Peran kaum perempuan dalam khazanah peradaban Islam sering terpinggirkan, sehingga kita akan sulit melacak rekam jejak para perempuan yang menjadi ulama di dalam catatan sejarah peradaban Islam. Kalaupun ada, catatan tersebut biasanya tidak semelimpah catatan tentang ulama dari kalangan laki-laki. Hal tersebut juga terjadi terhadap sejarah peradaban Islam (di) Nusantara. Hanya sedikit sekali rekam jejak dalam catatan sejarah Nusantara yang menjelaskan tentang seorang tokoh ulama perempuan, sebut saja nama ulama perempuan dari Banjar yaitu Syaikhoh Fathimah al-Banjari.
Nama Fathimah binti Abdul Wahab Bugis, atau yang lebih populer dengan Fathimah al-Banjari tidak begitu dikenal dalam jajaran ulama Melayu-Nusantara. Namun tokoh satu ini ternyata banyak terlibat dalam proses pendidikan kaum perempuan di Kalimantan. Oleh beberapa peneliti Namanya sering disebut sebagai penulis kitab Parukunan Melayu, sebuah kitab kuning beraksara Arab-Melayu yang sampai kini masih banyak menjadi rujukan dalam pengajaran agama di wilayah Melayu-Nusantara.
Fathimah lahir di Martapura, Kalimantan Selatan dari keluarga terdidik. Dia adalah putri ulama besar dan terhormat di Kalimantan, yaitu Syaikh Abdul Wahab Bugis yang berasal dari keluarga bangsawan. Sedangkan Ibunya bernama Syarifah, adalah putri dari Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari yang merupakan ulama besar dunia dari Nusantara.
Tidak ada keterangan jelas tentang tahun berapa Fathimah al-Banjari lahir. Namun ada yang mengatakan bahwa, dia wafat kira-kira pada usia 53 tahun pada tahun 1828 M, dan dimakamkan di komplek pemakaman Desa Karang Tengah, Martapura. Dari pendapat ini, tahun kelahiran kira kira adalah pada tahun 1775 M.
Terlahir dari keluarga berdarah ulama dan bangsawan, Fathimah banyak mewarisi ilmu-ilmu keislaman dari bapak dan ibunya. Alfani Daud dalam Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar menjelaskan bahwasanya kealiman yang dimiliki Fathimah tidak bisa lepas dari peran sang kakek, yaitu Syakh Muhammad Arsyad al-Banjari yang mendidiknya secara langsung. Bahkan, Syaikhoh Fathimah adalah cucu sekaligus murid Muhammad Arsyad yang paling cerdas.
Bersama sang ibu dan saudara seibu yang bernama Muhammad As’ad bin Utsman, Fathimah dididik langsung oleh Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Dari kakeknya tersebut, Fathimah belajar bahasa Arab, ilmu tafsir, ushuluddin, dan fikih. Setelah menguasai berbagai cabang disiplin ilmu, Fathimah beserta ibunya diberi izin untuk mengajar agama untuk kaum perempuan di daerahnya.
Kealiman Fathimah memang tidak lepas dari sang kakek yang mendidik cucunya secara langsung, dan tidak pernah membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal pendidikan. Mereka semua mendapatkan hak yang sama untuk berpartisipasi aktif dalam dunia ilmu pengetahuan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa ulama besar sekaliber Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, juga mempunyai kepeduliaan terhadap pendidikan perempuan pada masa hidupnya.
Fathimah al-Banjari adalah sosok perempuan yang mampu menguasai berbagai cabang disiplin ilmu agama, bahkan dia disebut mempunyai peran penting dan menjadi tonggak kemunculan para ulama di Kalimantan, perintis emansipasi perempuan di bidang pendidikan, khususunya pendidikan Islam. Salah satu keterlibatannya dalam tradisi keilmuan dan pendidikan Islam adalah melalui karyanya yaitu kitab Parukunan Melayu.
