Dari kejauhan saya lihat beberapa anak dengan ransel dan kardus, tengah duduk di kursi depan asrama. Mereka tengah menunggu jemputan karena ini adalah musim liburan sekolah.
Saya dekati mereka,
“Mau ngapaian aja liburan ini?” Tanya saya mengagetkan mereka
Sontak mereka bergegas menyalami dan muncul ragam jawaban.
“Les Renang Pak!”
“Tidur lebih panjang Pak!”
“Main ke rumah teman pak!”
Pada jawaban ketiga ini, saya agak tertarik. Mengingatkan saya pada kebiasaan saya dulu semasa menjadi siswa kelas menangah.
“Di mana rumahnya?” lanjut saya
“Di Kudus pak.”
“Mau naik apa ke sana?”
“Naik bus, Pak.”
“Mantab. Hati-hati ya”
Saya jadi teringat ketika dulu masih sekolah menengah, momen liburan seperti ini sering saya gunakan untuk menginap di rumah teman.
Pernah satu kali saya menginap di rumah teman saya di daerah Gunung Wungkal, Pati. Sampai di sana kami hanya mendapati rumah yang kosong. Ternyata, kawan saya ini sendiri di rumah.
Orang tua teman saya ini, dua-duanya bekerja di Malaysia. Pulang dua tahun sekali jika tidak salah ingat. Dan ketika itu, akses panggilan video belum secanggih sekarang. Saya terbayang betapa kesepiannya teman saya ini.
Karena tidak ada orang dewasa di rumah, jika kami lapar ada dua opsi yang bisa kami ambil: membuat mie instan atau kami akan mengetuk pintu rumah budhenya yang berada persis di samping rumah. Ada satu kegetiran yang saya tangkap dari matanya, pulang tak berarti membalas rindu.
Lain liburan saya menginap di rumah teman saya yang berada di Jepara.
Ia anak seorang perajin mebel yang saat itu tengah menghadapi masa sulit karena bisnis mabel tengah melemah di tengah naiknya harga bahan baku. Di tengah kesulitan itu, mereka tetap menyambut saya, tidak hanya dengan makanan enak, tapi paket liburan ke makam dan pantai di sekitar. Sungguh bahagia saya saat itu.
Ibu saya, yang juga besar di pesantren, mengalami pengalaman serupa. Ia berulang kali menceritakan pengalaman tinggal di keluarga temannya di sidoarjo yang kaya raya, mengajaknya liburan ke Bali. Sebuah paket liburan yang tak terbayangkan oleh Ibu saya yang lahir di lereng gunung merbabu yang ndesa.
Setelah saya pikirkan lagi, hal yang membekas dalam dari segala macam situasi di sekolah menengah saya adalah kenangan melihat situasi sosial tersebut. Barangkali benar, bahwa pembelajaran yang paling berharga adalah melalui pengalaman langsung.
Ceramah yang paling canggih adalah ketika kita mengalami sendiri.
Di sekolah-sekolah formal, dalam beberapa waktu terakhir, populer program yang disebut “live-in”. Dalam program ini, para siswa ditempatkan di keluarga baru dengan kondisi ekonomi dan sosial yang berbeda.
Tujuan dari program ini biasanya adalah untuk melatih kepekaan emosional anak-anak.
Selama tinggal bersama keluarga angkat, siswa juga akan diajak terlibat dalam kegiatan keluarga seperti membantu tugas rumah tangga atau bahkan terlibat dalam kegiatan sosial yang dilakukan oleh keluarga tersebut.
Meskipun di pesantren saya dulu tidak punya program Live in, namun budaya tukar inap sudah menjadi kebiasaan yang umurnya barangkali sama tuanya dengan umur pesantren itu sendiri.
Budaya yang secara kultural dilakukan turun temurun dan membentuk perpektif dan jejaring pengalaman tersendiri.
Bahkan umum dijumpai seorang kyai jika tengah melewati suatu kota dan tahu bahwa ada santri yang bermukim di situ, maka sang Kyai akan mampir ke rumah santri tersebut. Mampir yang tidak sekedar mampir, karena mampir tersebut menjadi sebuah upaya untuk memahami situasi jejaring dan melakukan penguatan basis.