Dunia islam pekan ini mengharuskan kita kembali menengok ke Rohingya. Konflik yang terjadi di Rohingya memakan banyak korban, salah satunya adalah anak-anak. Hal ini yang diutarakan dalam riset terkini dari Centre for Disease and Prevention (CDC) Amerika Serikat, lembaga riset kesehatan terkait pengungsi.
Dalam riset tersebut, ada 269 anak dengan kisaran usia mulai 6 bulan hingga lima tahun kekurangan gizi. Tidak hanya itu, anak-anak ini berpotensi kian parah lagi jika tidak ada penanganan serius, bahkan berujung kematian. Para peneliti ini melakukan riset kesehatan di kamp pengungsi di Kutupalong sejak Oktober 2017 lalu.
Data yang ditemukan juga tidak sedikit, 24 persen anak mengalami kekurangan gizi. Indikasinya, dari tinggi badan kurang ideal, berat badan dan lingkar lengan mereka. Tentunya hal ini menignkatkan risiko penyakit, kelaparan. Tentu saja berpotensi kematian.
Selain itu, para anak-anak ini juga terindikasi terkena malnutrisi dan ini dialami hingga 43 persen total populasi. Selain itu, ada 48 persen lagi anak-anak ini mengalami anemia berat dan kadar besi rendah.
“Pravelensi tinggi anemia dan pola makan buruk menekankan pentingnya menyediakan rangsum keluarga dengan varian beragam, memperluas distribusi suplemen makanan tambah dan dukungan untuk terus menyusui (bagi perempuan),” tulisnya seperti dikutip dari Antara.
Daerah ini adalah salah satu kamp pengungsian di Bangladesh. Riset ini memang cuma menyebutkan dan meneliti satu kamp saja, tapi bisa dianggap representasi dari keseluruhan sebab kamp lain juga mengalami penderitaan yang sama.
Apakah kita akan membiarkan anak-anak kembali menjadi korban atas konflik di Rohingya ini? Saya kira nurani kita akan menolak hal ini.
Dunia Islam pekan ini dengan Suriah, khususnya penyerangan yang terjadi pekan lalu dan mengakibatkan kerusakan. Amerika Serikat dan Sekutu menyatakan misi mereka rampung karena berhasil tapi pihak Suriah berkata sebaliknya. Mana yang kita percayai?
Tentu saja kita harus lebih jernih melihatnya persoalan ini. Satu hal yang pasti, lagi-lagi korbannya adalah rakyat Suriah dan penyerangan ini bukanlah solusi.
Salah satu ormas terbesar di negeri ini dan merupakan representasi muslim Indonesia, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengecam keras serangan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan sekutunya ini. Menurut Muhammadiyah, serangan terhadap Suriah tidak perlu dilakukan dan hanya memperburuk kedaaan di Suriah.
“Mengecam serangan AS, Inggris, dan Prancis ke Suriah dan mendesak kekuatan-kekuatan proxy yang terlibat untuk menyelesaikan konflik Suriah sesuai keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Serangan ini merupakan pelanggaran kedaulatan Suriah dan bertentangan dengan hukum internasional,” tuturnya sebagaimana rilis yang diterima redaksi, Selasa (17/4).
Muhammadiyah beralasan, serangan yang dilakukan ke Suriah ini tidak akan menyelesaikan masalah, justru memperburuk keadaan.
“Atas alasan apapun, serangan tersebut hanya akan semakin memperburuk keadaan dan memperkeruh kekisruhan politik yang terjadi di Suriah,” tambahnya.
Salah satu organisasi terbesar di Indonesia ini juga mendesak negara-negara adikuasa seperti Amerika Serikat, Prancis maupun Inggris dan sekutunya ini untuk tidak menjadikan Suriah sebagai lahan pertempuran, apalagi sebagai lahan kepentingan politik.
“Semua pihak hendaknya bisa menahan diri agar situasi lebih kondusif dan belajar dari sejarah,” tambahnya.
Muhammadiyah juga sekali lagi menegaskan, posisi Indonesia begitu penting terkait diplomasi damai di negara pimpinan Bashar Assad ini.
“Kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk lebih aktif dan mengambil prakarsa perdamaian di Suriah baik melalui PBB maupun komunikasi dengan pemerintah negara-negara yang terlibat dalam konflik dan kepentingan politik di Suriah,” tuturnya sebagaimana rilis yang diterima redaksi.
Muhammadiyah merasa bahwa pemerintah Indonesia sudah selayaknya mendorong transisi damai menuju Suriah yang sejahtera, damai, dan bermartabat dengan mediasi PBB.
“Suriah adalah salah satu negara yang menyimpan kekayaan peradaban umat manusia dan agama-agama besar dunia. Perdamaian di Suriah adalah sebuah keniscayaan untuk menyelamatkan peradaban dunia,” tambahnya.
Posisi Indonesia sendiri masih belum begitu aktif terkait perdamaian di Suriah. Padahal, posisi Indonesia begitu strategis mengingat posisi Indonesia sebagai negara berbasis islam Indonesia terbesar di dunia.
“Kami mengajak kepada bangsa Indonesia, terutama umat Islam, untuk memanjatkan doa untuk keselamatan, perdamaian, dan berakhirnya tragedi kemanusiaan yang dialami bangsa dan negara Suriah,” tutupnya.
Tentu saja kita tidak akan lupa apa yang terjadi di Iraq. Negara itu luluh lantak karena isu yang masih belum jelas. Apakah hal sama, dengan isu senjata kimia yang dialamatkan ke Suriah, akan membuat hancur lagi sebuah negeri seperti Iraq?
Dunia Islam pekan ini juga dihiasi dengan kedatangan Habib Ali Jufri ke Indonesia. Dai asal Timur Tengah yang berpengaruh ini datang di Jalsatut Dua’at di PP Alfachriyah Tangerang pimpinan Habib Jindan, Jumat (13/8).
Salah satu pesan penting yang dibicarakan oleh beliau adalah, jangan mudahnya kita sebagai muslim untuk terpengaruh pada dunia luar yang ingin meremukkan negeri ini.
Jaga negeri kalian. Jangan terprovokasi dengan orang pakai baju putih yang mengatasnamakan Islam, demokrasi, liberalisme dan lain-lain. untuk merusak dan menipu,” tutur beliau.
Beliau juga mencontohkan kondisi Timur Tengah yang tercerai berai gara-gara hal di atas. Bahkan, beliau juga mengritik beberapa hal, termasuk kata jihad yang kerap disalahartikan hanya untuk keperluan perang.
“Kalimat jihad yang dicuri dan disalahgunakan untuk kepentingan yang keliru, menipu atas nama jihad Islam,” tambahnya.
Beliau pun mengutip Al-Mawardi tentang betapa pentingnya muslim menjaga negara kita. Menurut beliau, segalanya akan hancur jika negera juga hancur. Maka, kita tidak boleh diam jika ada praktik intoleransi maupun islam yang dibajak oleh mereka yang justru tidak menunjukkan islam sebagai agama rahmatan lil alaman dan penuh cinta ini.