkan hegemoni di masyarakat yang, diupayakan sedemikian rupa sehingga memungkinkan terbentuknya basis-basis kekuatan yang dalam jangka panjang diharapkan mampu membuat negara tidak berkutik. Di saat itulah, perang manuver dalam pengertian merengkuh kekuasaan politik akan dimungkinkan.
Jadi, bayang-bayang khilafah di bawah Prabowo-Sandi memiliki dua arti sekaligus. Pertama, ia mungkin mendongkrak daya tawar suara di Pilpres kali ini. Akan tetapi, kedua, jika salah mengelola, ia hanya akan menjadi bumerang bagi masa depan bangsa Indonesia. Kalau 02 menang, tentu saja.