Salah satu yang menjadi pikiran kaum laki-laki saat memutuskan menikah adalah mengenai maskawin atau mahar. Meskipun kalau dilihat dewasa ini, yang paling menjadi pikiran siang dan malam itu adalah besarnya biaya resepsi atau walimah. Belum lagi adanya tradisi yang mengatur pemberian lain seperti ‘uang hantaran’ dan sejenisnya.
Keadaan ini tentu ironis. Satu sisi walimah itu hukumnya sunnah, tetapi justru memporsir pikiran, tenaga, dan materi yang lebih besar. Sementara di sisi lain, ada hak seorang perempuan yang dinikahi, yaitu maskawin atau mahar yang hukumnya wajib, justru dipandang enteng.
Nah, kali ini kamu perlu tahu 6 hal yang kerap dipahami secara kurang tepat alias keliru mengenai maskawin atau mahar selain yang sudah disebutkan tadi.
Pertama, Maskawin itu Bukan Rukun Nikah
Pertama yang harus kamu ketahui, maskawin atau mahar bukanlah rukun nikah. Tanpa pemberian maskawin pun nikah tetap sah. Maskawin adalah kewajiban dalam nikah. Sesuatu yang wajib itu belum tentu jadi rukun sahnya akad.
Hal ini telah ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam yang berlaku di Indonesia pada pasal 34, yang berbunyi, “Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan.”
Akad nikah menjadi sebab wajibnya seorang suami memberikan maskawin kepada istrinya. Itulah mengapa maskawin pada dasarnya boleh dibayar secara berangsur alias ngutang. Namun di negara kita, Kompilasi Hukum Islam, telah menegaskan, bahwa mahar harus dibayar tunai.
Tentu ketentuan ini lebih ideal. Sebab ada norma lain yang menyiratkan bahwa pernikahan itu dibangun atas dasar kemampuan. Tentu kemampuan yang paling pertama menjadi ukuran adalah kemampuan dalam memberikan mahar.
Meski demikian, kalau ditanyakan hukumnya, maka memang maskawin hukumnya wajib dalam akad nikah. Maskawin dapat ditentukan bentuk, jenis, dan besarannya dalam ijab kabul, dapat juga tidak. Namun meski tidak disebutkan, suami tetap mengemban kewajiban untuk memberikan maskawin kepada istrinya.
Dalam hal besaran maskawin belum disebutkan dalam ijab kabul, maka besaran yang wajib ditanggung oleh suami adalah menyesuaikan dengan mahar yang diterima kerabat perempuan istri, yang dikenal dengan istilah mahar mitsil.
Kemudian yang kamu perlu tahu juga, dalam tradisi keilmuan Islam, selain dengan barang berharga atau uang, maskawin boleh diberikan dalam bentuk jasa. Namun tentu penggunaan jasa sebagai maskawin, harus betul-betul rinci dan dapat diukur.
Kedua, Maskawin itu Hak Pribadi Istri, Bukan Keluarganya
Akad nikah secara umum dan maskawin secara khusus jangan digunakan sebagai ajang ‘memperkaya’ keluarga. Maskawin mutlak milik mempelai wanita. Karenanya, keluarga jangan ikut-ikutan menaikkan jumlah atau besaran mahar. Ini biasanya, yang menikah anaknya, yang paling sibuk ngurus maskawin malah ibunya. Akibatnya, mempelai pria menjadi berat untuk membayar.
Itu makanya, hukum Islam di Indonesia mengatur, bahwa mahar harus berdasarkan kesepakatan kedua mempelai. Prinsip kesederhanaan dan kemudahan dikedepankan secara proporsional.
Hal ini ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam, “(Pasal 30) Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak. (Pasal 31) Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam. (Pasal 32) Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya.”
Ketiga, Jangan Terlalu Mahal, Jangan Terlalu Murah
Sebagaimana prinsip dari mahar tadi, maka besarnya mahar jangan dibuat terlalu mahal, dan jangan pula terlalu murah. Tetapi sedang-sedang saja. Lalu, berapa besaran mahar yang ideal?
Tidak ada standar baku yang bersifat wajib diikuti mengenai hal ini. Hanya saja, kalau mau dilihat dari tradisi keilmuan Islam terutama kalangan Syafi’iyyah, terdapat standar yang cukup membuat kaum adam ‘tepuk jidat’, sementara kaum hawa ‘tepuk tangan’.
Dalam salah satu kitab standar fikih mazhab Syafi’i, ada ketentuan yang mengatur besarnya mahar, yaitu jangan kurang dari 10 Dirham, dan jangan lebih dari 500 Dirham. 1 Dirham (uang perak) jika diukur dengan timbangan setara dengan lebih kurang 3 gram perak. Jadi, 10 Dirham kurang lebih setara 30 gram perak.
Seharusnya mahar sebesar itu, bisa dimiliki perempuan muslimah di Indonesia saat menikah. Namun rupanya, biaya yang besar justru lebih sering diperuntukkan sebagai biaya pesta, musik, dan hal lain yang sifatnya tidak primer.
Keempat, Maskawin itu Bukan Bingkisan
Ada lagi kebiasaan masyarakat muslim di Indonesia ini, yang menjadikan mahar dalam bentuk bingkisan uang yang didesain sedemikian rupa dalam figura motif emas nan indah. Hal ini di satu sisi memang kreativitas yang baik, namun perlu dipertimbangkan lagi kelayakannya.
