Mungkin, kalau tidak diajari hal ihwal kesenian yang bisa menjadi hiburan dan pelepas penat, orang pesantren itu gampang ngamukan. Main pentung segala arah. Betapa tidak, rutinitas belajar ini itu sejak pagi hingga malam. Terus demikian. Fisik dan pikiran digenjot. Anehnya, sudah demikian berat kok ya masih banyak yang berminat memondokkan dirinya, anaknya, keluarganya. [Aneh dan tetap alhamdulillah].
Saya berasumsi perlunya seni sebagai pelentur jiwa ini setelah melakukan eksperimen secara konyol: menyuplai otak dengan buku-buku panas: debat ini-itu, kritik terhadap anu, sanggahan kepada A, membongkar kedok B, dan buku eyel-eyelan “syar’i”.
Hasil eksperimennya bagaimana, cak? Saya merasa perlu mengunyah pujer tjap bintang toedjoe jang terpertjaja sekalian bungkusnya karena kemumetan dan hawa panas yang membuat saya menggelinjang (halah!) ini. Jujur, usai mengunyah buku-buku tawuran itu saya terbetot menyikapi segala sesuatu terlampau serius. Ego sektarian semakin menggebu dan mentalitas sebagai “yang paling benar” sangat kuat. Melihat yang berbeda rasanya pengen bertengkar melulu. Dan, fatalnya, perlahan-lahan selera humor menurun. Bagi saya ini musibah. Sebab, saya selalu berdoa agar Allah tidak mencabut dua hal dari saya: Iman dan selera humor. Kalau selera humor hilang, bisa-bisa saya keimanan saya stagnan dan beragama dengan garang. Tidak, saya tidak mau menjadi zombie. Dan, agar tidak kebablasan menjadi bigot, saya memutuskan menghentikan eksperimen konyol ini.
Dari titik ini saya husnudzzon, para ulama pesantren menempatkan kurikulum kitab-kitab akhlak dan suluk tasawuf, antara lain untuk menetralisir panasnya hawa perdebatan di bidang fiqh dan teologi yang kitab-kitabnya dikaji di pesantren. Jika tidak ada penetralisir, mungkin, para santri bakal ngamukan karena bakal membaca realitas dari sudut padang hitam putih dan saklek. Kalau cara pandangnya sudah begini, maka lambat laun seseorang akan terjerembab pada cara pandang seorang hakim, ke sana kemari hanya untuk menyalahkan dan memvonis.
Selain penetralisir berupa kurikulum tasawuf, para ulama memberikan sentuhan seni dalam beberapa kegiatan santri. Saya menduga, kesenian adalah alat mujarab melenturkan ego dan melembutkan jiwa. Kalau sudah kehilangan jiwa seni, seseorang akan tampil sebagai predator. Lihat masa muda Hitler. Lukisannya bagus, lembut, dengan mayoritas pemandangan alam. Menyejukkan, menentramkan. Tapi ketika dia menjadi serdadu pada Perang Dunia I, jiwa seninya padam, yang kemudian tumbuh malah watak agresor, yang puluhan tahun kemudian dia tampilkan melalui fasisme yang mengerikan.
Karena itu, untuk menjaga jiwa kemanusiaannya, kesenian diajarkan di pesantren; melalui syiiran yang dilagukan, nadzaman yang dinadakan melalui bahar tertentu, mengiramakan madah puja puji bagi baginda Rasulullah, seni beladiri, hingga seni hadrah dan tabuh terbang-rebana, antara lain untuk melenturkan ego, melembutkan jiwa, dan melatih agar rasa tidak “kering”. Keterkaitan pondok pesantren dengan kesenian ini saya kira memiliki akar yang kuat secara historis. Sebab, Walisongo dan generasi penyebar Islam di Nusantara lebih banyak menggunakan instrumen kesenian sebagai alat bantu dakwah.
Saya juga melihat, beberapa orang yang mencintai kesenian dalam menyampaikan aspirasi dan gagasannya juga lebih nyantai, nguwongne wong dan jauh dari kesan menggurui. Karena itu kalau ada orang yang menganggap dirinya pendakwah tapi dakwahnya serem dan isi ceramahnya cuma menghakimi A, B, C, hingga obral laknat, silahkan dicek (termasuk cek darah tingginya wkwkwkw), biasanya dia alergi hal-hal yang beraroma seni, kecuali air seninya sendiri.
Ini sama persis dengan soal tulis menulis. Mereka yang berangkatnya dari penikmat sastra dan budaya, tulisan-tulisannya mengalir, enak dibaca (dan perlu). Ini berbeda dengan beberapa penulis yang berangkat dari bidang eksak, misalnya, yang seringkali terjebak pada teori dan statistik. Meski nggak semuanya begini. Ini pendapat saya, lho. Silahkan kalau nggak sepakat.
Sekali lagi, jangan terlampau serius baca buku-buku soal debat A, B, C., agar tidak darah tingginya tidak naik. Perlu dinetralisir dengan buku lain yang lebih gurih tapi bergizi. Soal tazkiyatun nafs, misalnya. Lebih oke lagi, baca komik agar ego kanak-kanak kita yang ngambekan dan ngamukan bisa teratasi!
Kalau masih ngotot, perlu terapi humor. Sebab, saya percaya, kejenakaan adalah salah satu penetralisir keruwetan pikiran. Syukur-syukur kalau kejenakaan diarahkan untuk menertawakan diri sendiri agar terhindar dari memberhalakan diri sendiri. Salah satu cara menghindari hal ini adalah dengan jalan menertawakan diri sendiri.
Dan, sadarkah anda wahai sahabat Jarjit Singh yang berbahagia, menertawakan diri sendiri hanya bisa dilakukan oleh orang yang sadar kualitas diri, tahu kemampuan diri, dan tidak terlampau tinggi menilai diri sendiri. Sebab, mereka yang terlampau tinggi menilai kualitas dirinya biasanya tidak tahu diri. Jelas kan, sayang?