Selain insiden kemanusiaan terbaru dari Jogja tentang penyerangan gereja dengan membabi buta dan dinyatakan oleh aparat kepolisian dipicu motif keyakinan, kita takan pernah kekurangan stok fakta: menemukan ungkapan, ucapan, dan tulisan yang kental sekali dengan perilaku “sakit jiwa” karena agama. Lihatlah jubelan caci maki, serapah , tudingan—dalam pelbagai kemampuan mengungkapkannya yang menakjubkan, serta menjadikannya parameter kebobrokan moral, khususnya di sosial media. Tragisnya, hal itu dilakukan oleh umat beragama dan atas nama marwah agama pula.
Ada apa ini? Mengapa kok bisa-bisanya agama yang khittahnya adalah untuk kemajuan keadaban dan peradaban justru berbalik arah jadi peremuk etika dan hakrat kemanusiaan?
Acap saya merenung di hadapan fakta-fakta niradab yang terus diproduksi itu, rasanya memang tak berlebihan bila sejumlah orang mengambil posisi sinis kepada agama dan umat beragama. Sinisme itu walau tidak sepenuhnya relevan, tetap mendapatkan pembenaran pada derajat praktik keberagamaan yang justru malah jauh dari akhlak.
Jika beragama malah mendorong kita untuk jauh dari keadaban, kebersamaan, dan bahkan kemanusiaan, untuk apa lagikah agama itu perlu dipertahankan? Begini contoh sinisme yang kerap kita dengar.mTerhadap sinisme sejenis itu, relevan bagi kita untuk mengulik genealogi agama hingga terseret pada serangkaian perilaku destruktif hari ini.
Saya contohkan Islam saja, sebab saya seorang Muslim.
Sejarah nenuturkan bahwa Rasulullah Muhammad saw. diberi wahyu pertama kali di antara kehidupan jahiliyah kaum Arab Quraisy. Kejahiliyah dimaksud ialah ketidakberadaban. Bayi perempuan dibunuh, perbudakan merajalela, kaum perempun tidak dihargai, dll. Seiring jalannya waktu, seiring bertambahnya wahyu ajaran yang diterima Rasulullah saw., mengerucutlah ajaran Islam pada praktik-praktik keadaban, keberadaban, dan kemanusiaan.
Khamr, misal, sebagai salah satu medium biang kerok kekacauan sosial dilarang secara bertahap. Begitu pun perjudian. Temasuk penipuan, kedustaan, dan pelbagai perilaku yang mengancam kerusakan peradaban humanistik.
Kemudian, seiring jalannya laju sejarah dan peristiwa, hingga tibalah ke masa kini, sangat mudah kita saksikan bagaimana ternyata Islam yang sangat ideal dan memuliakan kemanusiaan di tangan Raslulullah saw. bergeser ke sana-sini dalam pelbagai praktik yang negatif. Sebut saja tragedi Karballa, peralihan kekuasaan kekhalifahan dari Umayyah ke Abbasiyah yang sarat dengan penumpahan darah, hingga menggilanya rezim ISIS yang semudah menepuk nyamuk dalam menghikangkan nyawa dan sejumlah insiden intoleran berbau politik-ideologis di dalam negeri.
Jika anda ingat bagaimana pilihan politik seorang muslim di negeri demokratis ini di satu titik wilayah diancam dengan pendekatan agama untuk tidak dishalatkan bila mati karena dituding kafir (Baca: menyolati jenazah haram karena pilkada-red). Ancaman yang dilandaskan pada al-Maidah itu sungguh mengundang kengiluan yang luar biasa pada konteks relasi sosialnya.
Mengapa pengejawantahan surat al-Maidah ayat 51 itu menjadi sedemikian sarkastiknya dan mengancam kohesi sosial kita yang sesaudara setanah air ini?
Tepat di titik yang miris ini, saya teringat ungkapan lama bahwa Islam itu satu hal dan orang Islam adalah satu hal lainnya.
Apa-apa yang kita sebut Islam, sumber otentiknya, amatlah sangat memungkinkan menghasilkan jutaan pandangan, paham, mazhab, aliran, hingga faksi yang saling berbeda. Apa-apa yang menjadi sumber hukum Islam yang otentik, al-Qur’an dan hadits, tidaklah akan lantas otomatis setimbang dengan esensi teks itu sendiri atau maqashid al-syariatnya atau mirak ethic-nya. Ia lantas amatlah ditentukan oleh latar belakang seorang muslim itu sendiri yang jelas amatlah kompleks dan majemuk.
Maka sejatinya alamiah belaka bila wajah ekspresi Islam itu sendiri, teks-teks normatifnya, akan pula amat kompleis dan majemuk.
Perbedaan (khilafiyah) dengan sendirinya menjadi keniscayaan dan kewajaran. Akan tetapi, yang lalu menjelma anomali ialah tatkala kompleksitas dan kamajemukan orang-orang yang memeluk agama Islam bukannya membawa kemajuan bagi keadabaan dan kemusiaan, tetapi malah menghancurkannya, memundurkannya. Ini sungguh ganjil dan absurd, serta memprihatinkan.
Bagaimana mungkin ada orang yang menegakkan shalat lima waktu, tetapi perilakunya lebih dekat kepada kekejian dan kemungkaran, kejahatan dan bahkan vandalism dan pengerusakan terhadap yang dianggap beda?
Bagaimana logika jelasnya bila ada orang yang mengaku meneladani Rasulullah saw, tetapi ia pula yang mementungi orang lain, padahal Rasulullah saw memberikan perlindungan penuh kepada Abu Sufyan dan antek-anteknya yang selama ini menyerang tanpa henti kaum muslimin Madinah di saat Fathu Mekkah? Bagaimana memahami dengan logis orang yang mengaku cinta Rasul tetapi tak mengamalkan akhlah karimah kepada sesamanya?
Ada yang aneh, absurd, dan ganjil dalan praktik berislam sebagian kita kini. Sehingga agama Islam yang jelas-jelas sifat dasarnya adalah keselamatan dan kedamaian, yang misi utamanya adalah untuk menyempurnakan akhlak, malah berbalik arah menjadi peremuk akhlak, relasi antarmanusia, dan harmoni bangsa yang majemuj ini.
Titik chaos pemicu semua keretakan sfat damai dan selamat Islam itu tidak lain ialah keawaman dalam memahami dan menggali hukum dan pesan moral sumber-sumber utama Islam, plus provokasi kepentingan-kepentinhan pragmatis politis-ideologis yang luar biasa kini menelan kaum awam tersebut, dan tentu saja merebaknya fanatisme mazhab dan aliran yang telah menumpas benteng-benteng keadaban ikhtilaf.
Walhasil, pada sebagian orang, yang terus-menerus membiarkan dirinya digerus cara-cara negatif dalam berislam yang demikian, Islam tersembur ke permukaan sosial kita sebagai agama yang ortodoks, hegemonik, saklek, keras, kasar, dan destruktif. Sangat disayangkan, Islam yang rahmatan lil ‘alamin malah terjungkal ke belakang di tangan sejumlah orang Islam sendiri yang sakit jiwa dalam memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur’an dan Rasulullah saw