Islam memandang bahwa pernikahan merupakan sesuatu yang luhur dan sakral, bernilai ibadah kepada Allah, mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggung jawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan. Untuk itu, dibutuhkan nasehat pernikahan untuk penganti baru.
Apabila segala sesuatu ketika dimengerti dan difahami maka kita akan bisa bersikap dengan baik dan benar. Banyak contoh dalam rumah-tangga sebab tujuannya kurang benar, apalagi disertai kurangnya pemahaman tentang hakikat manusia dengan macam-macam karakternya, maka ketika ada problem dalam rumah tangga akhirnya mengalami kehancuran (perceraian).
Untuk mengatasi hal demikian, Ibunyai Lutjeng Luthfiyah, Pengasuh PP. Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan memberikan beberapa wejangan atau pesan bagi para pengantin baru sebagai berikut:
Menata Niat
Kuncinya di awal adalah niat ibadah, selain itu, tidak ada lagi. Dan yang paling penting kita wajib tahu bahwa sisi dari diri kita adalah manusia. Sadar betul, bahwa pasangan kita ini adalah manusia –dengan segala kekuranganya–, bukan malaikat.
Memahami Perbedaan Karakter Laki-laki dan Perempuan
Mengutip pendapat keterangan dokter, bahwa tipe laki-laki dan perempuan itu berbeda, khusus karakternya. Mereka diciptakan dari konstruknya saja berbeda, misalnya otaknya. Laki-laki, otaknya seakan seperti berada dalam kompartemen-kompartemen atau ruang-ruang, sehingga ketika konsentrasi dalam satu hal maka ia sulit untuk berpikir ke hal yang lain.
Berbeda dengan perempuan, ia bebas memikirkan perkara yang lain, tanpa ada kompartemen itu. Korpus kalosum masa yang ada di garis tengah yang menghubungkan antara otak kanan-kiri manusia, laki-laki dengan perempuan itu berbeda.
Perempuan, korpus kalosumnya mengandung 200-250 juta serabut urat lebih tebal 30% dibanding laki-laki yang menyambungkan serabut otak kanan dan kiri, maka ketika laki-laki konsentrasi dalam satu hal ia tidak bisa diganggu gugat.
Seperti dicontohkan Ibunyai Lutjeng Luthfiyah, bahwa ketika memanggil suami tercintanya (KH. M. Nashrullah Baqier Adelan) yang sedang sibuk memperbaiki sepeda motor. Nyai Luthjeng pertama mulai memanggil dengan nada halus (pelan-pelan) penuh rasa cinta.
“Buya, dahar riyen (makan dulu)!” Suaminya tidak mendengarnya.
Kedua kali, sedikit dengan nada agak lebih tinggi, “Buyaa, dahar riyen (makan dulu)!” Suaminya masih tetap tidak mendengar. Dan yang ketiga kalinya dengan nada lebih keras sembari teriak, “Buyaaa, dahar riyen (makan dulu)!” Akhirnya sang suami pun mendengar.
Jika dalam rumah tangga tidak didasari suatu pemahaman antara suami-istri, khawatir ketika seorang perempuan tidak sabar dengan karakter laki-laki semacam itu, maka istri akan cenderung suka ngomel-ngomel.
Maka, atas dasar diciptakannya perbedaan laki-laki dan perempuan tersebut, begitu juga korpus kalosumnya perempuan 30% lebih tebal dibanding laki-laki. Oleh karena itu, perempuan dapat merangkap segala kerjaan atau kegiatan.
Misalnya, ketika seorang istri sedang memasak dengan dua kompor gas sekaligus, masing-masing isi tungku ada 2, berarti jumlahnya 4 tungku. Tungku pertama digunakan untuk masak nasi, tungku kedua dipakai masak sayur, tungku ketiga dipakai goreng ikan, dan tungku keempat dipakai goreng bumbu sambal.
Dengan mengerjakan ke empat tungku tersebut, seorang istri masih bisa memperhatikan atau mengawasi anaknya yang sedang bermain. Bahkan, seorang istri juga masih sanggup menerima telefon meskipun ia sedang memasak.
Sementara kemampuan otak bicara laki-laki hanya di otak bagian kiri, sedangkan kemampuan otak bicara perempuan ada di sebelah kiri juga sebelah kanan bagian depan. Maka, kemampuan bicara laki-laki dalam sehari, katanya, yang pandai bicara atau cerewet hanya 7000, yang tidak cerewet hanya 5000.
Berbeda dengan perempuan, yang cerewet 20.000 sedangkan yang tidak cerewet 16.000. Jauh sekali, bukan? Maka dengan demikian, cerewetnya perempuan adalah anugerah. Perempuan tidak ingin dimaklumi, tetapi dari perkara itu semua laki-laki harus dapat mengambil hikmahnya. Dalam QS. Ali ‘Imran [3]: 191 dijelaskan:
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَٰطِلًا
“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia.”
Semua ada tujuan dan hikmahnya, termasuk sifat cerewetnya perempuan. Begitu juga keadaan laki-laki yang seperti itu adalah ujian, juga perempuan yang cerewet seperti demikian juga sebagai ujian. Maka ujian yang lulus adalah cerewet yang membangun, bukan cerewet yang mujair.