Selain itu, jumlah uangnya juga kadang disesuaikan dengan tanggal, bulan dan tahun akad nikah. Kebiasaan seperti ini sah-sah saja dilakukan, asal masih menjaga esensi mahar itu sendiri.
Esensi mahar itu adalah pemberian berupa barang atau uang yang bernilai harta, dan sudah seharusnya dapat dimiliki sebagai kekayaan. Kebiasaan selama ini dengan pola bingkisan uang, nilai instrinsik uang justru berkurang karena yang dihargai justru adalah nilai ekstrinsik berupa kreasi, dekorasi, dan estetika.
Mahar seperti ini justru lebih tepat disebut kenang-kenangan atau hiasan yang nilainya adalah sebagai harta psikis bukan harta benda fisik. Sebab kadang kala nilai uangnya tidak seberapa untuk ukuran mahar, padahal sang mempelai adalah orang mampu dari segi finansial.
Kecuali, jika bingkisan itu hanya sebagai wadah atau tempat menaruh uang mahar atau emas, maka ini yang tepat. Jadi, dibuatkan kotak figura atau ‘peti harta karun’, yang di dalamnya disimpan uang mahar misalnya sebesar Rp.15juta. Jadi saat ijab kabul, disebutkan, “Saya terima nikahnya dengan mahar berupa uang sebesar Rp.15. 000.000, dibayar tunai”. Nah, ini baru akad nikah millenial.
Selain itu, berhati-hatilah dalam ‘mendekorasi uang’. Rupanya menjadikan uang sebagai hiasan dengan cara melipat atau merobek, berpotensi menjadi tindak pidana, karena ‘dapat dianggap’ merusak uang dengan maksud merendahkan kehormatan Rupiah. (Pasal 35 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2011)
Kelima, Hindari Menggunakan Seperangkat Alat Shalat sebagai Maskawin
Ada pula kebiasaan yang sudah umum dilakukan masyarakat muslim, yaitu menjadikan seperangkat alat shalat sebagai mahar. Ketidaktepatan itu disebabkan beberapa hal: Pertama, tidak disebutkan nilainya. Seharusnya dijelaskan berapa nilai seperangkat alat shalat yang menjadi mahar itu. Misalnya, “Aku nikahkan engkau dengan maskawin seperangkat alat shalat senilai sepuluh juta rupiah”.
Kedua, Seperangkat alat shalat itu hanya merupakan barang konsumtif biasa, bukan melulu atau tidak murni sebagai barang berharga. Terlebih tidak dijelaskan apa saja yang dimaksud dengan ‘seperangkat alat’ itu.
Seperangkat alat shalat lebih tepat diberikan sebagai pemberian biasa saja. Seharusnya jika memang benar-benar ingin memberikan ‘alat shalat’ sebagai mahar, ambil saja satu item, misalnya ‘satu stel mukenah berbahan sutera’ atau sekalian disebutkan harganya, ‘satu stel mukenah berbahan sutera seharga lima belas juta rupiah’. Begini kan lebih elegan, toh!
Mengapa nilai mahar harus jelas? Karena perlu diketahui, dalam hukum Islam ada kemungkinan hak istri atas mahar itu hanya setengahnya saja dari total mahar yang disebutkan dalam akad, jika memang belum diberikan secara utuh.
Hal ini terjadi jika ternyata setelah akad, terjadi perceraian padahal belum terjadi hubungan badan hakiki. Maka dalam keadaan seperti ini, suami hanya wajib memberikan setengah nilai mahar saja. Bayangkan jika maharnya seperangkat alat shalat, bagaimana menentukan bagiannya? Itulah mengapa harus disebutkan nilai atau harga dari barang yang dijadikan sebagai mahar itu.
Keenam, Suami Meminjam Uang yang Bersumber dari Mahar, itu Bukan Hutang Mahar
Terakhir, ada asumsi yang tidak tepat mengenai hutang mahar, atau mahar terhutang. Biasanya dalam menjalani kehidupan rumah tangga, suami kerap meminjam uang dari istri atau meminjam barang berharga yang dulu merupakan mahar bagi istri. Di saat bercerai, terjadi tuntutan agar suami mengembalikan hutang mahar.
Ini adalah asumsi yang keliru. Istilah hutang mahar atau mahar terhutang itu, adalah mahar yang sudah disebutkan dalam akad nikah, namun belum pernah dibayar oleh suami. Namun jika sudah diberikan pasca ijab kabul, maka saat itu juga mahar itu menjadi hak pribadi. Tidak lagi disebut sebagai mahar. Sehingga jika dipinjam sekalipun oleh suaminya, hubungan hukumnya tetap hutang piutang biasa. Bukan hutang mahar, atau mahar terhutang.
Itulah sekelumit mengenai kekeliruan mengenai maskawin atau mahar nikah.
Dalam keadaan kamu harus memilih antara menyemarakkan pesta, atau membesarkan maskawin untuk istri, seyogianya maskawin istri lebih utama untuk dibesarkan.
Catatkanlah pernikahan di KUA yang berwenang, lalu adakanlah walimah secara proporsional.
Tetapi jika kamu punya kemampuan finansial yang cukup, maka membesarkan maskawin dan menyemarakkan walimah secara bersamaan jauh lebih utama. Semakin banyak kemanfaatan yang ditebar, semakin besar pula keutamaannya.
Wallahu a’lam