Kisah bermula ketika pasukan Kekhilafahan Islam berhasil menguasai Kota Suci Yerusalem, yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Kekaisaran Romawi Timur (Byzantium), di tahun 637 Masehi.
Melalui pengepungan selama 6 bulan, akhirnya, Uskup Sophronius Pemimpin Gereja Makam Kudus sekaligus wakil Kekaisaran Byzantium mengibarkan bendera putih. Namun, Uskup Sophronius mengajukan syarat bahwa hanya bersedia menyerahkan hak atas Kota Suci Yerusalem langsung kepada Khalifah Umar bin Khattab dan syarat itu diterima.
Beberapa waktu kemudian, Umar bin Khattab bersama seseorang bernama Aslam pergi ke kota Yerusalem dengan membawa seekor Onta yang dinaiki bergantian. Sekali waktu Umar yang menaiki Onta dan Aslam yang menuntun; sekali waktu yang lain Aslam yang menaiki Onta dan Umar yang menuntun. Dan, tepat jelang sampai pintu Kota Yerusalem adalah giliran Aslam yang naik Onta dan Umar yang menuntun Onta itu. Berkali-kali Aslam meminta Umar bin Khattab untuk menaiki Onta demi kewibawaan Sang Khalifah, tapi Umar mengelak.
Memasuki Gerbang Kota Yerusalem, Uskup Sophronius dan penduduk kota terkejut karena Umar bin Khattab, sang Khalifah tidak diiring-iringi pasukan dengan senjata lengkap.
Pun, dengan penuh hormat semua penduduk kota menyambut Aslam yang sedang dalam posisi naik Onta dan mengabaikan Umar bin Khattab, sang Khalifah. Berkali-kali Aslam menjelaskan kepada penduduk kota bahwa ia bukan Khalifah, tapi sepertinya itu sia-sia belaka.
Kepada penduduk Kota, Uskup Sophronius memberi penjelasan bahwa Umar bin Khattab adalah yang menuntun Onta itu, seraya berkata :
“Lihatlah ini sungguh kesahajaan dan kegetiran yang telah dikabarkan oleh Daniel Sang Nabi ketika ia datang ke tempat ini”
Setelah menyerahkan kunci pintu gerbang Kota Yerusalem, Uskup Sophronius mengajak Umar keliling Kota dan Kompleks Gereja Makam Kudus. Sampai waktu dhuhur, Uskup Sophronius menawarkan kepada Umar bin Khattab untuk sholat dhuhur dalam Gereja. Namun, Umar menolak tawaran itu seraya berkata :
“Jika saya mendirikan sholat dalam Gereja ini, saya khawatir orang-orang Islam akan menduduki Gereja ini dan menjadikannya sebagai Masjid”
Kemudian, Umar minta ditunjukkan situs reruntuhan Kuil Sulaiman (Kuil Herod) dan sholat dhuhur di atas reruntuhan itu.
Umar bin Khattab memberi keteladanan yang indah bahwa Gereja tetaplah menjadi Gereja; tidak perlu diubah menjadi Masjid, meskipun sebuah kota atau negeri dalam kekuasaan Islam. Kesakralan spiritual sebuah Gereja harus tetap dijaga. Jelas, Umar bin Khattab mewarisi sikap empati dan toleransi kepada pemeluk agama lain dari Muhammad Sang Nabi.
Krisi Empati di Hagia Sophia
Namun, teladan indah dari Umar bin Khattab itu tidak terwarisi oleh Sultan Muhammad Al-Fatih, sang penakluk Kota Konstantinopel di tahun 1453.
Sesaat setelah penaklukan, Sang Sultan mendatangi Katedral Hagia Sophia, tempat suci Kristen Ortodoks, yang mempunyai tata arsitektur indah nan menawan. Sang Sultan terpukau. Di dalam Katedral Hagia Sophia, Sultan Muhammad Al-Fatih melarang pasukannya untuk merusak dan mengambil apapun. Sultan Muhammad berujar :
“Untuk kalian tawanan dan harta rampasan, sedangkan bangunan kota untukku” (Philip Mansel, “Konstantinopel, City of the World’s Desire 1453-1924).
Pun, Sultan Muhammad Al-Fatih mengerjakan sholat di Hagia Sophia, yang beberapa waktu kemudian, Sang Sultan mengubah Katedral Hagia Sophia menjadi Masjid Agung Aya Sofia.
Berbeda dengan Umar bin Khattab yang tetap menjaga dan merawat orisinalitas Katedral Makam Kudus, Muhammad Al-Fatih justru mengubah Katedral Hagia Sophia menjadi Masjid. Agaknya, keindahan arsitektur Katedral Hagia Sophia membuat Sang Sultan lupa dengan teladan indah dari salah satu sahabat terbaik Nabi Muhammad.
Pun, legacy dari Sultan Muhammad Al-Fatih itulah yang menjadi inspirasi dibukanya kembali Hagia Sophia menjadi Masjid di tahun 2020 ini, setelah selama beberapa tahun menjadi museum. Paus Fransiskus bersedih hati dan, bersamaan dengan peresmian Masjid Hagia Sophia, semua Gereja Ortodoks Yunani membunyikan lonceng duka-cita.
Alih fungsi Museum Hagia Sophia menjadi Masjid menusuk begitu dalam jantung umat Kristen dan Katolik di seluruh dunia. Saya percaya, andaikata Umar bin Khattab masih hidup, Sang Al-Faruq niscaya juga berduka. Di tahun 2020 Hagia Sophia menjadi simbol krisis empati.
Saya tutup artikel pendek ini dengan kalimat indah dari Al-Qur’an Karim :
“Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang didalamnya banyak disebut nama Allah”
(Al Hajj : 40)