Isi piagam madinah menujukan bahwa Islam adalah agama yang kosmopolit dan universalis. Karakter Islam yang seperti ini, perlu dipertahankan dan sangat relevan dengan situasi masyarakat modern yang heterogen. Dilihat dari isinya, setidaknya ada empat pesan utama piagam madinah yang perlu diperhatikan. Keempat pesan tersebut adalah:
Mereformasi Sistem Kesukuan atau Kekabilahan
Melalui piagam Madinah, Nabi SAW mengenalkan isntitusi masyarakat baru yang disebut dengan ummah wahidah. Landasan bagi ummah ini bukanlah keturunan (nasab) dan batas-batas kekabilahan, melainkan keislaman. Namun, kesatuan ummah ini tidak bersifat perorangan, melainkan penyatuan berbagai kabilah dengan tetap menghormati eksistensi kabilah. Said Hawa menambahkan, pernyataan nabi yang termaktub dalam kabilah, wa anna yahud bani ‘auf ummah ma’a mu’min, menunjukan bahwa meskipun berbeda suku dan agama tetap menjadi bangsa yang satu. Melalui ikatan tersebut siapa saja, baik orang Islam maupun non Islam yang terikat dengan perjanjian tersebut harus senantiasa untuk saling menolong dan saling menyayangi.
Mengenalkan Konsep egaliter.
Dalam piagam ini juga disebutkan bahwa semua manusia sama tanpa harus membedakan suku, warna, kulit, dan agama. Siapa saja yang melanggar baik dari golongan sendiri harus dikenakan sanksi. Hal ini secara tidak langsung menandakan karakteristik Islam yang egilatarian. Semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada perbedaan antara yang kaya dan miskin, orang kuat dan orang lemah, laki-laki dan perempuan dalam masalah ibadah kepada Allah SWT. Seluruhnya diberikan tuntutan yang sama.
Dalam al-Qur’an dikatakan, “Sesungguhnya orang beriman adalah bersaudara” (QS: al-Hujurat: 10). Menurut Ibn ‘Asyhur, ayat ini menunjukan bahwa ketika seorang sudah menjadi komunitas muslim maka statusnya sama. Kata ‚ikhwah‛ dalam ayat ini menegaskan semua umat Islam sama dalam hal hak dan kewajiban menjalankan agama.
Apabila dalam al-Qur’an sebuah perintah menggunakan sigat mudzakar (laki-laki) maka biasanya perintah ini juga ditujukan untuk perempuan. Atas dasar kesetaraan dan persamaan itu, maka warna kulit, perbedaan suku, garis keturunan, dan perbedaan negara tidak bisa dijadikan alasan untuk mendiskretkan golongan lain. Sebab pada dasarnya manusia berasal dari nenek-moyang yang sama, yaitu Adam.
Pandangan ini sejalan dengan DUHAM pasal 1 yang berbunyi, “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama.” Dengan demikian, semua orang diberi kesempatan untuk menjalankan kehidupannya berdasarkan keinginannya sendiri dan memilih pekerjaan tanpa ada paksaan dari orang lain. Kesempatan, peluang, dan fasilitas untuk memperoleh kesetaraan itu dijaga penuh oleh Islam. Makanya, Islam melarang pembunuhan, karena bisa merusak kesetaraan hak hidup, pencurian dilarang karena bisa menimbulkan ketidaksetaraan dalam kepemilikan harta, dan lain-lain
Mengenalkan Konsep Kebebasan
Konsep kebabsan sangat tegas dalam perjanjia tersebut, orang yahudi tetap pada agamanya sendiri dan demikian pula umat Islam. Mereka tidak boleh saling memakasakan keyakinan, karena bisa menimbulkan konflik dan kerusahan. Hal ini sangat sesuai dengan konsep Islam yang tidak pernah memaksakan ajarannya kepada orang lain, la ikraha fi al-din.
Setiap orang berhak untuk memeluk agama berdasarkan keyakinannya masing-masing. Islam mengajarkan agar sesama umat beragama umat Islam bersikap toleran terhadap agama lain. Sikap toleran tersebut akan meredap perbedaan yang dapat menyebabkan konflik.
Sebenarnya secara naluri manusia memiliki kecendrungan untuk mengajak orang lain agar mengikuti apa yang ia yakini. Untuk meredap agar konflik tidak terjadi Islam menjadikan toleransi sebagai etika. Setidaknya dengan bersikap lapang dada dan toleran membuat kita lebih terbuka dan mampu bersikap baik terhadap penganut agama lain.
Mengusung Keadilan
Perjanjian tersebut menunjukan keadilan prilaku Nabi SAW terhadap muslim ataupun non-muslim. Perjanjian damai yang adil antara kaum muslimin dan yahudi pada waktu itu, semestinya membuahkan hasil yang konkret seandainya tidak dirusak oleh tabiat kaum yahudi yang suka menipu dan khianat.
Perjanjian ini tidak berlangsung lama karena selang beberapa waktu kemudian kaum Yahudi merasa tidak senang terhadap isi perjanjian tersebut. Menurut Martin Lings, penerimaan yahudi terhadap piagam tersebut karena alasan politis. Sejauh ini, Nabi telah menjadi orang yang paling berkuasa di Madinah dan kekuasaannya tampak meningkat. Mereka tidak punya pilihan selain menerimanya. Tetapi masih sedikit di antara mereka yang mau menerima bahwa Tuhan mengutus seorang Nabi yang bukan orang Yahudi. Sehingga mereka siap bersekutu dengan siapa pun dari orang Arab yang ragu dengan Nabi Muhammad SAW serta wahyu ilahi yang diembannya.