Pagi-pagi Frederich Silaban menyerut pensilnya. Sedetik kemudian ia mulai membuat sebuah sketsa. Tak tanggung-tanggung karya yang dibuatnya adalah desain sebuah masjid. Kala itu sekitar tahun 1955, ketika Bung Karno membuka sayembara rancangan masjid terbaik yang dihelat Yayasan Masjid Istiqlal Jakarta
Sayembara dipimpin langsung Presiden Sukarno dengan tim jurinya adalah Rooseno, Djuanda, Suwardi, Buya Hamka, Abubakar Atjeh, dan Oemar Husein Amin. “Tuhan, kalau di mata-Mu saya salah merancang masjid, maka jatuhkanlah saya, buatlah saya sakit supaya saya gagal. Tapi jika di mata-Mu saya benar, maka menangkanlah saya,” ujar Poltak Silaban, putra ketiga Silaban, menirukan doa yang selalu diucapkan ayahnya ketika akan mengikuti sayembara.
Tanggal 22 Februari menjadi hari penting bagi arsitek Ars. Frederich Silaban. Pria kelahiran di Bonandolok, Sumatera Utara, 16 Desember 1912 adalah arsitek masjid Istiqlal Jakarta. Pembangunan Masjid Istiqlal memakan waktu 17 tahun dan resmi digunakan pada 22 Februari 1978.
Mulanya Silaban merupakan seorang arsitek otodidak. Pendidikan formalnya hanya setingkat STM (Sekolah Teknik Menengah). Berkat ketekunannya arsitek kesayangan Bung Karno ini memenangkan beberapa sayembara dalam perancangan arsitektur. Dalam membuat rancangan masjid Istiqlal, Silaban tidak sembarangan. Rupanya beberapa arsitektur masjid dari Aceh hingga Madura dipelajarinya dengan seksama. Cita-citanya adalah menciptakan sebuah masjid dengan desain yang baru.
Sebagai orang yang berkeyakinan Kristiani, tentunya banyak pergulatan batin dalam merancang masjid di tempat umat Islam menjalankan ibadahnya. Selama membuat sketsa masjid, dia selalu berdoa.
“Yang menarik adalah sayembara masjid nasional di tahun 1954-55 tidak meributkan asal-usul atau agama si perancangnya. Bahkan, pemenang juara ketiga sayembara masjid Istiqlal dimenangkan oleh Han Groenewegen, arsitek asal Belanda yang Kristen,” kata Setiadi, penulis buku biografi Friedrich Silaban
Pembangunan Masjid Istiqlal dimulai sejak 1961. Sedari awal Silaban tidak pernah absen untuk terus memantau masjid rancanganya tersebut. Bahkan setiap pagi dengan kendaraannya menuju Jakarta dari Bogor untuk memantau pembangunan Istiqlal.
Takala rezim Soekarno jatuh, bangunan Masjid Istiqlal belum selesai. Peta politik berubah. Rezim Orde Baru sempat mencurigai Silaban sebagai komunis atau Sukarnois. Meski sempat dicurigai, penguasa Orde Baru tetap memilih Silaban sebagai wakil ketua proyek Istiqlal.
Dia bercita-cita supaya Istiqlal sudah tuntas sebelum dia meninggal.
“Pada 1980-an, papi sudah tidak bisa jalan. Namun, dia bersikeras ingin melihat kubah Istiqlal yang baru saja selesai. Maka, dia ditandu oleh para staf keliling melihat setiap jengkal Istiqlal,” ungkap Poltak anaknya dalam laman Historia.