“Jadikan Islam itu sebagai tuntunan, bukan tontonan”. Kalimat ini sering terucap dari salah Ustadz saya. Sebuah kalimat yang pendek tapi mengandung pesan yang begitu kuat. Terkadang, sang kiai mengatakannya dengan nada yang begitu dalam sembari menatap wajah santri-santrinya.
Ketika masih di dalam lingkungan pondok pesantren, kalimat ini belum begitu mampu saya pahami. Sejak kapan Islam jadi tontonan? Maklum, kami hidup di lingkungan yang sangat jauh dari kata kebebasan, termasuk dalam mengakses informasi. Saya bisa meng-update bacaan melalui koran dinding yang ada di halaman pondok pesantren yang dipasang pada pukul 08.00 WIB.
Pada waktu itu, Islam yang saya kenal adalah Islam yang dipraktikkan oleh orang-orang di sekitar saya. Para guru mengajarkan kami untuk berhati-hati, melarang kami menyampaikan sesuatu tanpa sanad atau ijazah ilmu yang jelas. Makanya, jika ada orang kemudian memutuskan untuk berkiprah sebagai guru agama, sebelum lulus mereka akan mengejar ijazah kitab ke mana-mana.
Kitab-kitab dasar pesantren seperti Fathul Qorib (fikih), Fathul Majid (teologi), dan Arba’in Nawawi (hadis), baru berani kami ajarkan apabila sudah mendapat ijazah dari salah seorang guru. Jika belum, kitab-kitab tersebut baru sebatas pedoman pribadi. Belum ada legitimasi untuk menyebarluaskan. Hal ini semata-mata untuk menjaga agar pemahaman terhadap suatu teks merujuk pada konteks.
Kisah yang seringkali saya dengar adalah perihal perbedaan mazhab, terutama di kalangan imam empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali. Keempatnya memiliki perbedaan cara mengambil hukum (istimbath al-ahkam), sehingga melahirkan produk hukum yang berbeda pula. Bahkan Syafii mengenal pendapat lama (qoul qodim) dan pendapat baru (qoul jadid) ketika melihat realitas yang berbeda antara kondisi di Irak dan Mesir.
Lalu bagaimana kita menyikapi keberagaman ini? Para guru selalu berpesan agar bersikap tawadhu’, apalagi kepada orang-orang yang mengaji ilmu agama selama bertahun-tahun. Perbedaan pendapat bukan alasan untuk saling mengolok-olok, apalagi jika sama-sama memiliki sanad keilmuan yang jelas. Berbeda apabila menghadapi orang-orang yang gagal paham karena belajar ilmu agama secara otodidak, para santri sebaiknya meluruskan. Caranya mulai yang paling halus dengan memberi tahu literatur yang dirujuk hingga perdebatan yang tetap bertujuan untuk bersikap hati-hati.
Namun konsep yang demikian tidak dikenal di sebagian besar masyarakat urban. Ketiadaan waktu untuk belajar agama membuat orang begitu terpesona dengan label-label keislaman yang ada di mana-mana. Saya sampai sedih ketika melihat sebuah brosur sebuah pesantren penghafal Al-Qur’an (tahfiz) di kota yang menawarkan diskon untuk sepuluh pendaftar pertama. Ada pula janji-janji bahwa para santri bisa menghafal dalam waktu satu bulan. Eh, mohon maaf, nih. Itu mau belajar dan merawat ayat-ayat suci atau ikut kompetisi?
Sebegitu brutalnya bisnis sampai lembaga pendidikan Islam mengenal istilah-istilah pasar! Anehnya, ada banyak orang yang menikmati pertunjukan gelap ini.
Hal demikian tentu tidak saya temukan di pesantren yang punya reputasi dan sejarah panjang. Apalagi pesantren penghafal Al-Qur’an. Sedari awal, pembangunan pesantren memang diniatkan untuk menjaga ilmu, terutama ilmu agama. Di sini, para santri diajarkan untuk merasakan agama sebagai sesuatu yang meneduhkan. Ranahnya bukan hanya persoalan tahu, tetapi sudah di level rasa.
Maka bisa dipastikan jika ada orang yang memperlihatkan agama, bahkan untuk mempersekusi, dia pasti bukan alumni pesantren!
Fenomena Ustad Gagal Paham
“Apakah kita akan diam jika agama dinista?” Begitu bunyi provokasi yang dilakukan oleh salah seorang ustad seleb yang videonya viral di mana-mana. Ia bahkan menyebut menghina penista agama akan mendapat pahala. Untuk menguatkan pendapatnya, dikutiplah ayat-ayat dan hadis yang pada ujungnya ia berpendapat Nabi juga galak dan mengumpat pada golongan kafir.
What? Demi memuaskan nafsu kebenciannya, sebegitu mudah dia menyeret sosok agung Nabi Muhammad sebagai pemarah dan pengumpat?
Ketika menonton video tersebut saya bertanya-tanya, siapa gerangan guru si ngawur ini? Mengapa begitu teganya dia membawa agama untuk memaklumkan perilaku buruknya?
Pertama, soal klaim penista agama. Siapa yang menista? Sering kali ustad seleb semacam ini melakukan berbagai cara untuk menjaga umat hidup dalam kebencian atas nama agama. Tidak ada orang yang menista pun tetap saja ia memprovokasi umat agar percaya bahwa seseorang telah menista. Ironisnya, sebagian kecil orang percaya bahwa pendapat ngawurnya merupakan sebuah kebenaran.
Karenanya penistaan agama di Indonesia yang mayoritas muslim sebenarnya buah imajinasi liar yang tidak pernah ada tetapi diada-adakan. Kasus tuduhan penistaan kepada Tretan Muslim dan Coki, Sukmawati, hingga Gus Muwafiq adalah bagian dari ritual mereka dalam menjaga mitos penistaan agama ini.
Kedua, sejak kapan Nabi mengumpat dan berperilaku kasar? Jika belajar sejarah Nabi dengan benar dan didampingi oleh guru-guru yang memiliki rantai kelimuan yang jelas, pendapat bodoh ini tidak akan pernah muncul. Sepanjang hidupnya Nabi membalas kejahatan dengan kebaikan. Apakah ustad gagal paham ini memang sepanjang hidupnya berusaha untuk memelintir ajaran agama yang penuh welas asih menjadi agama yang menakutkan?
Sudah gagal paham, mereka malah mengajak umatnya untuk membenarkan perilakunya dan dijanjikan pahala. Wes, tho! Berbuat jahat kok ingin dapat pahala. Mimpi!
Saya cenderung setuju dengan pendapat salah seorang teman saya yang mengatakan bahwa saat ini bukan saatnya yang waras ngalah. Juga bukan saatnya merayakan istilah silent majority yang meninabobokan. Orang-orang yang belajar agama selama bertahun-tahun punya tanggung jawab moral untuk membersihkan agama dari para pembenci, yang berupaya mengucilkan agama dengan imajinasi-imajinasi kotornya. Yang hanya membuat agama sebagai tontonan, bukan tuntunan. Wallahua’lam.