Taqarrub ilallah, mendekatkan diri kepada Allah, semua umat Islam tanpa kecuali niscaya memahaminya dengan mutlak. Pemikiran dan gerakan taqarrub ilallah ini secara sederhana dan mudah disepakati patut diwakilkan pada istilah hijrah. Ya, hijrah minad dhulumati ilannur, dari kegelapan (kemungkaran, kemaksiatan) di masa lalu menuju kecemerlangan (‘ubudiyah, mu’amalah) di masa kini dan esok. Tak ada perselisihan sedikit pun perihal tugas utama muslim/mukmin ini.
Di dalam al-Qur’an, ada cukup banyak ayat tentang gerakan hijrah. Saya nukilkan satau saja yang menurut amatan saya paling mewakili konteks tulisan ini, yakni An-Nisa; ayat 100:
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ۚ وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Siapa yang berhijrah di jalan Allah niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Siapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan RasulNya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah.”
Betul, asbabun nuzul ayat tersebut sesungguhnya ditujukan kepada kaum muslimin Mekkah yang berhijrah bersama Rasuullah Saw ke Madinah. Dalam maksud mendapatkan moral-ethic (maqashid syar’i) ayat tersebut pada konteks kita kini, saya kira relevan untuk menerakan arah makna ayat tersebut pada: “Gerakan mendekatkan diri ke jalan Allah dan RasulNya, baik secara lahiriah maupun rohani, baik secara amaliah maupun material.”
Meski memiliki konteks berbeda, saya suka sekali dengan istilah kondang filsuf Persia (Iran), Mulla Sadra, yakni al-harakah al-jauhariyah (translasi akademisnya: gerakan transformatif). Hijrah, dengan meminjam istilah keren Mulla Sadra tersebut, adalah mesti tiada lain kecuali al-harakah al-jauhariyahdemitaqarrub ilallah.
Di negeri kita, fenomena hijrah nampak mengalami kemajuan yang luar biasa. Istilah hijrah sedemikian populernya kita dengar lantaran dilantangkan oleh sejumlah selebritis yang melakukan gerakan hijrah ini. Syukur alhamdulillah. Tak ada kata lain yang bisa kita sambutkan kecuali kalimat tersebut.
Namun, dalam perjalanannya, kita acap dibikin mengerutkan kening menyaksikan gerakan-gerakan hijrah yang ramai dipanggungkan di pelbagai media itu bergeser dari esensinya yang al-harakah al-jauhariyahmenjadi tak lebih dari sekadar selebrasi dan glorifikasi. Perayaan, ya, perayaan yang terkesan kenes, pamer, haus pujian, dan (akutnya) teridentifikasi mengerucut pada labe-label artifisial-materialistis semata.
Ya baju hijrah, gaya hijrah, sosialita hijrah, selfie hijrah, dan seabrek atribusi selebrasi yang tiada signifikan sama sekali dalam arahtaqarrub ilallah. Ya, saya paham, memangtricky sekali untuk memberanikan diri menakar mutu iman dan rohani seseorang dari penampilannya. Namun, tentunya bukannya tak bisa ditarik indikasi-indikasi sama sekali dari bentuk lifestyle seseorang, kan?
Tatkala seorang seleb menyatakan hijrah di sosial media yang ia identifikasi dengan perubahan kostum (dari biasanya terbuka menjadi kini tertutup) sudah pasti itu merupakan satu ekspresi al-harakah al-jauhariyahyang patut dan semestinya secara lahiriah. Sebagai muslimah, sudah menjadi kewajiban untuk menutupi auratnya dengan baik.
Hanya saja, aktivitas fashion ini nampaknya terlampau kenes diglorifikasi melalui pelbagai postingan foto, caption, dan gaya-gaya akrobatik yang ditampilkan. Tubuh memang tertutup, namun caption-nya lekat sekali dengan aura kecongkakan atau sindiran-sindiran atau nyinyiran-nyinyiran yang merendahkan khalayak yang tak sepertinya yang tentu saja di sisi lain melambungkan diri sedemikian kudusnya.
