Saya tak habis pikir dengan pendapat beberapa orang, termasuk Hanum Salsabila Rais, yang menganggap Film Hijab karya Hanung Bramantyo cenderung menjelek-jelekkan Islam. Saya masih mengerti jika sebagian orang merasa tak menyukai film itu karena secara artistik Hijab memang kurang bagus. Namun, bagi saya, menuduh karya tersebut menyudutkan Islam adalah sesuatu yang salah.
Saya menonton Hijab beberapa waktu lalu dan, sebagai orang Islam, saya tak merasa disudutkan dengan film itu. Sebelum menontonnya, saya belum membaca ulasan atau pendapat orang soal Hijab, termasuk status Facebook Hanum yang belakangan banyak dibicarakan, dan oleh karena itu, saya tak punya bayangan apa-apa tentang film tersebut. Saya sempat berpikir bakal menonton sebuah “film dakwah” atau setidaknya “film religi”, tapi ternyata angan-angan itu salah.
Mulai tayang pada 15 Januari 2015, Hijab adalah film komedi-keluarga yang ceritanya sangat ringan. Kisah utamanya terpusat pada empat perempuan, tiga di antaranya memakai jilbab, yang sudah bersahabat sejak lama. Keempat perempuan itu adalah Bia (Carissa Putri), istri seorang aktor terkenal yang berhijab karena “terjebak” dalam sebuah seminar keagamaan; Sari (Zaskia Mecca), istri pria keturunan Arab yang saklek dalam agama; Tata, mantan aktivis mahasiswa yang berjilbab untuk menutupi rambutnya yang botak; dan Anin, penggila fashion yang belum berjilbab.
Masalah yang muncul di antara keempat perempuan itu bukanlah apakah mereka harus memakai hijab atau tidak dan apa alasannya, tetapi lebih pada hubungan dengan para suami. Sebelum menikah, Bia, Sari, dan Tata adalah perempuan mandiri yang punya penghasilan mencukupi namun sesudah berkeluarga mereka “terpaksa” menjadi ibu rumah tangga yang secara ekonomi bergantung pada suami. Kondisi itu lama-lama menimbulkan kejengahan dan akhirnya mereka bersama Anin memulai bisnis penjualan hijab agar bisa memperoleh penghasilan.
Bisnis hijab itu mulanya dijalankan secara rahasia karena suami Bia, Sari, dan Tata tak setuju jika istri mereka bekerja. Pada titik itulah konflik muncul dan cerita berjalan dengan alur yang tak terlalu sukar ditebak.
Ada dua hal dalam Hijab yang mungkin dianggap beberapa orang sebagai sesuatu yang menyudutkan Islam. Pertama, alasan beberapa perempuan di film itu memakai jilbab bukanlah alasan yang religius. Bia awalnya memakai hijab karena tak ingin salah kostum saat menghadiri sebuah seminar keislaman, namun dia terpaksa meneruskan memakai jilbab karena ceritanya sebagai muslimah yang mendapat hidayah untuk berjilbab saat ikut sebuah seminar kadung tersebar luas.
Tata memutuskan memakai jilbab karena, pada suatu hari saat bercermin di toilet kampus, dia menyadari rambutnya rontok. Dia tak ingin orang lain, terutama adik-adik kelasnya yang baru saja dia bentak-bentak, tahu soal kebotakan itu sehingga akhirnya memutuskan memakai jilbab secara terus-menerus.
Masalah kedua adalah sikap Gamal (Mike Lucock), suami Sari, yang sangat saklek pemahaman agamanya. Gamal mengharamkan banyak hal dalam kehidupan keluarganya, termasuk melarang istrinya bekerja. Hanung menggambarkan Gamal sebagai sosok komikal dan memang tokoh ini kerap menjadi bahan tertawaan sepanjang film.
Saat menonton Hijab, saya merasa dua hal yang saya sebut tadi bukanlah sesuatu yang menyudutkan Islam. Sebagai ajaran, Islam memang sempurna dan mulia, namun praktik berislam seseorang atau suatu kelompok, harus diakui, kadang-kadang tak ideal. Melalui Film Hijab, Hanung tak sedang menggambarkan atau menyoroti ajaran Islam, melainkan mengisahkan sebuah praktik berislam suatu kelompok. Dalam hal ini, Hanung tak berurusan dengan teologi, melainkan sosiologi.
Melalui Hijab, Hanung menggambarkan bahwa alasan sejumlah muslimah untuk berjilbab kadang-kadang bukanlah sesuatu yang religius. Laku berjilbab bisa terjadi karena macam-macam alasan, dan itulah yang sebenarnya kita lihat (tapi mungkin tak mau kita akui?) sehari-hari di Indonesia.
Soal suami yang melarang istri bekerja juga merupakan fakta sosiologis. Jadi, saat Hanung menghadirkan tokoh Gamal, dia tak sedang (dan tak hendak) mempersoalkan ajaran Islam soal kewajiban istri, melainkan sekadar menyuguhkan sebuah fakta. Kalaupun ada kritik yang terkandung dalam penggambaran itu, saya kira kritik itu dilontarkan secara tulus dan tanpa kebencian.
Kritik yang tulus itu pula yang saya lihat dalam film-film lain Hanung, misalnya Perempuan Berkalung Sorban(2009) dan ? (2011). Perempuan Berkalung Sorban memang penuh dengan kritik terhadap praktik berislam suatu kelompok yang meminggirkan perempuan, namun kritik itu dilontarkan dengan tepat dan proporsional. Film ?merupakan karya yang berani mengeksplorasi hubungan antar-agama di Indonesia dan menegaskan keberpihakan Hanung pada pluralisme.
Di sejumlah situs baru-baru ini, tuduhan negatif terhadap Hijab selalu disertai dengan penyebutan Perempuan Berkalung Sorban dan ? sebagai film yang cenderung menjelek-jelekkan Islam. Saya kira, mereka yang beranggapan seperti itu telah mencampuradukkan ajaran agama dan praktik beragama atau antara teologi dan sosiologi. Padahal, seperti yang sudah saya sebutkan, dalam sejumlah filmnya, Hanung lebih tepat dipandang sedang berurusan dengan sosiologi agama, bukan teologi sebuah agama.