Kitab Parukunan sendiri merupakan kitab sederhana, berisi tentang uraian dasar tentang rukun Islam dan rukun Iman. Menurut Martin Van Bruinessen, kitab tersebut merupakan salah satu kitab paling populer di antara kitab-kitab sejenis yang muncul pada masa itu dan ditulis oleh seorang perempuan.
Kitab yang ditulis dalam bahasa Melayu dan dipelajari hampir di seluruh Indonesia merupakan catatan-catatan pelajaran yang diterima Fathimah dari Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Catatan-catatan tersebut kemudian disalin secara turun temurun, dan belakangan dicetak dengan nama Parukunan. Pendapat lain mengatakan bahwa kitab Parukunan adalah Kitab karya Fathimah, tanpa menyebutkan sebagai hasil dikte Muhammad Arsyad.
Namun dalam kenyataannya, kitab Parukunan Melayu ini jika dilihat bentuk fisiknya justru tertulis sebagai karya Mufti Jamaluddin Al-Banjari yang merupakan paman dari Syaikhoh Fathimah al-Banjari. Mengenai hal tersebut, ada beberapa pendapat kenapa kitab Parukunan tersebut kemudian diatasnamakan Mufti Jamaluddin al-Banjari.
Pertama, Marin Van Bruinessen yang berpendapat bahwasanya dalam dunia kitab kuning tidak ada istilah hak cipta. Sehingga menyalin tulisan tanpa kreditasi adalah hal yang biasa; Kedua, pendapat yang mengatakan pihak kerajaan hanya mengakui otoritas ilmu agama yang dimiliki oleh mufti kerajaan yang waktu itu dijabat oleh Mufti Jamaluddin. Fatwa keagamaan yang tidak dikeluarkan oleh mufti kerajaan tidak diakui dalam struktur Kerajaan Banjar waktu itu. Oleh sebab itulah, jika kitab itu diklaim sebagai karya Fathimah, yang bukan mufti kerajaan, beragam hukum fikih di dalamnya tidak diakui kebenarannya. Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa Fathimah melihat kepentingan yang lebih besar dengan tidak ditulis namanya sebagai pengarang kitab tersebut.
Kitab Parukunan sendiri berisi tentang uraian dasar mengenai rukun Islam dan rukun Iman dan diperuntukkan bagi orang yang baru belajar agama dan menjadi semacam pelajaran praktis. Sebab, kitab Parukunan hanya memuat pengetahuan dasar akidah dan syariah, dan hanya sedikit menyediakan ruang diskusi menyangkut teori-teori yang mendukung praktik-praktik tersebut.
Kitab tersebut menjadi buku pegangan dalam pembelajaran fikih dan tauhid di lembaga-lembaga pendidikan tradisional, masjid-masjid, dan musala-musala, yang tentu saja tidak hanya dipelajari oleh kaum perempuan, tetapi juga kaum laki laki. Lebih lanjut, kitab tersebut sudah sejak lama ada di hampir setiap rumah tangga di Kalimantan Selatan. Dan masih dipergunakan di kampung-kampung, terutama kaum tradisionalis yang belum terpengaruh oleh paham pembaharuan Muhammadiyah.
Syaikhoh Fathimah al-Banjari adalah satu dari sekian banyak ulama perempuan di Indonesia atau Nusantara, yang mempunyai kiprah besar dalam dunia keilmuan dan pendidikan kaum perempuan. Jauh sebelum munculnya nama R.A Kartini yang sering diidentikkan sebagai tokoh emansipasi perempuan.
Melalui kiprahnya dalam dunia pendidikan kaum perempuan, dia dikenal sebagai tokoh perempuan yang dapat dikatakan sebagai pembuka akses pendidikan bagi perempuan Banjar. Keahliannya dalam ilmu agama, dan kepekaannya terhadap kondisi sosial pada masa hidupnya menjadikan namanya sebagai seorang ulama perempuan Banjar, dan Nusantara yang tidak boleh dilupakan. Walaupun rekam jejaknya tidak banyak ditemukan dalam catatan sejarah peradaban. Karena namanya bagaikan mutiara yang hilang di latar belakang kesejarahan peradaban.