Setelah Partai Berkarya, yang bermisi ingin “melanjutkan program HM Soeharto”, lolos menjadi peserta pemilu, Tommy Soeharto mengunjungi Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab (HRS) di Mekkah. Diberitakan bahwa HRS menyelamati Tommy, mendukung Partai Berkarya untuk ikut dalam “Koalisi Keumatan” (kini bernama “Koalisi Adil Makmur”), dan menyebutnya sebagai partai yang “nasionalis-Pancasilais”.
Pertanyaan: apakah HRS lupa pada pemahaman yang ia pegangi selama ini mengenai Pancasila dan sikapnya terhadap Orde Baru (Orba)?
HRS bukan orang yang awam Pancasila. Tesis magisternya di Universiti Malaya pada 2012 berjudul Pengaruh Pancasila terhadap Penerapan Syariah Islam di Indonesia. Membaca tulisan-tulisan HRS, saya mendapati pandangannya cukup konsisten mengenai penerapan Pancasila pada era Orba; bahwa Pancasila di era Orba dipakai sebagai alat untuk menindas umat Islam.
Misalnya, dalam buku “Wawasan Kebangsaan: Menuju NKRI Bersyariah” (2012) halaman 8-9, HRS menulis begini (saya kutip banyak, karena uraiannya menarik):
“Di tahun 1980, Pancasila dijadikan Asas Tunggal dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Hal ini telah memicu Peristiwa Tanjung Priok (1984) dan Peristiwa Lampung (1985). Asas Tunggal Pancasila pun telah mengakibatkan banyak tokoh Islam dijebloskan ke penjara, antara lain: KH Mawardi Noor, KH Abdul Qadir Jailani, KH Abu Bakar Ba’asyir, Hb Husein al-Habsyi, Hb Idrus Jamalulail, AM Fatwa, dan lain-lain. Bahkan Bapak Integrasi yang telah berjasa membentuk NKRI, yaitu M. Natsir, dimatikan hak kewargenagaraanya. Termasuk Syafruddin Prawiranegara, mantan Perdana Menteri Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang telah berjasa menyelematkan pemerintahan Indonesia tatkala para pimpinan bangsa ditangkapi oleh Belanda, pun tidak luput jadi korban Asas Tunggal Pancasila.”
“Orde Baru telah menempatkan Pancasila bukan pada tempatnya. Setiap pemberontakan dengan motif apapun selalu disebut dengan istilah rongrongan terhadap Pancasila, dan setiap upaya pemberantasan pemberontakan di manapun selalu disebut sebagai Pancasila Sakti…”
“Tidak sampai di situ, segala sesuatu dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di Indonesia pada era Orba selalu dikait-kaitkan dengan Pancasila, seperti Kabinet Pancasila, Pembangunan Pancasila, Ekonomi Pancasila, Pejabat Pancasila, hingga Masjid Amal Bakti Pancasila. Uniknya, PSSI saat dikomandoi Bardosono memperkenalkan Sepakbola Pancasila, walaupun pelatinya bernama Wiel Coever asal Belanda.”
“Di era Orba, Pancasila dihadap-hadapkan dengan agama Islam. Sejumlah Peraturan Daerah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat karena dinilai bernuansa Syariat Islam, sebagaimana pernah diakui sendiri oleh Amir Mahmud mantran Mendagri Orba. Inilah pengkhianatan Orba terhadap Pancasila Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan jiwa Piagam Jakarta yang berintikan Syariat Islam.”
Aliansi FPI dengan Partai Berkarya dengan demikian bisa kita baca dengan beragam kemungkinan. Mungkin (1) HRS lupa pada kritik kerasnya terhadap bagaimana Orba memperlakukan Pancasila. Atau mungkin (2) dalam masalah ini HRS punya “qaul qadim” (Orba menggunakan Pancasila untuk menindas umat Islam) dan “qaul jadid” (Partai Berkarya adalah partai nasionalis-Pancasilais), dan qaul jadid itu menasakh qaul qadim.
Atau mungkin (3) yang terjadi adalah aliansi pragmatis saling memanfaatkan: FPI mengakomodasi sebanyak mungkin partai yang sehaluan dalam dukungannya dalam pilpres untuk meningkatkan nilai tawar politiknya, dan Berkarya merangkul FPI untuk meningkatkan keberterimaannya dalam mengambil sebagian ceruk di kalangan umat Islam.
Belakangan, Berkarya memfasilitasi FPI menyelenggarakan acara Maulid Nabi Muhammad di Masjid At-Tin. Dalam sambutannya di acara ini, Tommy mengampanyekan apa yang ia sebut “ekonomi kerakyatan”, yang pengertian praktisnya kurang lebih adalah mengurangi campur tangan asing dalam ekonomi.
