Di tahun 2016, Daniel Radcliffe (mantan pemeran Harry Potter) memerankan seorang agen FBI yang cerdas yang akan menghentikan sebuah aksi bom dalam Film berjudul “Imperium”. Hal menarik dalam film ini adalah aksi teror yang terjadi disebabkan oleh gerakan fasis kulit putih yang sangat subur di Amerika. Kita mungkin mengenal gerakan Ku Klux Klan, yang dulu pernah melakukan aksi teror di Amerika Serikat di masa lalu.
Gerakan ini berdiri sekitar tahun 1865 di Amerika Serikat, gerakan ini berkeyakinan bahwa ras kulit putih adalah yang terbaik, oleh sebab itu mereka melakukan “pembersihan”, istilah yang digunakan untuk menghilangkan ras yang lain. Gerakan ini sebenarnya sudah musnah, namun bibit-bibit kebencian akan ras lain masihlah bertahan.
Selain Ku Klux Klan, di belahan Eropa ada seseorang bernama Benito Mussolini dan Hitler yang menebarkan rasa takut yang luar biasa. Kesamaan dari dua orang ini adalah sama-sama mengusung ideologi Fasisme. Jika sekarang ada istilah yang beredar istilah fasisme agama, di sinilah tulisan ini akan membincangkan istilah ini, apakah agama benar-benar menjadi komoditas dalam ideologi fasisme? Atau istilah ini hanyalah sebuah bualan belaka untuk mendiskreditkan agama yang fitrahnya adalah suci.
Namun melihat kejadian-kejadian yang baru saja terjadi, misalnya penusukan polisi yang sedang melaksanakan sholat dan sebelum melakukan penusukan si pelaku meneriakkan “thagut”, atau penabrakan para pejalan kaki yang baru saja keluar dari mesjid di Finway Inggris. Apakah aksi teror ini bisa dikategorikan sebagai salah satu gerakan fasisme, itulah yang akan coba kita jawab.
Aksi kekerasan atas nama agama yang terjadi belakangan ini sering bertujuan untuk menimbulkan rasa ketakutan kepada mereka yang berbeda, Charles Kimball menuliskan hal tersebut dalam buku yang diterjemahkan dengan judul “Kala Agama Jadi Bencana”, menjelaskan satu hal kepada kita bahwa agama yang seharusnya menjadi rahmat bagi manusia, malah menjadi bencana.
Namun pertanyaan yang timbul dalam kepala kita apakah hubungannya antara Fasis, Rasis dan Agama khususnya agama Islam? Pertanyaan inilah yang akan menjawab pertanyaan di atas apakah Agama akan komoditas dari gerakan fasis atau tidak. Banyak tulisan yang mencoba menjelaskan mengapa ada aksi kekerasan yang berafiliasi pada agama, namun saya di sini ingin mempertanyakan kembali kenapa Agama bisa menjadi alat Fasisme.
Fasisme jika kita tinjau dari sejarahnya dimulai sejak Perang Dunia I, yang tumbuh dari beberapa benih. Pertama adalah nasionalisme, di mana saat mereka memegang kekuasaan dengan semangat perkawanan dan patriotisme selama masa perang dan dibumbui dengan emosi balas dendam atas rezim terdahulu. Benih yang kedua adalah kegagalan ekonomi, di saat ekonomi melemah dan kemiskinan sudah menjadi pemandangan yang lazim, maka yang ada chaoslah yang akan muncul. Disinilah fasisme menawarkan solusi yang indah berupa keteraturan.
Sedangkan benih yang berikutnya adalah frustasi akan demokrasi, titik kefrustasiannya pada demokrasi adalah pada korupnya sistem ini di masa setelah perang dunia I. Sebab di masa itu, sistem demokrasi gagal memenuhi keperluan kehidupan rakyat pada saat itu. Dan dua benih terakhir adalah ketakutan akan Komunisme dan naiknya Benito Mussolini di Italia, ketakutan akan Komunisme disebabkan keberhasilan revolusi November di Soviet menimbulkan ketakutan akan kebangkitan para buruh dan tidak menghargai para tentara yang sudah berperang. Di sinilah fasisme mendapatkan momen untuk bangkit dan di saat inilah Benito Mussolini menawarkan konsepnya yang awalnya bernama fasci.
