
Ketika ada sebuah hukum yang baru ditetapkan, biasanya perlu adaptasi dari masyarakat untuk menyelaraskan prilaku-prilaku yang sebelumnya sebelum hukum baru ditetapkan. Begitu mungkin yang terjadi saat pertama kali puasa Ramadan disyariatkan. Masyarakat Arab era Nabi yang sebelumnya tidak terbiasa melaksanakan puasa sebulan penuh perlu beradaptasi agar terbiasa dengan syariat yang baru diturunkan itu.
Dalam catatan sejarah, syariat puasa Ramadan diturunkan pertama kali pada tahun kedua hijriyah, tahun kedua setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Yatsrib (kini dikenal dengan Madinah). Perintah puasa Ramadan yang kini bisa dirujuk dalam surat al-Baqarah ayat 183 itu diturunkan tepat pada bulan Sya’ban tahun kedua hijrahnya Nabi Saw. Tidak sampai satu bulan sebelum diterapkan pada tahun yang sama. Oleh karena itu, saat pertama kali dilaksanakan pada tahun tersebut, puasa Ramadan tidak seperti sekarang. Ada beberapa fakta unik saat puasa Ramadan pertama kali diwajibkan. Beberapa literatur karangan ulama menyebutkan hal itu. Berikut ini beberapa fakta unik ketika puasa Ramadan dilakukan pada tahun pertama diwajibkan.
Belum Ada Hari yang Ditentukan
Saat pertama kali diwajibkan puasa, belum ada hari atau bulan yang pasti bagi muslim. Saat itu, ayat yang diturunkan tidak menjelaskan bulan dan tanggal berapa puasa wajib itu dilaksanakan. Jika dirujuk pada urutan ayat dan surat saat ini, bisa disebut baru surat al-Baqarah ayat 183-184.
Kalimat ayyam al-ma’dudat pada ayat 184 dimaknai sebagai hari-hari tertentu, tidak setiap hari selama bulan Ramadan.
Hal ini sebagaimana diungkap oleh al-Thabari dan al-Razi, bahwa ada perbedaan ulama ketika menafsirkan kalimat tersebut. Ada yang menyebut kalimat tersebut merujuk pada tiga hari puasa yang biasa dilakukan Nabi, dan ada juga yang menafsirkan bahwa yang dimaksud ayyam al-ma’dudat adalah hari-hari pada bulan Ramadan. Pendapat pertama ini diikuti oleh atha’ dan menyebutkan bahwa ayat tersebut dinaskh oleh ayat setelahnya. Namun demikian, para ulama lebih menguatkan pendapat kedua, yaitu bulan Ramadan.
Boleh Memilih Antara Berpuasa atau Fidyah
Muadz bin Jabal menyebutkan, saat awal pensyariatan puasa, umat muslim pada saat itu diperkenankan untuk tidak berpuasa dan boleh menggantinya dengan memberikan fidyah kepada fakir miskin. Hal ini merujuk pada ayat 184:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ ۚ وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُون
Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Al-Bukhari dan Muslim dalam Sahih-nya juga meriwayatkan bahwa pada awal disyariatkan puasa, orang boleh memilih antara puasa atau membayar fidyah.
عَنْ سَلَمَةَ قَالَ: «لَمَّا نَزَلَتْ: ﴿وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ﴾ كَانَ مَنْ أَرَادَ أَنْ يُفْطِرَ وَيَفْتَدِيَ، حَتَّى نَزَلَتِ الْآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا فَنَسَخَتْهَا»
Dari salamah (bin al-Akwa’), ketika turun ayat tersebut, orang boleh membatalkan puasa dengan membayar tebusan (fidyah), hingga turun ayat setelahnya (al-Baqarah: 185) yang menasakh ayat ‘wa alalladzina..dst.’
Kebolehan untuk memilih antara berpuasa ini karena merupakan masa transisi, sehingga Islam memberikan keringanan pada saat itu, kemudian hukum ayat tersebut di-nasakh (dihapus). Sekarang, berpuasa bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban.
Fuad Abd al-Baqi ketika mentahqiq Sahih Muslim menyebutkan, redaksi ayat setelahnya yang menasakh ayat di atas adalah fa man syahida minkum asy-syahra fal-yasumhu. Kalimat amar (perintah) dalam redaksi ayat (185) tersebut menghilangkan al-tahyir (pilihan untuk berpuasa atau fidyah) yang sempat tercantum dalam ayat sebelumnya. Hal ini juga diafirmasi oleh Ibn Sirin dari Ubaidah. Ada juga yang menyebut bahwa yang menasakh adalah “wa an tashumu khirun lakum..dst”, namun demikian pada prinsipnya tetap sama, ayat terkait takhyir telah di-nasakh.
Puasa Dimulai dari Setelah Salat Isya (bukan dari terbitnya Fajar)
Waktu mulai berpuasa juga tidak seperti sekarang. Jika sekarang dimulai dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari, namun pada masa awal puasa Ramadan diwajibkan, permulaan waktu berpuasa dimulai dari setelah melakukan salat Isya. Hal ini dinukil beberapa mufassir seperti al-Thabari dan Imam al-Baghawi dalam tafsirnya.
