Sejarah perjalanan Nabi Muhammad memang menyisakan cerita-cerita menarik. Sudah banyak buku dalam berbagai bahasa yang mengulas ini. Baik sejarah kehidupan Nabi maupun kehidupan Arab jauh sebelum datangnya Nabi terakhir ini. Salah satunya adalah Muhammad; Prophet and Statesmen karya Montgomery Watt yang juga sudah diterjemah dalam bahasa Indonesia. Dalam buku itu, Watt mencoba merunut dan menyajikan fakta-fakta antropologis Arab pra-Islam untuk menguatkan sejarah. Adat dan tradisi yang ada sejak dulu, kelak tak hanya menentukan karakter ayat-ayat al-Quran, tetapi juga pola-pola dan pendekatan Nabi dalam menyebarkan ajarannya.
Satu yang menarik adalah uraian Watt soal tradisi dagang orang Arab secara umum, khususnya Makkah. Sebagai wilayah yang mayoritas gersang dan berbatu, kala itu mereka menyadari betul bahwa tak ada yang bisa diharapkan dari sumber daya alamnya. Sebagai pilihannya, mereka berdagang sebagai ikhtiar bertahan hidup. Sebagian memang ada yang beternak, namun hal ini cukup berat dilakukan karena mengharuskan mereka terus berpindah mencari lahan subur berumput guna pakan ternaknya. Dengan karakter kehidupan gurun yang sulit dan keras, beberapa kelompok juga terbiasa merampok para kafilah yang melintas dari berbagai negara, sebagai upaya untuk survive.
Di Makkah, adanya Ka’bah menjadikannya sejak dulu sebagai tempat keramat dan suci. Para pengembara dari berbagai penjuru Arab, pada waktu tertentu selalu datang untuk melakukan ritual (pilgrimage) dan penyembahan terhadap berhala. Konsep arba’atun ḥurum yang sejatinya sudah ada sejak dulu benar-benar dimanfaatkan banyak orang untuk berbondong-bondong mengunjungi Makkah tanpa khawatir mengalami penyerangan oleh kelompok lain.
Keramaian peziarah Ka’bah laiknya ibadah haji di masa sekarang ini, menjadikan perputaran uang di kawasan ini sangat tinggi. Tak hanya itu. Letak Makkah yang strategis sebagai jalur perniagaan, pun kota ini selalu ramai dilewati para kafilah dagang. Jelas, ini lahan basah. Dengan menerapkan pajak perdagangan, para pembesar suku terkemuka sekaligus penguasa Makkah (Ka’bah) tak hanya memiliki pengaruh besar, tetapi juga mengeruk keuntungan besar. Di Makkah sendiri, terjadi pula persaingan antar suku sebagai perebutan atas kekuasaan kawasan Ka’bah.
Di sisi lain, orang Makkah sebenarnya juga melakukan tindakan ilegal. Mereka melakukan penaklukan wilayah dengan kekerasan, dan bertikai dengan kelompok lain sebagai upaya misi perluasan wilayah kekuasaan dagang. Harta yang diperoleh dari musuh ini kemudian digunakan sebagai biaya mereka melakukan ekspansi. Cara seperti inilah yang mereka lakukan, hingga kemudian menguasai pasar Ukaz dan daerah-daerah sekitaran kota Thaif. Belakangan diketahui bahwa Thaif adalah salah satu kompetitor utama perdagangan kota Makkah. Watt mengatakan, hingga 600-an Masehi orang Makkah menguasai hampir seluruh perdagangan yang melalui Arab bagian barat.
Singkatnya, kemudian hadirlah Nabi sebagaimana yang diramalkan akan datang di wilayah mereka. Pada perjalannya, sebenarnya mereka tidak menolak kedatangan Muhammad. Namun, saat ia mulai berdakwah menyentuh aspek ketauhidan sehingga harus menyingkirkan berhala di sekeliling Ka’bah, beberapa pembesar Makkah terusik. Menerima konsep ketuhanan Muhammad, sama saja meruntuhkan perekonomian Makkah. Sebab akan menghilangkan wisatawan-wasatawan reliji Ka’bah. Faktor ancaman ekonomi inilah yang menjadi salah satu faktor utama keengganan beberapa pembesar Makkah menerima ajaran Nabi.
Ayat-ayat yang awal turun, tentang “larangan mengumpulkan dan menyimpan harta untuk pribadi”, dan “perlunya mengasihi anak yatim”, dipandang sebagai upaya Tuhan menegur perilaku kapitalis dan materialis para pedagang kaya Makkah yang gemar memonopoli perdagangan dan menelantarkan kelompok-kelompok lemah. Dalam konteks ini, kelompok lemah adalah mereka yang secara sosial tidak memiliki bekingan bani/kabilah yang besar, sehingga rawan ditindas oleh saudagar-saudagar yang kuat secara finansial.
Bukti-bukti keengganan pembesar Makkah menolak ajaran Muhammad, yang mereka sendiri sejatinya mengakui kebenarannya, juga diungkap oleh Ibn Hisyam. Dalam Sīrah-nya diceritakan, ada tiga pembesar Quraisy Makkah yang sengaja keluar di malam hari hanya untuk mendengarkan bacaan al-Quran Nabi, yakni Abu Sufyan, Abu Jahal, dan Akhnas bin Syuraiq. Mereka diam-diam datang dan menempelkan telinganya ke dinding rumah Nabi. Uniknya, mereka datang sendiri-sendiri dan menyimak di sisi rumah Nabi yang berlainan, sehingga ketiganya tak ada yang saling mengetahui.
Saking asyiknya, mereka tak sadar telah menyimak hingga Subuh. Mereka seketika panik dan langsung berusaha meninggalkan rumah Nabi. Namun di persimpangan jalan, ketiganya bertemu dan saling mencurigai dan menuduh satu sama lain. Akhirnya mereka semua mengakui atas apa yang barusan dilakukan, namun bersepakat untuk menyimpan rahasia ini dan tidak akan mengulangi lagi. Mereka mewanti-wanti, jika masyarakat Makkah sampai tahu tentu akan menjatuhkan kepemimpinan mereka. Lalu, mereka berpisah.
Malam selanjutnya, ternyata ketiga orang tersebut mengulangi lagi tanpa sepengetahuan satu sama lain, dan bertemu lagi di persimpangan jalan yang sama. Sebagaimana di malam sebelumnya, merekapun kembali membuat perjanjian yang sama. Bahkan hal ini terulang hingga tiga malam.
Dari apa yang diungkapkan oleh Montgomery Watt maupun cerita Ibn Hisyam, pembesar Makkah sejatinya mengakui kebenaran Muhammad. Namun, faktor duniawi seperti ancaman kehilangan sumber penghasilan ekonomi dan kekuasaan menutup hati mereka dari kebenaran itu. Pun, sejak awal sebenarnya mereka telah menyadari bahwa dengan kepribadiannya, Muhammad sangat berpotensi untuk menjadi pemimpin besar Makkah. Artinya jika mengikuti ajaran Muhammad, mengakomodir dan memberi ruang untuknya, mereka tidak hanya akan kehilangan ladang dagang namun juga kehilangan pengaruh dan kuasa di kota Makkah.