Hari Rabu kemarin, presiden terpilih Joko Widodo mengumumkan jajaran kabinetnya. Salah satu nama yang disebutkan adalah Prabowo, yang notabene lawan Jokowi dalam pilpres lalu, untuk menduduki jabatan menteri pertahanan.
Sebelum diumumkan, memang sudah santer terdengar bahwa Prabowo akan menduduki salah satu menteri dalam kabinet baru. Bahkan sebelum serah terima jabatan hari ini, meme dan video yang menyindir kedua politisi sudah banyak meramaikan lini masa. Dari ungkapan ‘beli 01 dapat 02’ hingga viralnya kembali video santri yang menyebutkan Prabowo sebagai menteri Jokowi padahal waktu itu posisinya masih sebagai oposisi.
Masuknya Prabowo yang sebelumnya kerap mengkritik kabinet kerja, tentu membuat pendukung loyalnya harus menjilat lidah sendiri. Kita tentu masih ingat betul, betapa keruhnya persaingan suporter capres yang tidak mau mengalah dan saling menghujat.
Tak jarang, pertalian saudara hingga pertemanan harus putus karena adu argumen menyokong jagoan masing-masing. Padahal, tidak lama setelah kontestasi politik itu berakhir, Jokowi dan Prabowo memutuskan untuk islah dan sepakat untuk saling bergerak untuk kemajuan dan persatuan Indonesia.
Hal tersebut jauh berbeda dengan situasi arus bawah yang suasananya masih panas setelah Jokowi menang periode kedua. Sikap yang diambil Prabowo tentu membuat loyalisnya gerah, mereka cenderung lebih setuju jika ketua umum partai Gerindra ini konsisten di kubu oposisi, bukan beralih arah dan bergabung dengan pihak penguasa. Baper-nya fans Prabowo tentu saja masuk akal, siapa sih yang tidak kecewa bila orang yang didukung mati-matian dan sepenuh jiwa raga, eh di detik-detik terakhir malah ganti haluan?
Kekecewaan pendukung Prabowo memang dapat dipahami, namun pilihan politik Prabowo yang balik kanan dan memilih menjadi menteri dalam kabinet Jokowi sebenarnya sudah bukan dianggap sebagai hal tabu di percaturan politik. Fenomena politisi yang dengan mudah berganti opini maupun berpindah posisi disebut dengan flip-flop atau U-turn. Meski jarang terjadi seseorang capres mau menjadi menteri setelah kalah pemilu.
Sebenarnya bukan hanya Prabowo yang kerap melakukan flip-flopping, banyak politisi yang sering terjebak oleh kata-kata mereka pribadi, termasuk Jokowi sendiri pun dalam konteks kebijakan juga kerap melakukan hal sama, terutama yang berkaitan dengan janji kampanye untuk menegakkan aturan pada kasus pelanggaran HAM dan pemberantasan korupsi.
Awalnya, istilah flip-flop dimaknai secara peyoratif atau untuk menyindir langkah para politisi. Tetapi, dalam beberapa kasus jika perubahan tersebut mengarah kepada hal positif, misalnya dari mendukung pelemahan KPK menjadi pro penguatan lembaga anti korupsi, hal ini tentu lebih baik. Sayangnya, flip-flop dengan konteks tadi jarang terjadi.
Sebagian besar flip-flop dalam politik kita lebih menekankan pada tujuan dan kepentingan pribadi politisi sebagaimana yang dilakukan oleh Prabowo. Sebagai individu yang telah makan asam garam dinamika perpolitikan nasional, keputusan Prabowo untuk mengiyakan Jokowi masuk timnya tentu sudah dipertimbangkan jauh-jauh hari.
Beberapa pihak berasumsi bahwa persetujuan Prabowo menerima posisi menteri pertahanan mengacu pada kalkulasi politik yang jauh lebih menguntungkan dibandingkan tidak menjabat sama sekali, terlebih ketika Prabowo sudah beberapa kali kalah dalam pemilu. Selain itu Kementerian Pertahanan juga menjadi salah satu kementerian elit dengan anggaran Rp 127,4 triliun yang tidak dapat dibubarkan oleh presiden, sehingga menerima jabatan menteri tentu akan membantu Prabowo untuk mencapai kebutuhan self-actualization-nya.
Melihat kondisi politik saat ini, terutama terkait dengan bagaimana para politisi dengan mudahnya berganti haluan, baik pendukung Jokowi maupun Prabowo sepertinya memang perlu diingatkan kembali dengan nasihat Ali bin Abi Thalib, “aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup, dan yang paling pahit adalah berharap kepada manusia.”
Semoga kejadian ini membuat kita sadar bahwa terlalu berharap kepada makhluk, apalagi calon presiden hanya akan berujung pada kesia-siaan. Seloyal apapun kita mendukung dan membela politisi, kita perlu memahami bahwa mereka bergerak untuk meraih kekuasaan. Apalagi, tidak ada yang abadi dalam politik, termasuk kawan serta lawan, karena yang abadi dalam politik itu adalah kepentingan itu sendiri.