Abad ke-19 M adalah masa kejayaan kaum terpelajar Nusantara di Haramain (Makkah-Madinah). Nama-nama seperti Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syaikh Mahfudz at-Tarmasi, Syaikh Abdusshamad al-Falimbani, Syaikh Yasin al-Fadani merupakan sederet nama-nama besar asal Nusantara yang mempunyai peran penting dalam transmisi keilmuan di Haramain pada masa itu. Syaikh Nawawi al-Bantani menjadi penghulu ulama Hijaz (sayyid ulama Hijaz), Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi didaulat menjadi imam Masjidil Haram sekaligus mufti dari Mazhab Syafi’i.
Di balik nama-nama besar ulama yang berasal dari kalangan laki-laki tersebut, ternyata terdapat seorang ulama dari kalangan perempuan yang juga mempunyai peran besar terhadap transmisi keilmuan, khususnya dalam bidang hadis. Dia adalah Syaikhoh Fathimah al-Falimbani, putri dari Syaikh Abdusshamad al-Falimbani. Rekam jejak keulamaan dan boigrafinya memang sangat sulit dilacak, namun namanya tercatat dan didokumentasikan oleh Syaikh Yasin Isa al-Fadani, seorang ulama dari Nusantara yang ahli di bidang sanad. Catatan mata rantai keilmuan yang disusun oleh Syekh Yasin bin Isa al-Fadani dalam kitabnya al-‘Iqd al-Farid al-Asanid, menunjukkan satu nama ulama perempuan dari Nusantara yang mencorong di antara nama para ulama laki-laki.
Dalam kitabnya, Syekh Yasin al-Fadani menjelaskan sanad kitab Shahih Bukhari miliknya berasal dari: (1) Syaikh Abdul Karim bin Ahmad Khatib bin Abdil Lathif bin Muhammad Ali bin Ahmad al-Minangkabawi; beliau menerima dari: (2). Al-Allamah as-Syaikh Ahmad bin Abdil Latif al-Khatib al-Minangkabawi; dimana beliau belajar kepada: (3). Syaikh Nawawi bin Umar al-Bantani al-Jawi. Mahaguru ulama Nusantara ini menerima dari: (4.) Syaikhah Fathimah binti Abdusshamad al-Falimbani; beliau menerima dari ayahnya, yaitu (5). Syaikh Abdusshamad bin Abdirrahman al-Falimbani; beliau menerima dari: (6). As-Syaikh ‘Aqib bin Hasanuddin bin Ja’far al-Falimbani; beliau menerima dari gurunya, dimana gurunya juga menerima sanad ini dari gurunya dan seterusnya atau bersambung dengan ulama-ulama Timur Tengah hingga ke pengarang kitab Shahih Bukhari, yaitu Imam Bukhari.
Nama Syaikhah Fathimah memang tercantum di kitab milik Syaikh Yasin, namun tidak ada keterangan jelas mengenai tahun berapa dia lahir, dan tahun berapa dia meninggal serta bagaimana perjalanan hidupnya. Namun, Mal An Abdullah dalam Syaikh Abdus-Samad Al-Falimbani: Biografi dan Warisan Keilmuan, sedikit memberikan gambaran tentang bagaimana Fathimah al-Falimbani mewarisi ilmu dari sang ayah. Dan ternyata, sejak kecil Fathimah memang telah mendapat bimbingan langsung dari Syaikh Abdusshamad dalam berbagai bidang keilmuan, hingga beliau menjadi seorang ulama perempuan dan menguasai bidang hadis. Oleh sebab itulah, setelah Syaikh Abdusshamad wafat, Fathimah lah yang meneruskan aktivitas keilmuan ayahnya, dan banyak murid Jawi yang kemudian mendapat kesempatan berguru kepadanya, salah satunya adalah Syaikh Nawawi al-Bantani.
Dalam catatan Syaikh Yasin al-Fadani, Syaikh Nawawi menerima sejumlah ijazah kitab dari Syaikh Abdusshamad al-Falimbani. Dan mungkin sekali, pengijazahan tersebut bersifat umum, sehingga pasca wafatnya Syaikh Abdusshamad, Syaikh Nawawi kemudian mendalaminya lagi melalui dua orang murid langsung dari Syaikh Abdusshamad asal Palembang yang senior, yaitu Syaikh Mahmud Kanang al-Falimbani dan Syaikhoh Fathimah binti Abdusshamad al-Falimbani. Selain Syaikh Nawawi al-Bantani, ulama besar Nusantara lainnya yang disinyalir pernah belajar kepada Syaikhoh Fathimah al-Falimbani adalah Syaikh Mahfudz at-Tarmasi.