Melihat dari benih-benih timbulnya fasisme ini, hampir semunya sudah mulia terlihat di Indonesia. Oleh sebab itu, apakah kita patut curiga akan lahirnya ideologi fasisme di Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini kita bisa jawab dengan melihat keadaan yang meliputi Indonesia saat ini dan membandingnya dengan ciri-ciri dari ideologi fasisme.
Seorang peneliti dari Jerman bernama Timo Duile pernah menuliskan, ada beberapa ciri-ciri khas yang ada di semua gerakan fasis yakni: Pertama, gerakan fasis berdasar pada prinsip kepemimpinan yang punya otoritas absolut, yang kemudian menuntut untuk patuh dan bisa digerakan juga dimanfaatkan untuk kepentingan sang pemegang otoritas tersebut.
Kedua, dan oleh karena itu, militerisme merupakan elemen yang sangat penting dalam ideologi dan politik fasis. Militer dan pemimpin yang otoriter kemudian diperlukan untuk menghancurkan musuh yang sebenarnya cuma imajiner, namun musuh ini diimajinasikan adalah musuh negara dan mengancam kepentingan negara.
Gerakan fasis dipersatukan dengan tujuan yang sama, yakni: penghancuran musuh. Itu ciri khas gerakan fasis ketiga. Musuh tersebut dikonstruksi dalam sebuah kerangka konspirasi atau ideologi. Musuh yang selalu mengancam kehidupan mereka bahkan ini ditanamkan dalam kepala setiap rakyat demi menjaga identitas kebangsaan mereka.
Setelah mengetahui benih-benih dan ciri fasisme yang disebutkan di atas yang kemudian kita lihat, apakah keadaan di Indonesia ini sudah mendukung lahirnya Fasisme, dan apakah aksi-aksi teror dan kekerasan kepada mereka yang berbeda selama ini terjadi di Indonesia adalah bagian dari aksi Fasisme?
Sebelum menjawab itu ada baiknya kita melihat kembali Indonesia yang saat ini kita tinggali, Indonesia yang dihuni lebih dari 250 juta manusia yang mana hampir 85% dari jumlah tersebut adalah beragama Islam. Sebagai negara yang mewajibkan mencantumkan agama dalam kolom kartu identitasnya, maka sebenarnya bisa dikatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia adalah orang yang beragama.
Kapankah agama bisa menjadi alat fasisme? Agama bisa menjadi dasar fasisme, karena dewasa ini agama dijadikan topik publik yang diekspresikan secara berlebihan di ruang publik. Sehingga, agama menjadi identitas umum dan bukan soal individu lagi. Ketika menjadi identitas umum, agama mencari lawan atau musuh, yang akan menjadi sasaran untuk dihapuskan.
Kemudian saat agama sudah dijadikan persoalan identitas yang eksklusif, maka akan kehilangan nilai-nilai spiritualitasnya. Yang menjadi penting kemudian, bukan lagi perdebatan tentang perbuatan baik apa yang telah kita lakukan, tapi mendengar khotbah pemimpin sekaligus menelan bulat-bulat khotbahnya tanpa berpikir secara kritis.
Jikalau sudah begini, maka agama hanya menjadi perbandingan antar manusia, bukan lagi ekspresi hubungan individu dengan Tuhan, karena di saat individu menjadi ‘hilang‘ dalam ideologi identitas. Melalui identitas agama yang sempit inilah, agama bisa diperalat ideologi fasis supaya musuh diwujudkan.
Inilah yang terjadi di Indonesia, di saat benih-benih fasisme seperti kemiskinan yang akut, tingkat frustasi kepada demokrasi yang sangat tinggi, eksklusifisme agama yang sangat tinggi sudah benar-benar nyata di hadapan mata kita. Maka fasisme sebenarnya sudah ada dihadapan kita, apalagi ini adalah fasisme berkedok agama yang selalu mengandaikan ancaman yang begitu nyata dan selalu ingin menghilangkan musuh “agama”nya walau cuma imajiner. Jadi apakah Fasisme Agama adalah bualan atau realitas? Jawabannya jelas, ini adalah realitas.
Apakah kita hanya bisa berkata, apa yang bisa kita lakukan? Untuk menjawabnya ini adalah tugas kita bersama untuk berembug bersama. Karena luka yang disebabkan dari fasisme berkedok agama ini sangatlah sulit untuk disembuhkan karena rasa saling curiga akan selalu menghantui kita semua. Tabik
Supriyansah, Penulis adalah penggiat isu-isu kedamaian dan sosial di Kindai Institute di Banjarmasin.