Para sahabat Nabi adalah sosok-sosok mulia. Merekalah kalangan yang paling mengenal Nabi, bergaul dekat dengan beliau, bahkan dalam banyak hal perilaku mereka menjadi dasar hukum dan etika yang mesti diperhatikan umat muslim.
Salah satu etika yang diajarkan Nabi pada para sahabat adalah menjauhi rasisme dan bersikap adil atas hak sesama manusia. Sebagaimana akan dikisahkan di bawah ini, Nabi menolak pelecehan dan diskriminasi berdasarkan ras maupun kasta yang menurut beliau adalah warisan buruk era Jahiliyah.
Kisah teguran Nabi atas sahabat yang bersikap rasis ini tercatat dalam hadis yang diriwayatkan dalam kitab Shahih al Bukhari. Suatu hari Abu Dzar Al Ghiffari sedang bersama pelayannya di daerah Rabadzah, suatu perkampungan sekitar Madinah, menceritakan kepada perawi Al Ma’rur bin Suwaid akan suatu momen ketika Nabi tidak berkenan dengan perilakunya.
Anda tahu, Abu Dzar adalah salah satu golongan assabiqunal awwalun, golongan yang masuk Islam pada masa awal kenabian. Kisah seputar kesantunan dan kebijaksanaannya sudah kepalang banyak tercatat dalam kitab hadis dan biografi. Meski demikian mulia pribadi Abu Dzar, ia pun pernah berbuat salah.
“Aku pernah menghina seseorang, dengan menyindir asal-usul keturunan dari ibunya,” ujar Abu Dzar, yang bernama asli Jundub bin Junadah ini.
“Aku berkata: ‘Hei kamu, anaknya orang hitam!’” Abu Dzar mengatakan kalimat ini kepada seorang berkulit hitam, yang disebut-sebut sebagian ulama adalah sahabat Bilal bin Rabah. Dalam kitab syarah hadis seperti Irsyadus Sari karya Imam al-Qasthalani, ujaran rasis tersebut konon terucap akibat perasaan jumawa Abu Dzar dari suku yang lebih terpandang.
Terang saja Nabi Muhammad yang mengetahui hal itu, segera menegur Abu Dzar.
“Benarkah kau baru saja menghina pria itu, dengan mengejek pribadi ibunya – dengan menyebut anak orang hitam? Ketahuilah wahai Abu Dzar, perbuatanmu itu adalah perilaku orang-orang Jahiliyah yang tercela.”
Ditegur demikian, jelas saja Abu Dzar merasa sangat menyesal. Nabi melanjutkan nasehat beliau kepada Abu Dzar,
“Pembantu-pembantu kalian itu juga saudara kalian.” Para ulama menyebutkan persaudaraan tersebut juga termasuk dalam iman dan kemanusiaan. “Allah telah menjadikan mereka menjadi tanggungan kalian. Siapapun yang menjadikan saudaranya sebagai budak atau tanggungannya, maka tuannya harus memberi makanan sama seperti yang ia makan, pakaian sebagaimana yang ia pakai, serta tidak membebani mereka dengan pekerjaan yang bikin mereka payah.”
Rasulullah menegaskan di akhir nasehatnya, “Kalau di antara kalian ada yang membebani mereka dengan kerja yang sangat berat, maka bantulah mereka.”
Dalam sekian riwayat yang dinilai dla’if, disebutkan bahwa Abu Dzar sampai-sampai bersungkur dan meminta Bilal agar menginjak pipinya karena saking merasa bersalahnya Abu Dzar kepada sahabat muadzin ini.
Terlepas dari bagaimana wujud permohonan maaf Abu Dzar kepada orang yang diejeknya itu, penting kita cermati bahwa Nabi Muhammad mendidik para sahabat agar menjauhi sikap rasis dan merasa lebih unggul dibanding yang lain.
Rasulullah juga menekankan dalam kisah hadis di atas bahwa pemenuhan hak yang setara adalah wujud persaudaraan yang mesti diberikan, baik dengan artian saudara seiman atau saudara dalam kemanusiaan.
Bahkan jika itu terjadi dalam konteks relasi budak dan tuannya. Apalagi yang jelas-jelas sesama warga seagama maupun sebangsa, jelas-jelas diskriminasi hak semacam itu mesti dihapuskan. Wallahu a’lam.