Apakah Indonesia bisa berkontribusi untuk perdamaian dunia? Pertanyaan ini yang membuat para ulama dan tokoh agama berkumpul di tengah makin menguatnya prasangka buruk, ujaran kebencian, intoleransi, dan kasus-kasus kekerasan berbasis agama di sejumlah negara. Apalagi, setelah pertemuan Imam Besar Al Azhar, Sayyed Ahmed al Thayeb dengan Pemimpin Gereja Katolik Dunia Paus Fransiskus pada 4 Februari 2019 di Abu Dhabi.
Pertemuan yang juga dihadiri sekitar 400 para pemimpin agama-agama di dunia, termasuk pakar tafsir Indonesia Prof Muhammad Quraish Shihab, ini menghasilkan “Dokumen Persaudaraan Manusia” yang menegaskan umat manusia di seluruh dunia agar senantiasa membina persahabatan, menjalin persaudaraan, saling menghormati dan tidak mempolitisasi agama untuk kepentingan politik praktis sehingga memecah belah persaudaraan seluruh umat manusia, sebangsa dan setanah air.
“Keyakinan bahwa ajaran asli agama-agama mendorong manusia untuk hidup bersama dengan damai, menghargai kemanusiaan, dan menghidupkan kembali kebijaksanaan, keadilan, dan cinta kasih,” tutur salah satu bunyi pesan itu. (baca: isi dokumen Persaudaraan Insani antara Imam Besar Al Azhar dan Paus)
Langkah kemanusiaan ini tentu saja bukan hanya tanggung jawab satu umat atau satu negara, tetapi kerja bersama semua umat manusia di dunia ini, termasuk Indonesia. Dalam usaha meneruskan seruan ini dan demi mengingatkan penguatan toleransi dan mencegah peningkatan eskalasi kebencian dan permusuhan yang memang sedang menaungi dunia saat ini.
Para ulama dan pimpinan antar umat agama di Indonesia pun resah dan membuat forum guna terus memperkuat persaudaran dan perdamaian. Forum ini juga hendak mengajak seluruh umat manusia apa pun latar belakangnya mengecam segala bentuk teror, kekerasan, baik fisik maupun verbal, ekstremisme kekerasan, dan setiap bentuk keburukan yang merusak harmoni dan kedamaian hidup bersama. Forum Titik Temu ini mengambil tajuk “Persaudaraan Insani, Hidup Damai, dan Hidup Berdampingan”.
“Forum ini lahir karena adanya keprihatinan kami bersama, baik sebagai bangsa Indonesia maupun sebagai warga dunia. Keprihatinan atas situasi intoleransi, eksklusivisme dalam beragama, terorisme, ujaran kebencian, merebaknya hoax dan fitnah, serta politik aliran yang makin menguat,” ujar Muhamad Wahyuni Nafis, Ketua Nurcholish Madjid Society dalam pembukaan Forum Ritz Carlton hotel, Jakarta (10/04).
Menurut Alissa Wahid, Koordinator Jaringan Nasional Gusdurian, forum ini penting untuk menyampaikan pesan bahwa masalah terbesar kita adalah kebencian, bukan karena perbedaan. “
Di era dunia mengglobal ini, kita tak dapat menghindari keberagaman dalam hidup bersama. Kebencian antar kelompok akan membawa kehancuran, dan harus kita atasi dengan membangun jembatan-jembatan persaudaraan, dengan terus memupuk kepercayaan dan toleransi antar sesama. Selalu ada ruang hidup bersama dalam persatuan dan kedamaian,” tandas Alissa Wahid.
Dalam kesempatan itu pula, Prof. Syafii Maarif juga mengingatkan kita semua, apalagi di era politik seperti Pilpres 2019 yang tinggal menunggu hari untuk terus menjadi orang waras dan menggunakan agama sebagai spirit untuk berpikir jauh ke depan dan menolak upaya perusakan yang dilakukan oleh politisi culas yang justru hanya memanfaatkan agama untuk kepentingan sesaat.
“Agama itu membangun peradaban, bukan kebiadaban,” tutur Prof Syafii Maarif.
Tentu saja, apa yang dikatakan oleh beliau patut untuk diketengahkan mengingat belakangan awan gelap kebencian seolah menaungi dunia. Terbukti dengan adanya penyerangan berbasis kebencian berbasis agama dan etnisitas yang seolah terus meningkat. Mulai dari peristiwa Christchurch di New Zealand hingga yang terjadi di Belanda beberapa waktu lalu.
Forum Titik Temu ini merupakan awal dari pertemuan-pertemuan antar pemuka agama untuk kembali menegaskan betapa agama merupakan salah satu fondasi penting untuk perdamaian. Forum ini ini sendiri diinisasi oleh beberapa lembaga yang peduli terhadap bangsa dan merupakan jejak dari para pemikir seperti Nurcholish Madjid Society, Maarif Institute, Wahid Foundation, Jaringan Gusdurian, dan Yayasan Terang Surabaya.
Sejumlah tokoh hadir dan menyampaikan pesan perdamaian memberikan pidato antara lain Tokoh Muhammadiyah dan Pendiri Maarif Institute, Ahmad Syafii Maarif, tokoh agama perempuan yang juga istri almarhum KH Abdurrahman Wahid, Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, dan tokoh perempuan yang juga istri almarhum Nurcholish Madjid Omi Komaria Madjid dan lain-lain.