Emang Salah ya Perempuan Ambisius di Politik? Cerita Stigma dan Seksisme di Gedung Parlemen

Emang Salah ya Perempuan Ambisius di Politik? Cerita Stigma dan Seksisme di Gedung Parlemen

Emang Salah ya Perempuan Ambisius di Politik? Cerita Stigma dan Seksisme di Gedung Parlemen
Bedah buku kepemimpinan politik perempuan

Bagaimana perempuan berjuang di ruang politik yang didominasi laki-laki? Ternyata, tidak sesederhana itu dan ini merupakan salah satu kisah tersebut.

Tak mudah bagi seorang Elva Farhi Qolbina, orang muda yang kini terjun di politik sebagai anggota parlemen di DPRD DKI Jakarta dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) untuk berjuang melawan stigma dan seksisme.

Ia bercerita perjuangannya sebagai perempuan di ruang politik dan distigmakan negatif sebagai perempuan yang hendak memaksimalkan potensinya

Ternyata, pandangan terhadap perempuan di ruang publik utamanya di ruang politik hingga saat ini masih di bawah bayang-bayang ketidaksetaraan dengan laki-laki. Dan itu fakta yang harus ia temukan.

Apalagi, ada anggapan publik masih menganggap bahwa keterlibatan perempuan untuk posisi kepemimpinan tidaklah berkompeten.

Gampangnya, perempuan tidak layak menjadi pemimpin.

“Kena stigma negatif sebagai perempuan yang hendak memaksimalkan potensi diri, ” tutur Elva saat mengisi diskusi buku di Outlier Cafe, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten pada Jumat (25/10/2024).

Ia mengisahkan, sekali waktu ia pernah mengadvokasi kasus pencabulan anak di bawah umur di bilangan Jakarta Selatan.

Elva bahkan sudah melaporkan kasus tersebut kepada pihak yang berwajib, namun tidak segera direspon.

“Saya kesal banget, setelah laporan itu masuk kira-kira kapan lagi korban dipanggil dan pelakunya akan ditangkap ya?” Tanya Eva.

Apalagi, ia saat itu belum punya posisi politik dan ditambah, ia seorang perempuan.

“Nanti mbak, kita kasusnya banyak banget. Kita tuh sudah banyak menyelesaikan kasus jadi tenang aja mbak,” jawab pihak berwajib.

Pengusutan kasus seperti ini, seringkali masih kurang diperhatikan, seolah tenggelam di antara kasus prioritas lainnya.

Di berbagai kasus, ini terjadi saat korbannya adalah perempuan. Ini adalah gambaran perempuan yang dipinggirkan, suara dan cerita mereka itu dipandang sebelah mata.

“Dari sana akhirnya saya menyadari banyak sekali yang bisa dilakukan ketika menjadi punya posisi pengambil keputusan. Itu yang sebetulnya menjadi keresahan awalnya, kenapa aku tiba-tiba merasa harus jadi anggota DPRD,” ujarnya.

Selain itu, Elva menyebut stigma negatif juga kerap membuntuti perempuan-perempuan yang ambisius dan memperjuangkan haknya.

“Biasanya perempuan itu nggak berani untuk melobi, misalnya dia mau naik gaji padahal kerjanya udah paling banyak, perempuan tuh gak berani laki-laki yang biasanya berani. Karena ya itu, takut dianggap ih perempuan ambisius banget sih. Jadi jelek gitu stigmanya, padahal ambisius apa salahnya,” tegas Elva.

Disepelekan Om-om Politisi

Elva mengaku, lingkungan di politik memang tidak begitu ramah dengan perempuan.

Perempuan sering disepelekan, dianggap bisa dibercandain seenaknya.

“Itu kalau saya rapat ya sama bapak-bapak semua itu, awal-awal ga bisa lawan gitu. Tapi makin kesini, karena sudah teredukasi juga dan sudah merasa kalau posisi kita sama, jadi kalau ada becanda-becanda begitu, saya berani bilang pa, mohon maaf saya agak gak nyaman sama bercandaannya bapak,” tegasnya.

Dalam Catatan Akhir Tahun (Catahu) Komnas Perempuan menunjukkan selama tahun 2023, Komnas Perempuan menerima total 4.374 pengaduan yang di dominasi kekerasan berbasis gender.

Ini jelas, satu sinyal yang tidak mengenakan bagi perempuan.

Sinyal yang dapat melemahkan potensi dan posisi perempuan di ruang publik. Tak hanya itu tetapi juga berdampak pada kesehatan mental dan kepercayaan diri perempuan.

Elva dalam ceritanya juga mengisahkan, perjuangan kepemimpinan perempuan di ranah politik tidaklah mudah.

Butuh meniti karir dari bawah dan tidak tiba-tiba bisa menjadi anggota DPRD. Dan tentu, ini kaitannya dengan pandangan publik terhadap perempuan.

“Memang perjuangannya gak mudah banget untuk seorang perempuan menjadi politisi, apalagi misalnya lagi menstruasi kadang-kadang dibilang gini, udah nih galak banget sih, lagi dapet yah,” cerita Elva.

“Jadi ya ga bisa, perempuan dilihat misalnya, jangan milih perempuan nanti dia gampang marah-marah ada menstruasinya sebulan sekali. Padahal menstruasi itu sakit dan itu akan mempengaruhi siapa pun yang lagi sakit pasti akan terpengaruh pengambilan keputusannya,” tegasnya.

Hal senada diamini oleh,Prof Dzuriyatun Toyibah Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, turut menyoroti ruang-ruang politik dan kepimpinan perempuan.

Menurutnya, kondisi hari ini pendidikan perempuan sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Meski begitu, fakta hari ini berbicara lain. Hari ini ruang dan peluang untuk perempuan masih terbilang sedikit. Ini dapat dilihat melalui pemerintahan baru di negara kita.

“Kursi kepemimpinan perempuan masih terlihat timpang sekali,” katanya dalam diskusi yang digelar RumahKitaB dan Islami.co bertajuk Fikih Kepemimpinan Politik Perempian itu.

Karenanya, perempuan yang akrab dipanggil Prof Ibah itu mengajak masyarakat untuk lebih nyaring berjuang menyuarakan partisipasi perempuan di ruang publik. Sebab, menurutnya kepemimpinan perempuan itu diperjuangkan bukan pemberian.

“Kepemimpinan itukan rebutan resources, resources yang terbatas. Artinya untuk menjadi pemimpin butuh diperjuangkan,” tuturnya. Persoalannya hari ini, ketika perempuan mau berjuang dinilai ambisius dan dilabeli negatif.

Hal lain yang perlu disadari juga, pelecehan seksual kerap menimpa perempuan yang berkiprah di ruang-ruang publik. Ini jelas satu hambatan yang menghantui perempuan ketika mencoba memperluas partisipasinya di ruang publik.

Catatan Akhir Tahun (Catahu) Komnas Perempuan menunjukkan selama tahun 2023, Komnas Perempuan menerima total 4.374 pengaduan yang di dominasi kekerasan berbasis gender. Ini jelas, satu sinyal yang tidak mengenakan bagi perempuan.

Sinyal yang dapat melemahkan potensi dan posisi perempuan di ruang publik. Tak hanya itu tetapi juga berdampak pada kesehatan mental dan kepercayaan diri perempuan.

Jadi, masihkah ada ruang aman di politik atau memang harus bersama-sama, rebut ruang politik biar tidak bias gender?