Dewasa ini tagline anti pacaran memang begitu masif, beribu-ribu buku anti pacaran ditulis, beragam kajian anti pacaran juga digelar, hingga munculah beberapa komunitas single, di antanranya adalah Singelillah.
Singelillah dipopulerkan oleh seorang motivator yang bernama Kang Abik dan artis Anandito Dwis yang baru saya menikahi lawan mainnya di segmen Siglelillah yaitu Anisa Rahma, mantan personil sebuah girl gruop yang sempat beken di tahun 2010 sampai 2012 lalu.
Dalam programnya, Singelillah tak hanya mengeluarkan video yang rutin tayang di channel youtube nya setiap minggu, namun juga merilis aplikasinya. Aplikasi tersebut diperuntukan bagi para singlelillah atau jomblo until merried yang hanya akan menjemput jodohnya dengan cara taaruf dan semacannya.
Sebenarnya jika kita cermati, Singelillah adalah kampanye anti pacaran yang berujung pada nikah muda. Padahal nikah muda juga sudah banyak dilakukan oran-orang di jaman dahulu, tetapi tak ada sebutan nikah muda waktu itu. bagi anak gadis yang sudah lulus SD atau seumurannya memang sudah biasa jika menikah waktu itu, maklum saja kondisi ekonomi dan politik di era itu berbeda.
Jika nikah muda itu terjadi di zaman dahulu, bagaimana dengan “hari ini”?
Hari ini Indonesia sedang mengalami masa transisi dan gejolak akibat pembangunan. Dalam hal ini semua elemen masyarakat dibutuhkan peran sertanya, mulai dari ekonom, politisi, akademikus, para pemuda dan para wanita tentunya. Sesungguhnya dalam hal ini perempuan sudah selayaknya memiliki andil besar, mengingat jumlahnya yang begitu banyak.
Menurut Buya Husein Muhammad, seorang Kyai Feminis asal Cirebon, bahwa di negara yang dihuni sekitar 200 juta lebih penduduk dengan perbandingan jumlah laki-laki dan perempuan yang hampir sama maka peran perempuan menjadi begitu deperlukan.
Bagaimana jika semua tanggung jawab dari mulai pekerjaan sampai proses kepemimpinan hanya dibebankan pada laki-laki, tentu saja itu adalah tugas yang berat. Menurut Beliau tak akan kuat jika hanya laki-laki saja yang menaggung dan perempuan hanya berdiam diri di rumah.
Lalu bagaimana jika perempuan yang masih fresh dan inovatif malah menikah di usia yang masih muda, padahal perempuan harus bersatu padu membangun bangsa agar menjadi perempuan mandiri yang keberadaannya tak selalu bergantung dengan pria, juga mejadi pendidik yang mengajarkan ketangguhan bagi anak-anaknya.
Kembali lagi ke soal pacaran dan tidak pacaran, bahwa sesungguhnya pacaran yang sudah ada sejak zaman dahulu ini kini sudah mengalami beribu-ribu tafsir. Sekarang, pacaran selalu dikaitkan dengan zina. Memang dalam Al-Qur’an disebutkan “wala takrobuzzina” jauhilah zina.
Apakah dengan anti pacaran, otomatis menjauhi zina?
Mungkin di sisi lain hal tersebut bisa dipandang sebagai sebuah solusi dan itu sah-sah saja. Tapi jika hanya pergantian istilah saja yang berlaku, tentu sangat riskan. Atau malah menyalah-nyalahkan orang yang pacaran dan merasa dirinya paling benar, itu lebih masalah.
Banyak orang mengaku tidak pacaran tapi justru sering sekali berduaan, katanya sih sudah taaruf atau dikhitbah. Aduhh apalagi itu, dengan sudah khitbah seringkali perempuan menjadi baper hingga ingin segera menikah.
Akhirnya daripada dirundung nafsu mereka menikah. Jika hal itu menjadi alasan utama menikah, sungguh pernikahan menjadi sangat murahan, bukan?
Menikah bukan hanya tentang yang haram menjadi halal, yang tidak boleh menjadi ibadah. Menikah itu bukan hanya tentang bersatunya dua insan. Pernikahan mempertemukan dua orang yang mempunyai kesamaan visi dan misi.
Dengan visi dan misi tersebut, mereka berkarya dan bermanfaat, hingga pernikahannya tak hanya menyenangkan bagi kedua orang tapi juga bagi orang-orang di sekitarnya. Sehingga tercapailah tujuan sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Wallahu A’lam.