كَانَ فِي ابْتِدَاءِ الْأَمْرِ إِذَا أَفْطَرَ الرَّجُلُ حَلَّ لَهُ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ وَالْجِمَاعُ إِلَى أَنْ يُصَلِّيَ الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ أَوْ يَرْقُدَ قَبْلَهَا، فَإِذَا صَلَّى الْعِشَاءَ أَوْ رَقَدَ قَبْلَهَا حَرُمَ عَلَيْهِ الطَّعَامُ وَالنِّسَاءُ إِلَى اللَّيْلَةِ الْقَابِلَةِ،
“Pada awal mula puasa diwajibkan, ketika seorang telah berbuka, maka ia dibolehkan untuk makan, minum, dan melakukan hubungan suami istri, sampai ia melakukan shalat isya atau tidur sebelumnya. Jika ia telah melakukan salat isya atau tertidur sebelum Isya’, maka ia sudah dilarang makan dan berhubungan suami istri hingga malam esoknya.”
Ada kisah menarik terkait hal ini. Suatu hari Umar bin Khattab melapor kepada Nabi Muhammad SAW. Ia bercerita telah melakukan hubungan suami istri setelah melakukan salat Isya. Umar lalu bertanya kepada Nabi, apakah ia mendapatkan keringanan. Nabi lalu menjawab, “kamu tak layak melakukan hal itu, wahai Umar.” Setelah Umar berterus terang kepada Nabi ini, para sahabat lain juga bercerita hal yang sama. Hingga turunlah surat al-Baqarah ayat 187:
اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ
Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika kamu (dalam keadaan) beriktikaf di masjid. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah. Maka, janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa. (Q.S al-Baqarah: 187)
Ayat di atas selain diturunkan untuk menjawab masalah yang dihadapi Umar dan para sahabat, juga sekaligus menasakh sunnah, yaitu sabda Nabi sebelumnya yang menyebut bahwa hal itu tidak layak. Para ulama menyebutnya sebagai naskh al-Quran li al-Sunnah. Hingga saat ini, hukum yang berlaku terkait berpuasa adalah dimulai dari fajar hingga tenggelamnya matahari.
Puasa Pertama dalam Suasana Perang
Jika ayat terkait puasa diturunkan pada bulan Sya’ban tahun kedua hijriyah, lalu mulai dilaksanakan pada bulan Ramadan di tahun yang sama, maka pada pelaksanaan puasa pertama kali dalam sejarah, kaum muslim sedang berada dalam kondisi perang, yaitu perang Badar.
Perang Badar terjadi pada tanggal 17 Ramadan tahun kedua Hijriyah (13 Maret 624 M). Pertempuran ini bisa dibilang sebagai perjuangan monumental antara umat Muslim Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW dan pasukan Quraisy dari Mekah. Menurut K.H Ali Mustafa Yaqub, pertempuran ini bukan disebabkan karena agama, melainkan dipicu oleh upaya umat Muslim untuk mencegat kafilah dagang Quraisy yang kembali dari Suriah, sebagai bentuk balasan atas perlakuan buruk yang mereka alami di Mekah. Meskipun jumlah pasukan Muslim hanya sekitar 313 orang, sedangkan pasukan Quraisy mencapai sekitar 1.000 orang, umat Muslim berhasil meraih kemenangan yang mengejutkan.
Pada situasi perang ini, para sahabat ada yang memilih untuk tidak berpuasa. Dalam riwayat Imam Muslim, meskipun ada sahabat yang berpuasa dan ada yang tidak, masing-masing saling memahami dan tidak saling mencela.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ غَزَوْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِسِتَّ عَشْرَةَ مَضَتْ مِنْ رَمَضَانَ فَمِنَّا مَنْ صَامَ وَمِنَّا مَنْ أَفْطَرَ فَلَمْ يَعِبْ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ وَلَا الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ
“Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Kami berperang bersama Rasulullah pada 16 Ramadhan. Di antara kami ada yang berpuasa, ada pula yang berbuka. Orang yang berpuasa tidak mencela yang berbuka, dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa.” (HR Muslim)
Sementara Umar Umar bin Khattab dalam riwayat Imam al-Tirmidzi menyebut bahwa dia beserta nabi tidak berpuasa pada saat itu.
عَنْ ابْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ سَأَلَهُ عَنْ الصَّوْمِ فِي السَّفَرِ فَحَدَّثَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ غَزَوْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ غَزْوَتَيْنِ يَوْمَ بَدْرٍ وَالْفَتْحِ فَأَفْطَرْنَا فِيهِمَا
“Dari (Said) bin Musayyib, ia pernah ditanya tentang puasa dalam perjalanan, ia kemudian menceritakan (sebuah riwayat) bahwa Umar bin Khatab berkata, “Kami berperang bersama Rasulullah SAW di bulan Ramadhan sebanyak dua kali, yakni perang Badar dan pembebasan Makkah, dan kami berbuka (tidak berpuasa) di kedua peperangan tersebut.”
Beberapa fakta menarik terkait puasa Ramadan pada saat pertama kali disyariatkan di atas, tidak lantas menjadi dalil bahwa kita boleh mengikuti hukum-hukum tersebut. Perbedaan pengamalan hukum pada masa itu dan sekarang menjadi bukti bahwa syariat puasa yang diturunkan tidak sekali jadi, melainkan disyariatkan secara berangsur-angsur (gradual) agar tidak memberatkan, juga sekaligus menjadi pengganti (penghapus) dari hukum-hukum dan tata cara berpuasa yang telah lama dipraktikkan oleh umat sebelumnya. Sehingga puasa yang kini dilakukan umat muslim lebih mudah dan tidak terasa berat.
Wallahu a’lam.
(AN)