“Ortu dari teman anakku ada 2 jadi korban. sekarang anaknya lagi jejeritan di kelas. duh kasih gak tega ????.”
Pesan itu saya terima beberapa menit setelah terdengar kabar menghilangnya pesawat Lion Air JT610 dengan jurusan Cengkareng-Pangkal Pinang. Setelah itu, pemberitaan pun menjadi riuh dan kabar termutakhir pesawat telah ditemukan dan jatuh di dalam laut utara Karawang. Sontak saja, kabut kesedihan pun menyelimuti siapa saja yang mendengar berita pilu ini.
Di media sosial pun bermunculan pelbagai doa bagi 188 orang di pesawat tersebut, yang terdiri dari178 penumpang dewasa, 1 penumpang anak-anak dan 2 bayi dengan 2 Pilot. Doa-doa baik, Anda tahu, adalah cara terbaik yang bisa kita lakukan di tengah suasana kalut dan disinformasi tentang musibah ini. Tentunya,
Tapi, entah apa yang dipikirkan sebagian orang itu, justru musibah kecelakaan pesawat ini dikaitkan dengan situasi politik termutakhir yang panas, mulai dari Bendera hingga bencana alam yang datang di negeri ini mulai dari Lombok, Palu hingga perkara Banser dan rezim pemerintahan Jokowi.
“Lihatlah, azab datang lagi. Mengapa tidak berhenti membenci islam?”
“Setelah Palu dan Lombok, kini pesawat jatuh. Rezim ini dimurkai oleh Allah.”
“Sejak SBY lengser. Musibah, bencana, terus silih berganti menimpa negeri kita. Mohon doa untuk bisa berubah suasana lebih baik di 2019. Insya Allah, negeri kita kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Atas Ridla Illahi. Aamiin.”
Yang terakhir ini justru dilakukan oleh politisi dan aktivis Mustofa Nahra. Apa maksudnya berkata demikian di tengah musibah seperti ini?
Di negara ini semua orang memang bebas berbicara dan berpendapat, hal itu memang dilindungi oleh UU. Tapi, mengaitkan dan berbicara seenaknya sendiri tanpa memikirkan orang lain adalah bentuk kebodohan? Kita bisa menyebut jenis ini sebagai sampah, bukan?
Betapa tidak. Bayangkan saja, di tengah kekalutan mereka yang kehilangan keluarganya di musibah ini, serta air mata yang terus mengalir hingga kini seseorang dengan tega berkata bahwa bencana-bencana ini terkait dengan politik dan maksiat. Sungguh, ini di luar nalar kemanusiaan kita.
Anda mungkin merasa jengkel dengan pemerintah atau rezim, tapi dengan menyebut bencana ini adalah azab adalah sebuah pembunuhan yang lain, membunuh empati sebagai seorang manusia. Manusia harusnya memiliki nurani, bukan justru menjadi api yang siap membakar dan menghantam siapa saja dan apa saja hanya demi kepentingan sesaat belaka.
Coba bayangkan jika hal itu, bencana dan musibah yang kausebut azab ini menimpa kita? Membayangkan saja, saya sebagai manusia, sudah tidak sanggup, apalagi penderitaan itu ditambah dengan tuduhan keji demi kepentingan elektoral belaka.
Saya kira, cuitan komedian Ernest Prakasa cukup untuk mewakil kita, bahwa mereka yang mengaitkan segala musibah yang berpotensi menghilangkan nyawa ratusan manusia dalam pesawat JT610 ini sebagai onggokan daging buta nurani. Biadab sekali.
“Ada 189 jiwa hilang. Ratusan hati tercabik. Tapi para onggokan daging buta nurani tetap mengoceh tak kenal malu, mengaitkan bencana dengan politik. Biadab.”
Ya, kita tentu tidak mau seperti itu, menjadi biadab hanya karena elektoral semata. Untuk itu, mari bersama saling menggegam erat tangan seraya berdoa, mendoakan yang terbaik bagi seluruh korban JT610.