Keulamaan Syaikhoh Fathimah al-Falimbani juga disebut oleh Shafiyya Idris Fallati dari Universitas Jordan. Dalam penelitiannya yang berjudul “Peran Perempuan Dalam Melestarikan Kitab Shahih Bukhari Dan Shahih Muslim Dari Abad Ke-4 Sampai 14 H“. Shafiyya menjelaskan bahwa terdapat tiga ulama hadits dari kalangan perempuan pada abad ke-14 H/19 M: Pertama, Syaikhah Ummatullah al-Dahlawi dari India; Kedua, Syaikhah Fathimah binti Abd Shamad berasal dari Palembang-Indonesia; Ketiga, Syaikhah Fatimah bin Ya’qub berasal dari Makkah.
Walaupun riwayat hidup ulama perempuan bernama Fathimah al-Falimbani masih menjadi misteri, namun ada beberapa karya peninggalannya yang menjadi bukti keulamaannya. Diantaranya, al-Faharis al-Qo’imah fi Asanid Fathimah. Sebuah kitab yang berisi tentang kumpulan isnad dan daftar guru Syaikhoh Fathimah. Menurut Habib Salim bin Jindan dalam manuskrip yang disusunnya, yaitu Rawdhat al-Wildan fi Tsabat ibn Jindan, kumpulan isnad tersebut didektekan oleh Fathimah di rumahnya sendiri, yaitu di Makkah kepada muridnya yang bernama Abdul Ghani al-Asyi. Selain al-Faharis al-Qo’imah, karya lainnya dari Fathimah al-Falimbani adalah Faidhol Ihsani wa Midadal Rabbani fi Manaqibi Syaikh Abdusshamad al-Falimbani.
Kitab peninggalan Syaikhoh Fathimah adalah salah satu bukti keulamaannya. Selain itu, peninggalannnya yang berupa catatan transmisi ilmu atau catatan mata rantai keilmuan dan daftar nama guru-gurunya, menjadi bukti pentingnya sanad keilmuan seseorang, apalagi dalam bidang hadis. Selain menunjukkan kredibilitas keilmuan seseorang, transnmisi keilmuan tersebut juga dapat memberikan informasi-informasi yang jarang diketahui banyak orang.
Oleh sebab itu, setiap ulama biasanya mencatat mata rantai keilmuan yang dia terimanya. Agar jelas siapa gurunya, bersambung kepada gurunya, hingga ke penulis kitab, hingga sampai kepada Rasulullah saw. Sanad keilmuan memegang peranan penting, sebab sanad adalah semacam jaminan bahwa, keilmuan yang didapatkan berasal dari pemegang otoritas agama yang kredibel, bahkan sambung kepada Rasulullah saw. Melalui sanad lah, ilmu yang didapatkan bukan berasal dari sembarang orang. Dan inilah yang membedakan antara ajaran Islam dengan keilmuan yang lain.
Adanya karya yang ditinggalkan oleh Syaikhoh Fathimah, juga menjadi bukti bahwa sosoknya memang mempunyai banyak kontribusi dalam dunia keilmuan. Hanya saja, rekam jejaknya memang terpinggirkan dalam catatan-catatan sejarah peradaban bangsa.
Syaikhoh Fathimah adalah potret perempuan yang mau berusaha keras mendalami keilmuan hadits, yang oleh beberapa kalangan dianggap sebagai ilmu yang sangat rumit. Namun berkat dukungan ayahnya, Syaikh Abdusshamad al-Falimbani yang seorang mujahid, mursyid, sufi, dan penulis produktif. Fathimah Al-Falimbani menjadi sosok ulama perempuan yang sangat masyhur di tanah suci, ulama perempuan ahli hadis, dan pencetak ulama besar Nusantara dan banyak ulama-ulama yang mengambil ilmu darinya.
Dari Syaikhoh Fathimah al-Falimbani, kita bisa belajar bahwasanya kaum perempuan juga bisa menjadi ulama besar. Mempunyai kapasitas dalam mendalami sebuah bidang keilmuan, baik dalam bidang agama maupun lainnya. Kehadirannya mampu melahirkan generasi-generasi yang unggul di masa mendatang. Dan kehadirannya bukan sebagai pesaing bagi ulama dari kalangan laki-laki, tetapi sebagai patner dalam membangun peradaban dan menyebar luaskan ilmu pengetahuan dan dakwah Islam.