KUA Bakal Jadi Pusat Layanan Keagamaan Lintas Agama, Tepatkah?

KUA Bakal Jadi Pusat Layanan Keagamaan Lintas Agama, Tepatkah?

Kementerian Agama akan menjadikan KUA sebagai pusat pelayanan lintas agama. Dikutip dari NU Online, Dirjen Bimas Islam Kamaruddin Amin mengatakan pada tahun 2024 ini, pihaknya akan meluncurkan KUA sebagai pusat pelayanan lintas agama.

KUA Bakal Jadi Pusat Layanan Keagamaan Lintas Agama, Tepatkah?

Kementerian Agama akan menjadikan KUA sebagai pusat pelayanan lintas agama. Dikutip dari NU Online, Dirjen Bimas Islam Kamaruddin Amin mengatakan pada tahun 2024 ini, pihaknya akan meluncurkan KUA sebagai pusat pelayanan lintas agama.

Inisiasi ini juga tidak terlepas dari peran Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas atau Gus Yaqut. Dalam Rapat Kerja Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam di Jakarta (Sabtu, 24/2/2024), beliau menegaskan, “Kita sudah sepakat sejak awal bahwa KUA ini akan kita jadikan sebagai sentral pelayanan keagamaan bagi semua agama. KUA bisa digunakan untuk tempat pernikahan semua agama.”

Selain tempat pernikahan, KUA juga akan dijadikan tempat pencatatan pernikahan selain agama Islam, dan aula KUA juga dapat digunakan sebagai tempat ibadah sementara non-muslim. Tujuannya untuk memberikan bantuan kepada pemeluk selain agama Islam yang mengalami kesulitan dalam mendirikan tempat ibadah sendiri karena berbagai alasan.

“Bantu saudara-saudari kita yang non-Muslim untuk bisa melaksanakan ibadah yang sebaik-baiknya. Tugas Muslim sebagai mayoritas yaitu memberikan pelindungan terhadap saudara-saudari yang minoritas, bukan sebaliknya,” Kata Gus Yaqut.

Rancangan kebijakan Kementerian Agama ini patut diapresiasi. Ini semakin menunjukkan bahwa Kementerian Agama mengakomodir kepentingan seluruh umat beragama, tidak hanya umat Islam, apalagi Ormas tertentu. Menjadikan KUA sebagai pusat layanan lintas agama, menurut saya, sejalan dengan semangat awal pendirian Kementerian Agama.

Dilihat dari sejarahnya, Kementerian Agama dibentuk untuk mengamodir kepentingan seluruh umat beragama. Kementerian Agama menjadi jembatan antara negara dengan pemeluk agama. KH. Wahid Hasyim, Menteri Agama tahun 1949-1952, menjelaskan ada empat tugas negara terhadap agama:

Pertama, menjamin kebebasan warga negara untuk memeluk agama yang dikehendakinya.

Kedua, memberikan kemerdekaan beribadah dan menjalankan perintah dan peraturan agama masing-masing.

Ketiga, memelihara ketentraman bersama di antara masing-masing pemeluk agama.

Keempat, menegakkan dasar nasional bagi kehidupan masing-masing agama, atau dengan perkataan lain: mengusahakan bersihnya masing-masing golongan agama dari infiltrasi golongan sesamanya di luar negeri.

Keempat hal ini dinyatakan KH. Wahid Hasyim dalam tulisannya, “Sekitar Pembentukan Kementerian Agama R.I.S”. Tugas negara terhadap agama ini penting diingatkan oleh KH. Wahid Hasyim sebab pemeluk agama, terutama umat Islam, punya pengalaman buruk dengan aturan keagamaan yang dibuat pemerintah sebelumnya, dalam hal ini ialah pemerintah kolonial.

Ketidaknetralan Pemerintah Hindia-Belanda

Pemerintah Hindia Belanda kerapkali menyatakan netral terhadap agama. Tapi praktiknya sangat jauh berbeda. Kebijakan Hindia-Belanda kerapkali menguntungkan pemeluk agama tertentu, seperti Katolik dan Protestan, dan merugikan Islam. Keberpihakan Hindia-Belanda terhadap agama tertentu bukan karena alasan religius, tetapi lebih pada alasan politik. Mereka ingin menimbulkan perpecahan di kalangan umat beragama dengan cara melemahkan kelompok mayoritas.

