Babak baru dimulai. Seluruh dunia sedang berjuang mati-matian melawan pandemi Corona (COVID-19). Masing-masing menyiapkan berbagai langkah preventif d/a antisipatif guna meminimalisir daya rusak Covid-19. Termasuk dalam hal ini adalah taburan azimat penangkal pandemi corona yang meramaikan bilik media sosial sepekan terkahir ini.
Sejauh yang saya temui, ada beragam azimat yang berlalu-lalang. Ada yang dalam bentuk pesan terusan, potret dari kitab azimat tertentu, pemberitaan, artikel, bahkan gambar manuskrip hasil goresan langsung si pemberi ijazah.
Teknik penggunaannya pun menawarkan varian skema, salah satunya adalah dalam bentuk mantera (dibaca) dan rajah (ditulis). Unsur pembentuknya pun beragam; mulai dari solawat, doa-doa, ratib wirid, dan yang tidak ketinggalan adalah fragmen al-Qur’an. Dunia hikmah tampaknya tidak mau terlewat untuk urun bagian dalam penanganan virus corona.
Apakah fenomena tersebut merupakan gejala dari keputusasaan masyarakat negara berkembang? Tentu saja tidak.
Catatan Karel Cerny (2013), misalnya, menunjukkan turut sertanya azimat dalam mengahadapi persoalan virus merupakan gejala umum bagi semua lapisan masyarakat di berbagai belahan dunia. Hal ini juga bukan hanya al-Qur’an yang telibat, kitab-kitab suci lain juga turut serta dieksploitasi dalam upaya penanggulangan mewabahnya virus. Terlepas dari persoalan ini, ada tiga hal menarik terkait dengan kehadiran al-Qur’an dan kebudayaan hikmah dalam altar wacana virus corona.
Pertama, dalam tradisi per-hizib-an (baca: hikmah), ketersambungan sanad adalah suatu kewajiban, baik hanya untuk mengamalkan apalagi untuk mengijazahkan ke wilayah publik. Tampaknya aturan ini menjadi tantangan tersendiri bagi kelancaran partisipasi dunia hikmah. Liarnya sebaran pesan dan status tentang azimat penangkal virus menunjukkan bahwa ada improvisasi dalam proses transmisi azimat. Barangkali ini lebih disebabkan oleh keadaan yang sudah dianggap genting.
Kedua, meramu dari bahasa Abdullahi Osman el-Tom (1985), jika dilihat dari pilihan ayat al-Qur’an dan ekspektasinya terdapat dua relasi, yaitu semantis dan manipulatif. Relasi yang pertama menunjukkan adanya linieritas antara makna redaksional teks al-Qur’an dan ekspektasinya. Contohnya penggunaan potongan Q.S.17:82, Q.S.2:255, dan Q.S.12:64. Jika dilihat secara mendalam sebenarnya linieritas ini pun cukup dangkal. Terlebih lagi relasi kedua, antara makna redaksional dengan ekspektasi jauh panggang dari api. Contohnya penggunaan Q.S.36:58. Pola demikian bukan sesuatu yang negatif. Sebaliknya, resepsi paling dasar terhadap al-Qur’an justru bukan pada aspek hermeneutisnya, tetapi lebih pada fungsinya dalam konteks sosial-kebudayaan.
Ketiga, riwayat tentang kebijakan lockdown Kanjeng Nabi Muhammad saw, sebagai pemimpin negara, tiba-tiba popularitasnya melesat. Dalam bahasa Talal Asad, kemunculan riwayat ini dalam aras perbincangan corona disebut dengan tradisi diskursif, di mana kebijakan lockdown memiliki relasi kesejarahan dalam tradisi keislaman yang paling dini. Tentu saja hal ini juga berlaku bagi kehadiran dunia hikmah yang melibatkan fragmen al-Qur’an dalam menanggapi kasus global corona. Di setiap tahapan generasi masyarakat ia selalu hadir dalam wajah kulturalnya.
Perbicangan COVID-19 dalam dunia hikmah, dalam bahasa antropologi disebut magi, yang melibatkan fragmen al-Qur’an adalah suatu keniscayaan. Terlebih lagi di Indonesia, sebagai komunitas Muslim terbesar dan bukan pemilik bahasa al-Qur’an, potensi untuk meresepsi kalam Allah di luar kapasitas tekstualnya jauh lebih memungkinkan. Di samping itu, secara performatif fenomena tersebut tampak lebih kreatif dalam praksis sosialnya.