Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pada 14 Desember 2016 tentang “hukum menggunakan atribut non-muslim”. Fatwa itu menyatakan bahwa menggunakan atau mengajak/memerintahkan penggunaan “atribut keagamaan non-muslim” adalah haram. Fatwa itu tak menyebut Natal dan umat kristiani secara eksplisit. Namun kentara bahwa fatwa itu merujuk kepada—kita nyatakan terus terang saja—muslim yang menggunakan atribut yang dipersepsikan sebagai “atribut Kristen”, seperti pakaian Sinterklas dan aksesorisnya.
Dengan alasan “sosialiasi” fatwa, FPI telah melakukan sweeping (istilah FPI: “aksi ta’aruf”), salah satunya di beberapa pusat perbelanjaan di Surabaya—aksi yang dikawal polisi ini sebetulnya disayangkan oleh ketua MUI sendiri. Dalam hal ini, kita mengapresiasi penuh respons Kapolri Tito Karnavian yang menegaskan “fatwa MUI bukan hukum positif” dan telah mendesak kepolisian Bekasi dan Kulonprogo agar mencabut surat edaran yang menjadikan fatwa MUI itu sebagai rujukan. Kesigapan kapolri ini turut mengirim pesan bahwa penegakan hukum harus tetap di tangan negara. Pembiaran terhadap aksi main hakim sendiri (vigilantisme) berarti hilangnya salah satu fungsi dasar berdirinya negara, yakni sebagai pemilik tunggal alat koersi dan pelindung keamanan warganya.
Atribut Kristen?
Di luar hal di atas, sejumlah catatan perlu diajukan terhadap isi fatwa MUI itu, terutama hal-hal yang tak disertai penjelasan yang nuanced dan memadai. Salah satunya ialah soal luasnya cakupan makna “atribut keagamaan non-muslim”.
Penisbahan kepemilikan terhadap suatu atribut sesungguhnya cair mengikuti perkembangan zaman: apa yang sebelumnya merupakan tradisi agama atau budaya tertentu, bisa diikuti atau diadopsi oleh agama atau budaya lain dan kemudian menjadi tradisi bersama.
Salah satu contohnya adalah tasbih (dalam Kristen: rosario), yang tidak murni berasal dari Islam—dan karena itu dianggap bid’ah oleh satu kelompok dalam Islam. Di Indonesia, ada kentongan untuk masjid—yang pernah jadi perdebatan di kalangan kiai NU generasi awal; satu menganggapnya bid’ah, yang lain membolehkannya. Juga menara—yang berasal dari kata Arab “manarah” (tempat perapian)—untuk masjid: satu pendapat menyatakan menara diadopsi dari tradisi Zoroastrian; pendapat lain menyatakan ia berasal dari gereja Kristen Suriah yang, ketika berada di bawah dinasti Umawi, diubah jadi masjid. Baju koko, yang bermula dari tradisi Tionghoa (tampak dari namanya: dari “engkoh-engkoh” menjadi “koko”), juga bisa menjadi contoh.
Lebih jauh, bila menjadikan hadis tasyabbuh (“siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia bagian dari mereka”) sebagai dasar, kita tahu, banyak tradisi yang di-share bersama—dan karena itu mengandung keserupaan—bukan hanya oleh ketiga agama Abrahamik melainkan juga agama-agama di luar itu. Jubah, sorban, kopyah, dan kerudung untuk perempuan, dengan berbagai ragam bentuk dan namanya, adalah sedikit di antara contohnya. Bahkan hingga istilah untuk menyebut Tuhan: kata “Allah” digunakan oleh orang Kristen yang berbahasa Arab, dulu hingga kini. Lebih jauh lagi, bila “atribut” juga mencakup simbol, jangan lupakan lambang nasional kita, burung Garuda, yang berasal dari tradisi Hindu; Garuda adalah tunggangan (vahana) Wisnu.
Budaya berkembang secara cair, menyerap-mengadopsi-memodifikasi dari budaya lain. Budaya bisa mengeras-mengkristal setelah dinyatakan sebagai “identitas” dalam suatu konstruksi politis tertentu, bisa dari kalangan dalam maupun luar.
Pakaian Sinterklas dan pohon cemara bukan pengecualian. Ikonisasi pohon cemara sebagai pohon Natal diserap dari budaya Eropa, sementara Yesus sendiri tidak pernah ke Eropa. Persoalannya ialah bagaimana dan siapa yang mengidentifikasi pakaian Sinterklas dan pohon cemara sebagai mengandung identitas Kristen. Bila melihat sejarah, ikonisasi Sinterklas justru amat sedikit berhubungan dengan agama.
Penggambaran Sinterklas seperti dikenal secara populer saat ini jauh lebih banyak terkait dengan industri iklan. Penggambaran Sinterklas modern baru mulai muncul seabad lalu. Ia menjadi populer dan mendunia sejak diadopsi menjadi iklan perusahaan asal Amerika Coca-Cola pada 1920-an—warna merah baju Sinterklas cocok dengan brand perusahaan minuman bersoda itu. Sinterklas modern adalah Sinterklas yang telah ter-Amerika-kan (sementara Santo Nikolas, sebagai basis figur Sinterklas, tidak pernah ke Amerika).
Kita bisa mengatakan, penggambaran Sinterklas modern merupakan fenomena komodifikasi atas hal yang sakral (commodification of the sacred), yang menjadi salah satu fitur kapitalisme. Dengan dasar ini, alih-alih merupakan atribut keagamaan, pakaian Sinterklas sebenarnya adalah atribut kapitalisme. Dalam taraf tertentu, komodifikasi Sinterklas boleh jadi malah menentang nilai keagamaan: kerakusan meraup materi bertentangan dengan semangat charity dan altruisme. Fakta bahwa perhatian publik dalam budaya pop jauh lebih banyak tearahkan kepada Sinterklas ketimbang kelahiran Yesus semakin membuktikan hal itu.
Tentang Sinterklas dan hal-hal lain yang diduga merupakan atribut Kristen ini, pendapat yang senada disampaikan oleh Prof. Jan Sihar Aritonang. Selain menyatakan bahwa gereja Kristen dengan berbagai alirannya belum pernah membuat konsensus tentang atribut/simbol/hiasan Natal, guru besar Sekolah Tinggi Teologi Jakarta itu dalam surat terbukanya untuk MUI menyatakan “produksi, penyebaran, dan perdagangan benda-benda itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan iman Kristen” dan “lebih dimotivasi oleh hasrat mendapat keuntungan material.” Karena inilah, lanjut Aritonang, “orang-orang yang terlibat di dalam aktivitas itu berasal dari berbagai penganut agama.”Singkatnya, bila yang dimaksud dalam fatwa MUI dengan “atribut keagamaan non-muslim” itu adalah aksesoris Sinterklas atau pernak-pernik lain yang secara populer dikira atribut Kristen, ini adalah identifikasi yang salah sasaran.
Baca artikel lengkapnya di web CRSC UGM.