Wahid Hasyim mengatakan, “Hindia Belanda menjalankan taktik demikian, bukanlah karena mencintai prostestan dan katolik dan membenci Islam, tetapi untuk keperluan untuk melemahkan mayoritas (golongan terbesar) dan mencari saudara pada minoritas (golongan kecil). Dan dengan sendirinya perpecahan tentu timbul dalam kalangan rakyat bangsa Indonesia.”

Aqib Suminto dalam bukunya Politik Islam Hindia Belanda mengulas hal ini lebih rinci dan mendalam. Suminto membuktikan ketidaknetralan pemerintah kolonial terhadap pemeluk agama. Selain mengawasi perkembangan ajaran Islam, pemerintah pada waktu itu juga tidak adil dalam memberikan dana terhadap masing-masing agama. Pada tahun 1917 misalnya, sumbangan yang diberikan kepada Islam sekitar f.127.029. Sementara yang diberikan pada Kristen, dalam tahun yang sama, sekitar f.1.235.550. Jumlah angkanya sangat jauh berbeda.

Karel A. Steenbrink dalam pengantarnya atas buku Aqib Suminto mengatakan, ternyata pemerintah kolonial memang tidak mau bersikap netral di bidang agama. Agama Kristen diberikan dukungan di daerah dan bidang tertentu dengan alasan politis: untuk mengusir orang Islam dari daerah tersebut. Kesimpulan yang muncul dalam buku ini tidak selalu enak didengar bagi telinga orang Belanda dan Katolik, namun betapapun kenyataan sejarah toh harus diakui.

Pada waktu awal pendiriannya, sebagian orang menduga umat Islam akan balas dendam terhadap apa yang terjadi pada masa kolonial. Umat Islam akan diprioritaskan, dan pemeluk Katolik akan dianaktirikan. Ada juga menyatakan, kementerian Agama hanya akan mendukung aturan yang berkaitan dengan perintah ajaran Islam.

Dugaan tersebut ditepis oleh KH. Wahid Hasyim. Beliau menegaskan pendirian agama bukan untuk menjalankan aturan agama tertentu, karena itu bukan wilayahnya Kementerian, tetapi  ranah Ormas ataupun perhimpunan agama. Karena Kementerian Agama bagian dari negara, tentu semua agama diperlakukan secara sama dan adil.

“Sebenarnya Kementerian Agama bekerja yang pertama bukanlah untuk menjalankan perintah-perintah agama. Kewajiban ini adalah menjadi beban perhimpunan agama. Kementerian Agama terutama bekerja menyelenggarakan hidup keagamaannya masing-masing golongan agama yang berhubungan dengan negara dan antara golongan agama dengan golongan agama lainnya.” Tegas KH. Wahid Hasyim.

Tantangan Kementerian Agama

Apa yang disampaikan Gus Yaqut di atas menarik untuk diperhatikan. KUA tidak hanya menjadi tempat nikah dan pencatatan nikah lintas agama, tetapi juga diusulkan untuk menjadi tempat ibadah sementara pemeluk agama lain yang tidak memiliki rumah ibadah karena berbagai alasan.

Rencana ini kalau benar-benar direalisasikan sampai tingkat bawah tentu akan semakin memperkuat kerukunan umat beragama. Dengan dijadikannya KUA sebagai pusat layanan lintas agama, harapannya perspektif dan kognisi pejabat KUA tentang agama lain juga semakin terbuka.

Di satu sisi usulan ini mengembirakan, KUA bisa menjadi rumah ibadah sementara pemeluk agama lain. Ini sekaligus menjadi solusi terhadap hambatan pendirian rumah ibadah yang terjadi di berbagai wilayah. Namun tantangannya kemudian, bagaimana Kementerian Agama memastikan hal ini bisa berlaku sampai tataran bawah?

Dalam riset yang dilakukan Lakpesdam-Kementerian Agama terkait peta konflik keagamaan dari tahun 2019-2022, ditemukan bahwa aparatus Kementerian Agama punya peran penting dalam menurunkan eskalasi konflik. Akan tetapi juga penting dicatat, sebagian pejabat Kementerian Agama di level bawah dalam beberapa kasus juga berperan dalam menaikan eskalasi konflik.

Sebab itu, Kementerian Agama perlu bekerja keras untuk memastikan seluruh pejabat, pegawai, atau stafnya memiliki pikiran yang terbuka terhadap agama lain, mampu membedakan pribadinya yang menganut keyakinan tertentu dengan tugasnya sebagai pejabat negara yang mestinya melayani kepentingan semua golongan.