Habib Rizieq Shihab (HRS), belakangan ini kembali menjadi perbincangan khalayak ramai. Bukan soal status tersangkanya karena dugaan telah menista lambang negara atau chat mesum. Bukan juga tentang sekuel aksi damai maupun kartun Tempo.
Ya, HRS konon akan bertengger sebagai salah satu kontestan pesta demokrasi Pilpres 2019 mendatang. Bahkan, salah satu kanal media daring, saat artikel ini saya tulis, menempatkan “koalisi Habib Rizieq” di posisi keempat mengalahkan “Luhut marah ke Amin Rais” yang berada di posisi lima dalam klasemen fokus news.detik.com (25/03).
Seperti diketahui, Koalisi permanen 212 adalah sebutan koalisi yang didorong HRS untuk Pilpres 2019. Empat parpol yang didorong masuk koalisi dalam hal ini adalah PKS-PAN-Gerindra-PBB. Sementara HRS sendiri beberapa waktu yang lalu memang terlihat membuka peluang bagi dirinya untuk mencalonkan diri sebagai presiden.
Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua Umum Persaudaraan Alumni 212 (PA 212) Slamet Maarif. Ia mengatakan bahwa HRS siap maju Pilpres 2019 andai diminta umat dan ulama.
Well, apakah HRS akan benar-benar maju atau tidak nanti di Pilpres 2019, kita sama-sama tidak tahu. Akan tetapi, bentang historisitas FPI dan HRS yang konon dinobatkan sebagai Imam Besar semumur hidup itu memiliki sejarah kekerasan dan intimidasi sejak berdirinya medio 1998, dalam hal ini perlu dipertimbangkan dan tidak bisa kita nafikkan juga.
Mengutip seorang peneliti dan penulis buku Islam in Java, Mark Woodward (2016), bahkan telah mafhum kalau FPI tak segan menargetkan “dosa dan kebiasaan buruk” pada kelompok yang dianggap menyimpang secara syari’at untuk kemudian diserang dan diintimidasi. Meskipun dalam sekuel unjuk rasa yang menuntut Ahok masuk penjara itu bertajuk “super damai” 2016-2017 lalu, FPI pada saat yang sama seolah telah melakukan sesuatu yang non-sequitur (tidak selaras).
Di lain pihak, FPI juga terlihat sangat vokal mengujarkan kebencian yang sengit, dimana mereka mudah sekali merendahkan dan secara harfiyah menista lawannya dengan istilah-istilah yang sangat kasar, seperti; “iblis”, “lebih iblis dari iblis”, “agen setan” dan sebagainya.
Bahkan, yang paling ekstrim dalam hal ini adalah ujaran kebencian yang mengajak masyarakat membunuh sesama warga negara. Pekik “Bunuh Ahok” yang sangat nyaring di telinga dua tahun terkahir ini, baik yang menyaksikan secara langsung maupun dalam tayangan-tayangan yang beredar luas di Youtube atau televisi merupakan sample terdekat dan paling mudah kita temukan untuk membuktikannya.
Karena itu tepat sekali di sini ketika Center Religious and Crosscultural Studies (CRCS) di Universitas Gajah Mada (UGM) 2010 lalu dalam Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia (2010) melaporkan bahwa FPI memiliki dwi rupa: sopan/beradab (civil) dan kasar/tidak beradab (uncivil).
Keberadaban itu mereka tunjukkan dengan banyaknya bicara tentang perbaikan negara Indonesia dan masyarakatnya, meski dalam hal ini secara eksplisit berfokus pada hukum syari’ah an sich. Sementara rupa FPI yang uncivil itu tanpa sadar mereka tunjukkan dengan banyak melakukan aksi kekerasan terhadap kelompok lain yang dianggap menyimpang secara syari’at, khususnya kelompok Syi’ah, Ahmadiyah, yang tidak berpuasa ketika Ramadhan, yang berjualan ketika Ramadhan, dan seabrek sweeping atasnama agama lainnya.
Padahal, meskipun apa yang diperjuang-lakukan FPI itu mereka anggap adalah kebenaran hakiki, akan tetapi jika cara penyampaian yang identik maksa-able seperti itu, tentu tidak dapat dibenarkan. Atau dalam istilah Jawa, para sesepuh (Orang Tua/senior) atau leluhur seringkali meneladankan bahwa demi mencapai keadilan dan perdamaian itu bukan berkutat pada benere kepiye (benarnya gimana/dalilnya apa), tapi lebih kepada apike kepiye (bagusnya bagaimana).
Demikianlah, ngono yo ngono, ning mbok yo ojo ngono (gitu ya gitu, tapi ya jangan seperti itu).
Anwar Kurniawan, Pegiat Kontra Narasi Ekstrimis di Islami Institute Jogja, dapat disapa lewat twitter @anwarku_r