Cuitan salah satu elit partai Gerindra, Fadli Zon, yang mengatakan masalah agama telah selesai dan sekarang isu ekonomi paling penting adalah satu hal yang menarik untuk dicermati. Selama ini publik tahu Fadli Zon berada di gerbong oposisi pemerintah yang justru sering memanfaatkan isu-isu agama dan isu primordial lainnya untuk menyerang kubu pemrintah.
Pernyataan Fadli Zon ini tentunya menjadi angin segar bagi dunia politik Indonesia karena dengan berkurangnya penggunaan isu agama dan lebih fokus pada isu ekonomi, suasana pilpres 2019 diharapkan akan lebih sejuk dan damai. Selama ini isu agama, etnis, ras, dan isu-isu primordial lainnya telah menyebabkan dunia politik Indonesia menjadi panas dan tidak sehat. Situasi semacam itu hanya akan mengancam kebersatuan dan kerukunan masyarakat Indonesia yang latar belakang budayanya sangat lah plural.
Sebagaimana kita ketahui, pada pemilu presiden 2014 dan pilgub DKI Jakarta 2017, isu agama dan etnis telah mencuat begitu nyata dan telah memporak-porandakan akal sehat masyarakat akar rumput dan tatanan kerukunan ummat beragama dan sosial menjadi terancam.
Fadli Zon: Masalah Agama Selesai, Sekarang Isu Ekonomi Paling Penting https://t.co/bW23ONeQbg
— FADLI ZON (Youtube: Fadli Zon Official) (@fadlizon) August 13, 2018
Selain itu, pemakaian isu-isu primordial itu juga menurunkan bahkan merusak kualitas pesta demokrasi itu sendiri di mana masyarakat tidak lagi berfikir rasional dan logis bahwa mereka harus memilih capres-cawapres atau cagub-cawagub yang mempunyai track-record yang bersih dari kasuh hukum dan berprestasi dalam bekerja sebagai pengemban amanat rakyat.
Benarkah Isu Agama akan Dihilangkan?
Munculnya statemen dari Fadli Zon ini jelas tidak dapat dilepaskan dari kepentingan pilpres 2019. Sebagaimana publik ketahui, partai Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat telah mengusung Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno sebagai capres-cawapres untuk pilpres 2019. Sebelumnya, ijtima’ ulama yang merupakan kumpulan dari para ‘ulama pendukung PKS, menginingkan adanya perpaduan antara ‘umaro dan ‘ulama pada capres dan cawapres mereka.
Para peserta ijtima’ ‘ulama telah merekomendasikan Ustaz Abdul Shomad (UAS) dan Salim Segaf Al-Jufri sebagai cawapres Prabowo. Akan tetapi, atas beberapa pertimbangan yang informasinya masih simpang siur, dua nama rekomendasi ‘ulama itu tidak diakomodir oleh kubu Prabowo, melainkan Sandiaga Uno yang berlatar belakang pedagang saham yang tidak mempunyai latar belakang santri dan ‘ulama.
Dalam situasi yang demikian, terlihat sekali bahwa pernyataan Fadli Zon yang akan menekankan pada isu ekonomi dalam kampanye pilpres 2019 tersebut diarahkan untuk memperkuat posisi dan daya tawar capres-cawapresnya. Pertanyaannya kemudian adalah benarkah Gerindra dan partai koalisinya tidak akan menggunakan isu-isu agama? Dalam hal ini, partai Gerindra dan koalisinya tidak akan serta merta meninggalkan isu-isu agama sebagai usaha untuk mempengaruhi publik agar memilih capres-cawapres mereka. Kenapa demikian, karena isu-isu agama telah terbukti berhasil memenangkan cagub-cawagub mereka di pilgub Jakarta 2017.
Kecendrungan penggunaan isu-isu primordial tidak akan benar-benar hilang dalam kontestasi politik negeri ini karena, sekarang ini, isu sektarianisme telah menjadi bagian dari problematika politik global di hampir setiap negara yang latar belakang penduduknya multikultur. Sudah terbukti di beberapa negara termasuk di Amerika Serikat sekalipun, isu sektarianisme yang berbau agama dan rasisme laku dijual dan akhirnya dapat memenangkan Donald Trump menjadi presiden Amerika. Namun demikian, kita berharap agar Fadli Zon dan partai koalisnya konsisten untuk tidak menggunakan isu agama dan lebih fokus kepada isu-isu ekonomi karena hal tersebut dapat menggiring pemilih untuk lebih rasional dalam memilih pemimpinnya.
Benarkah Jokowi-KH Maruf Amin Lemah dalam Ekonomi?
Dalam membincangkan program penguatan ekonomi, Jokowi adalah sosok yang berlatar belakang pengusaha. Sebagai pengusaha furniture yang merintis usahanya dari nol, Jokowi kemudian menjadi pengusaha sukses yang ditandai dengan kemampuannya mengekspor produk-produk furniteturenya ke luar negeri seperti Timur Tengah, Eropa dan Amerika. Latar belakang tersebut membuktikan bahwa Jokowi adalah ahli di bidang ekonomi.
Ketika menjadi presiden pun demikian, Jokowi terbukti telah membuat negara semakin berdaulat secara ekonomi. Contohnya, Petral yang merugikan negara ratusan milyar sehari itu sudah dibubarkan, block minyak dan sumberdaya alam seperti di Mahakam, NTB, Papua kembali dikuasai negara, dan pencuri ikan yang merugikan negara 300 T per tahun dibabat habis. Begitu juga harga BBM, semen dan berbagai kebutuhan pokok lainnya di seluruh Indonesia disamakan.
Sementara itu, dari sisi cawapres Jokowi, Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin, selain sebagai seorang ‘ulama yang memimpin pesantren, ketua MUI dan Rais Aam PBNU, beliau adalah seorang professor hukum ekonomi Islam. Latar belakang Prof. Ma’ruf ini mendapat respon positif dari masyarakat umum dan kalangan perbankan. Bagi masyarakat, beliau diharapkan dapat semakin mempererat hubungan antara umat Islam dan pemerintah yang dalam beberapa tahun terakhir ini diterpa isu yang seakan-akan pemerintahan Jokowi anti ulama. Sementara itu, di kalangan perbankan, Prof. Ma’ruf diharapkan juga dapat menjembatani kerjasama antara perbankan konvensional dengan perbankan syari’ah. Ini penting agar dua model perbankan itu dapat bersatu padu dalam membangun perekonomian rakyat.
Diharapkan bahwa perkembangan ekonomi Indonesia semakin maju dan positif karena sebagai cawapres Jokowi, Prof. Ma’ruf Amin adalah seorang pionir dan penggagas perbankan syari’ah yang dinilai sangat tepat untuk semakin memperkuat pengembangan ekonomi kerakyatan yang telah digagas Jokowi dan JK pada periode sebelumnya.
Akhirnya, pernyataan Fadli Zon yang mengatakan akan meninggalkan isu agama dan lebih fokus pada isu ekonomi pada pilpres 2019 adalah pertanda baik bagi dunia politik Indonesia. Artinya, para tim sukses akan lebih fokus pada adu konsep, gagasan dan program di bidang ekonomi dan pembangunan masyarakat. Ini langkah yang sangat positif untuk memberikan pendidikan politik kepada para pemilih agar mereka memilih berdasarkan program, pencapaian dan kinerja para capres dan cawapres, bukan memilih berdasarkan sentiment-sentimen primordial. Semoga saja, harapan dan niat baik ini bukan sekedar angan-angan.