Apa itu cerewet mujair? Suami yang rajin memberi nafkah tetap saja perempuan menuntut yang lebih dengan mengukur atau membanding-bandingkan dengan kondisi tetangga yang lebih mampu memberikan yang lebih banyak.
Laki-laki harus Bekerja
Sebagai laki-laki (suami) maka bekerjalah. Alasan kenapa laki-laki harus bekerja? Bekerja adalah pelampiasan rasa syukur atas karunia Allah. Dalam QS. Al-Naba’ [34]: 13 disebutkan;
اعْمَلُوا آلَ دَاوُدَ شُكْرًا وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-ku yang berterima kasih.”
Jadi, orang yang bersyukur salah satunya adalah dengan bekerja, bekerja itu berproses dalam upaya menjemput rizki. Apabila tercapai hasil usahanya, maka itu ada hubungannya dengan taqdir, karena berkaitan dengan ada usaha kerasnya itu.
Apabila kurang puas dengan hasilnya, maka ada keharusan untuk qana’ah yakni ‘suatu sikap rela menerima dan selalu merasa cukup dari semua usaha yang sudah dilakukan serta menjauhkan diri dari rasa yang tidak puas’.
Membangun Sikap Toleransi
Paling penting, yang perlu difahami dan dilakukan bahwasa hidup dengan orang lain adalah dapat menjaga diri yaitu sikap toleransi (akhlaq); baik dengan suami atau istri, mertua, kakak-adik ipar, tetangga, dan lain sebagainya yang jelas-jelas memiliki karakter berbeda-beda.
Maka, hal ini harus bisa dilakukan oleh semua pihak untuk menjaga toleransi, bukan hanya dilakukan oleh pengantin (menantu) saja. Ketika seorang tidak dapat menjaga toleransi ini maka ibarat bumi yang lebar terasa sempit. Seperti dalam lirik yang dibawakan oleh Nisa Sabyan dengan judul Deen Assalam;
كَلَّ هَذِى الاَرْضِ مَاتَكْفِيْ مَسَاحَةْ ¤ لَوْ نَعِيْشِ بِلَاسَمَاحَةْ
وَانْ تَعَا يَشْنَا بِحَبْ ¤ لَوْ تَضِيْقِ الاَرْضِ نَسْكَنْ كَلَّ قَلْبْ
***
اَبْتَحِيَةْ وَبْسَلَامْ ¤ اَنْشُرُوْا اَحْلَى الْكَلَامْزَيْنُوْا الدِّنْيَا حْتِرَامْ
اَبْمَحَبَّةْ وَابْتِسَامْ ¤ ااَنْشُرُوْا بَيْنِ الاَنَامْهَذَا هُوْا ديْنَ السَّلَامْ
Maksudnya, bumi ini tidak cukup luas, andai kita hidup tanpa toleransi. Padahal, andai kita hidup dengan toleransi (perasaan cinta), yakni saling menghargai tidak peduli tua dan muda. Meski bumi sempit, maka hidup kita akan terasa luas. Jika buminya luas, tapi kita hidup tidak dipenuhi dengan akhlaq yang baik, maka bumi (rumah) yang luas (megah) itu seperti kita hidup di atas bara api. Sebaliknya, jika kita hidup dipenuhi dengan cinta kasih, menghormat orang lain, walaupun rumah sesempit apapun maka rasanya nikmat, atau seakan bumi luas.
Saling Berbicara dengan Bahasa yang Halus dan Santun
Setiap kali berbicara maka ucapkanlah yang baik. Bagi seorang istri diharapkan berbahasa “jawa-krama” yang halus terhadap suaminya. Sebab, hormatnya seorang istri terhadap suami akan tetap terjaga. Andaikata cekcok mulut antara suami-istri, maka akan dipastikan sulit mencari bahasa yang kasar ketika mamakai bahasa “jawa-krama” (bagi orang jawa). Kenapa perlu berbahasa yang sopan terhadap suami? Syukur-syukur suami juga berbahasa halus dan sopan juga terhadap istrinya.
Dengan demikian, dapat dipastikan anaknya pun akan terbiasa menggunakan bahasa yang halus dan sopan, serta lebih hormat kepada orang-tuanya. Jika hal ini diterapkan dalam suatu keluarga, baik istri terhadap suami, sebaliknya, suami terhadap istri sama-sama saling menghormati. Maka, hadzahu din assalam ‘inilah agama perdamaian’. Selain itu, Suami-istri harus menanamkan rasa cinta dan senyuman.
Hirarki Penghormatan antara Suami-Istri
Terakhir, dalam aturan agama. Hirarki penghormatan dan ketaatan laki-laki dan perempuan itu berbeda. Bagi perempuan, ketika masih dalam asuhan orang-tuanya, kewajiban taat dan hormatnya kepada orang tua (setelah Allah dan rasul-Nya).
Tetapi, ketika perempuan sudah menikah, ia harus mendahulukan ketaatannya kepada suami; baru kemudian orang-tuanya. Tapi beda dengan laki-laki, meskipun sudah menikah, pertama yang tetap dihormati dan ditaati adalah orang tuanya sendiri, terutama ibu (setelah Allah dan rasul-Nya).
Dengan demikian, orang-tua yang bijak harus bisa mengajarkan hal ini (mendahulukan suami daripada orang-tua) kepada putrinya, terutama ketika putrinya telah menikah.
Wallahu a’lam.