“Sangat mengkhawatirkan kalau asing ikut dalam pendistribusian toko retail di Indonesia. Artinya masyarakat yang mayoritas Muslim akan bergantung pada kaum minoritas,” begitu kata Tommy, yang pada waktu itu mungkin tak ingat bahwa bapaknya dululah yang memberi jalan bagi para konglomerat beretnis Tionghoa mendominasi perekonomian negeri ini.
Tujuan Membenarkan Cara
Melihat sejarahnya, FPI memang kerap kali menjalin aliansi untuk mendukung figur tertentu yang boleh jadi tak sejalan dengan idealisme FPI atau memiliki rekam jejak yang bertentangan dengan aspirasi yang diperjuangkan FPI.
Aliansi FPI dengan Berkarya adalah satu contoh. Sementara kampanye Berkarya kental dengan nuansa memikat para calon pemilih dengan nostalgia zaman Orba, di masa-masa awal pascapendiriannya pada 1998 FPI pernah mengeluarkan “Surat Pernyataan tentang Tuntutan Pertanggungjawaban Orde Baru” (bertanggal 12 November 2018).
Pada pemilu 2009, FPI menyatakan dukungannya pada pasangan Jusuf Kalla (Golkar)-Wiranto (Hanura), dengan alasan komitmen keduanya untuk menjaga agama dari penodaan dan kesesatan (pada waktu itu isu yang panas adalah soal Ahmadiyah). Empat tahun berselang, FPI kecewa dan mengecam Wiranto karena ketua umum Hanura ini mendukung dihelatnya Miss World pada 2013.
Empat tahun kemudian, ketika HRS tertimpa banyak kasus (mulai dari penodaan agama, penghinaan simbol negara, hingga pornografi), HRS bersilaturahmi ke rumas dinas Menkopolhukam Wiranto dan mengatakan, “Apa yang tadi disampaikan oleh Bapak Haji Wiranto itu sangat luar biasa dan itu merupakan hasil silaturahmi kami. Betul yang beliau katakan bahwa kami ini sudah bersahabat cukup lama.”
Pada pemilu 2009 itu, FPI tidak mendukung Prabowo, yang pada waktu itu menjadi cawapres Megawati. Sebagai informasi, dulu pada 2001 FPI termasuk di antara yang mengampanyekan haramnya presiden wanita (merujuk ke Megawati, yang menggantikan Gus Dur). Kendati demikian, wakil Megawati, yakni Hamzah Haz, kerap diundang ke acara FPI dan bahkan memberikan pengantar di buku karya HRS, FPI, Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Menjawab Berbagai Tuduhan terhadap Gerakan Nasional Anti-Ma’siat di Indonesia (2004).
Kalau mau disimplifikasi, pola dukungan FPI terhadap figur atau partai politik tertentu tertuju pada mana yang mengkomodasi aspirasi FPI, terlepas dari saleh-tidaknya figur itu atau Islam-tidaknya partai itu.
FPI bahkan mungkin memiliki pembenaran teologis dari sikap semacam ini. Saya menduga, pembenaran itu mirip dengan penerimaan—atau setidaknya tidak keberatannya—FPI dengan adanya (mantan) preman-preman yang ikut bergabung dalam barisan Laskar Pembela Islam-nya FPI. Menjustifikasi hal ini, Buku FPI, Amar Ma’ruf Nahi Munkar (halaman 204) mengutip hadis yang berbunyi, Innallah sayu’ayyidu hadzaddin bir-rajul al-fajir (“Allah menguatkan agama ini dengan orang yang banyak dosanya”—diriwayatkan dalam Sahih al-Bukhari). Dalam versi hadis lain: “Allah akan menguatkan agama ini dengan kaum yang tidak berakhlak” (biaqwamin la khalaqa lahum—diriwayatkan dalam Musnad Ahmad).
Jadi, dengan logika demikian, yang dituju FPI adalah ketertampakan figur atau partai tertentu dalam mendukung kemuliaan Islam (dalam penafsiran FPI) secara simbolik. Ini satu sikap yang memang harus dibarengi persiapan untuk kecewa: di saat yang mungkin menguntungkan, FPI bisa saja dipergunakan sebagai kendaraan elektoral, untuk kemudian ditinggalkan ketika figur sekuler yang didukungnya di kemudian hari malah menentang ajaran-ajaran yang didakwahkan FPI.
Perilaku politik FPI ini menggaungkan adagium yang kerap disebut Machiavelian, yakni bahwa tujuan dapat menjustifikasi cara (the end justifies the means). Dalam bahasa yang agak kasar, boleh jadi logika yang mendasari sikap politik FPI saat ini adalah “yang penting jagoannya menang dulu, konsekuensi setelahnya dipikir kemudian”.