Baru-baru ini, PA 212 dan sebagian orang MUI menolak konser Coldplay yang akan diselenggarakan di Indonesia. Juru Bicara PA 212, Novel Bamukmin bahkan mengatakan, jika Coldplay nekat datang, mereka akan mengepungnya di bandara.
Dalam perspektif psikologis apa yang ditampakkan sebagian dari kelompok Islam ini tak lebih dari rasa ekspresi takut. Bahasa “kerennya” bisa jadi adalah culture of fear. Istilah ini merujuk pada rasa takut yang masif dari sekelompok orang karena didorong oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu dan menggunakan bias-bias emosi tertentu.
Ciri-ciri culture of fear ini sebenarnya bisa diidentifikasi secara tersurat. Pertama, orang dengan kondisi psikis seperti ini cenderung mudah marah. Mengapa demikian? Karena mereka merasa dirinya itu terancam. Karena itu, mereka akan sensitive terhadap sesuatu yang dianggap sebagai sebuah ancaman.
Preman pasar, misalnya. Mereka sejatinya merasa takut karena tahu mereka sebenarnya disisihkan dari masyarakat, sedang diincar oleh geng lain yang lebih kuat sebagai pesaingnya, dan takut dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Mereka takut masuk penjara. Berbagai rasa takut itu kemudian diekspresikan dengan rasa amarah yang tidak terkontrol. Disenggol sedikit saja barangkali akan menyulut emosi mereka sedemikian rupa.
Gejala lain dari culture of fear ini adalah sikap reaktif. Dalam pengertian ini, reaktif diartikan sebagai sikap yang lebih cenderung suka menghakimi karya atau kejadian di luar kelompoknya alih-alih melihat ke dalam apa kontribusi kelompok mereka bagi konteks masyarakat yang lebih luas.
Mereka, misalnya, tidak menghasilkan sebuah karya ilmiah yang signifikan. Namun, ketika ada satu buku yang mereka pikir menyinggung kepentingan mereka, mereka langsung bereaksi dan menghakimi apakah buku itu sesat atau tidak, alih-alih memproduksi buku tandingan. Mengapa mereka cenderung memantau kinerja pihak lain di luar kelompoknya daripada fokus kepada internal? Ya karena kekhawatiran dan ketakutan atas hasil kerja dari orang lain.
Untuk menghakimi pihak lain itu, mereka selalu menyandarkannya pada legitimasi-legitimasi tertentu. Pancasila, UUD 1945, Al-Qur’an, Hadis, atau apapun itu yang bisa menjustifikasi argumentasi mereka. Hal ini penting dalam rangka membenarkan rasa takut mereka. Dengan demikian, mereka akan mendapatkan simpati dari banyak orang.
Hal ini terlihat ketika sebagian masyarakat kita menentang hadirnya Timnas Israel u-20 ke Indonesia. Mayoritas menggunakan legitimasi konstitusi negara dengan dalih tidak ada hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel serta komitmen Indonesia terhadap anti-penjajahan.
Dampaknya, semakin banyak orang yang bersimpati dan semakin banyak mereka mendapat dukungan, rasa takut mereka itu akan berkurang. Ditambah lagi, seringkali mereka mengklaim sebagai representasi sebuah kelompok besar, “atas nama umat Islam”, misalnya. Semakin mereka merasa banyak, maka mereka merasa semakin kuat. Semakin mereka merasa kuat, ketakutan itu akan semakin terkikis.
Yang juga terlihat adalah, kelompok seperti ini lebih menyukai pengumpulan massa daripada aksi-aksi individu. Mereka tidak akan terlihat, misalnya, pada perdebatan publik. Mereka akan lebih “nyaman” muncul di tengah kelompok-kelompok besar. Sama seperti sebelumnya, perasaan besar itu akan membantu mereka mengurangi keresahan dan rasa takut.
Kelompok ini seringkali juga turut menyebarkan rasa takut kepada orang lain. Waketum MUI, misalnya, menyinggung soal kepunahan manusia jika Coldplay hadir di Indonesia. Gejala ini tidak terjadi pada “kasus” Coldplay saja. Kelompok Wahabi misalnya, banyak membincang soal kesesatan kelompok liberal dengan narasi kerusakan umat Islam di zaman modern.
Era modern juga dinarasikan dengan invasi ideologi Barat sehingga mencabut akar-akar keislaman, khususnya di Indonesia. Narasi ini berfungsi untuk membuat orang takut terhadap kelompok yang mereka tuding.
Komaruddin Hidayat, dalam tulisannya di Harian Seputar Indonesia, mengatakan bahwa culture of fear ini sebenarnya tidak melalui berkesan negatif. Setiap anak manusia, tulisnya, terlahir dengan membawa naluri rasa takut. Semakin besar pertumbuhan anak, akan semakin terlihat potensi rasa takut itu.
Hanya saja, tingkat rasa takut seseorang berbeda-beda, begitu pun objek yang menimbulkan juga tidak selalu sama. Dulu orang takut hewan buas, diciptakanlah senjata berupa tongkat, golok, atau panah. Dalam arti lain, dengan rasa takut, manusia sesungguhnya menjadi kreatif. Orang takut tenggelam di air, diciptakan pelampung.
Lantaran takut lapar, orang menimbun padi atau makanan lain. Karena takut sakit, banyak orang rajin berolahraga atau menjaga kesehatan. Membayangkan betapa sengsaranya jatuh miskin, orang bekerja mencari uang dan menabung. Rasa takut ini menjadi tidak sehat kalau membudaya dan yang menjadi objek ketakutan adalah hal-hal yang sesungguhnya tidak menjadi kebutuhan primer dalam kehidupan.
Meski demikian, akan menjadi tidak sehat lagi kalau rasa takut itu lalu menjadi beban serta menimbulkan permusuhan dengan orang lain. Misalnya takut kehilangan jabatan, seseorang berusaha dengan berbagai cara agar jabatannya abadi. Juga menindas siapa-siapa yang dianggap akan menjadi ancaman atau pesaing bagi dirinya.
Rasa takut yang demikian ini sangat tidak sehat. Bukannya mendorong kreativitas yang konstruktif, melainkan menjadi beban mental yang destruktif bagi diri dan lingkungannya. Culture of fear ini lah yang sering menjadi gejala sebagian kelompok keagamaan di Indonesia.
Jika culture of fear terjadi secara natural untuk mengakomodir sisi alamiah manusia, maka itu tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah jika culture of fear dimanfaatkan dan dimanipulasi untuk mewujudkan sebuah kepentingan politis tertentu dengan cara merugikan pihak-pihak lainnya.