Seperti yang dimaklumi, bahwa ada beberapa golongan yang mendapatkan keringanan dari Allah Swt untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Di antaranya orang yang sakit (baik yang masih ada harapan untuk sembuh ataupun tidak), musafir, perempuan hamil dan yang menyusui, perempuan yang sedang haid dan nifas, orangtua yang telah uzur, serta orang gila. Masing-masing dari mereka diperbolehkan makan dan minum pada siang hari bulan Ramadhan sesuai dengan hajat serta kebutuhannya. Meskipun sebagian mereka harus mengqadha puasanya di hari lain dan sebagian yang lain tidak dikenai kewajiban apapun.
Namun berbeda halnya dengan enam golongan berikut, di mana mereka meskipun tidak dianggap berpuasa dan wajib mengqadha puasanya di hari lain, akan tetapi mereka tetap diharuskan untuk menahan diri dari makan dan minum hingga terbenamnya matahari dalam rangka menghormati bulan Ramadhan. Keenam golongan tersebut adalah.
Pertama, orang yang sengaja tidak berpuasa atau membatalkan puasanya dengan alasan yang tidak dibenarkan oleh syar’i. Misalnya orang yang dengan sengaja makan dan minum di siang hari bulan Ramadhan, padahal dia tahu dan sadar kalau dia sedang berpuasa. Bagi orang yang seperti ini dia wajib menghentikan makan dan minumnya sesegera mungkin serta menahan dirinya untuk tidak melakukan hal lain yang dapat membatalkan puasa hingga terbenamnya matahari. Selain itu dia juga diwajibkan untuk mengqadho puasanya di hari lain.
Kedua, orang yang meninggalkan niat puasa pada malam hari, baik karena sengaja maupun hal lain yang tidak disengaja seperti terlupa, ketiduran, dan sebagainya. Orang yang seperti ini tetap diharuskan untuk menahan diri dari makan dan minum hingga terbenamnya matahari karena dia dianggap lalai dalam beribadah. Berbeda halnya dengan orang yang sahur tapi lupa berniat, maka dalam hal ini Syekh Ibrahim al-Bajuri berpendapat bahwa makan sahurnya sudah mewakili niat puasanya, dalam artian puasanya tetap sah dan tidak perlu mengqadha.
Ketiga, orang yang makan sahur padahal fajar sudah terbit. Hal ini termasuk hal yang sangat banyak terjadi di masyarakat akibat ketidaktahuan mereka, yaitu mereka masih tetap melanjutkan makan dan minumnya padahal azan sudah berkumandang pertanda masuknya waktu subuh. Dalam hal ini berlaku sebuah kaedah Fikih yang menyebutkan bahwa sebuah asumsi yang ternyata terbukti kekeliruannya secara faktual, maka tidak dianggap sama sekali.
Keempat, orang yang berbuka padahal matahari belum terbenam. Hal ini baru dianggap membatalkan puasa kalau yang bersangkutan berbuka tanpa pertimbangan sama sekali, misalnya dengan melihat imsyakiyah, bertanya kepada orang sekitarnya, ataupun hal lain yang bisa memberikan informasi kepadanya terkait sudah atau belum terbenamnya matahari. Namun jika dia berbuka setelah berusaha mencari informasi, namun keliru, maka dalam hal ini menurut Hasan ibn Ahmad Salim al-Kaf puasanya tetap sah (tidak batal).
Kelima, orang yang berdasarkan mathla’ (posisi munculnya hilal) di daerah tempat tinggalnya sudah terlihat hilal satu Ramadhan, namun dia tidak memulai puasanya. Hal ini berarti yang bersangkutan sengaja tidak berpuasa padahal dia tahu bahwa pada hari itu sudah masuk bulan Ramadhan. Keenam, orang yang menelan air bekas kumur-kumur, istinsyak (memasukkan air ke dalam hidung), ataupun mandinya padahal hal tersebut dilakukan tidak dalam rangka berwudhu atau mendirikan salat atau untuk berwudhu namun terlalu berlebihan dalam melakukannya.
Rincian terkait hal di atas dijelaskan secara rinci dalam berbagai kitab-kitab fikih yang ada, khususnya yang berhaluan Mazhab Syafi’i. Salah satu di antaranya adalah kitab al-Taqrirat al-Sadidah fi al-Masail al-Mufidah karya Hasan ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Salim al-Kaf. Sehingga dengan demikian, supaya puasa yang dilakukan berkualitas dan dianggap sah secara syar’i, maka hendaknya seseorang memperhatikan beberapa hal tersebut dan berhati-hati dalam melakukan berbagai aktifitas yang berpotensi merusak pahala ataupun membatalkan puasa.