Kita sungguh heran dengan pertanyaan: postingan gaya-gaya foto dan dandanan yang sedemikian eksplosif –untuk tidak menyatakan genit— itu apa korelasinya dengan esensi hijrah? Di kemanakankah hakikat hijrah yang seyogianya hanya membuahkan kerendahan hati itu, kok malah berubah haluan jadi glorifikasi gaya-gaya hedonis, konsumeris, dan kapitalistis yang sudah pasti riskan betul untuk sekufu dengan tabiat dasar hamba Allah, ya?
Sekali lagi, di mana korelasi dan relevansi hijrah dengan al-harakah al-jauhariyahyang taqarrub ilallah?
Lalu bagai persekutuan paling cerdik antara hukum penawaran dan permintaan khas pasar, aksi-aksi selebrasi hijrah yang menjadi trend itu disambut oleh vendor-vendor produsen segala macam barang dengan label-label hijrah pula.
Walhasil, muncullah opini publik yang mengenaskan kemudian: bahwa hijrah yang syar’i (dalam istilah saya al-harakah al-jauhariyahyang menuju taqarrub ilallah) menjadi sahih, bahkan ahsan dan afdal jika diatribusi degan gaya-gaya tersebut. Yang tidak begitu, sebutlah misal yang tidak menggunakan jubah, abaya, burqa, hingga jilbab, cadar, dan bahkan kaos kaki yang berdesain sedemikian rupa, dengan sendirinya terasumsikan kurang syar’i sehingga kurang bermutu hijrahnya.
Dapat saya pastikan dengan tegas di sini bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada satu pun ayat yang mengajarkan demikian. Ihwal berkostum bagi muslimah dalam al-Qur’an, misal, ‘hanyalah’ “tidak menampakkan perhiasan yang tak lazim nampak”. Soal desain baju, jilbab, dan sebagainya, sepenuhnya bebas. Di dalam hadits pun, tidak ada tutorial praktis perihal model kostum muslimah mesti begini atau begitu.
Lalu, atas dasar apa praktik hijrah hari ini dirumuskan, seolah hijrah lantas melakukan hal tersebut?
Saya kira, dengan berpegang teguh pada tujuan hijrah sebagai kesadaran rohaniah (iman, batin) untuk mendekatkan diri kepada Allah, tugas terbesar muhajirin adalah semata perkara aminu (memperdalam iman kepada Allah) dan ‘amilus shalihat (memperbanyak amal-amal kebaikan kepada sesama).
Jika ekspresi kedalaman iman pasca hijrah kita tarik satu tamsilnya kepada perkara menutup aurat yang memang diperintahkan oleh Allah dan RasulNya –artinya itu juga bagian dari cara mendekatkan diri kepada jalan Allah dan RasulNya—maka bentuknya adalah semata “tidak menampakkan perhiasan yang tak lazim nampak”. Itu memuat tekanan mendasar bukan hanya pada aksi menjaga aurat agar tak mengundang syahwat (dengan kostum apa saja sepanjang cukup memenuhi peran tersebut), tetapi sekaligus yang tak boleh diabaikan adalah gaya hidup (lifestyle). Saya gagal menemukan koherensi logis antara caption hijrah yang bernuansa religius di pelbagai akun Instagram dengan postingan foto-foto selfie yang rawan betul menguarkan aroma-aroma syahwati.
Sangat jelas bahwa esensi hijrah yang sungguh-sungguh hijrah, yang al-harakah al-jauhariyah dalam rangka taqarrub ilallah, sama sekali tak terkait dengan semua itu. Betul memang bahwa posting-posting foto bukanlah hal terlarang secara fiqh dengan syarat tidak potensial mengundang syahwat orang lain. Namun, mesti dicermati selalu, ketika Anda terlampau sibuk dengan ekspresi-ekspresi hijrah yang artifisial demikian, sungguh dikhawatirkan malah alpa pada tugas pokok menggembleng rohani dan menyuburkan amaliah-amaliah kesalehan itu sendiri yang niscaya semata memancar dalam bentuk ketaatan ‘ubudiyah dan kerendahan hati di hadapan sesama (keadaban mu’amalah).
Sayang sekali, kan, jika hijrah menjadi salah kaprah dengan hanya terhenti sebagai upacara ganti tampilan luar belaka.
Ironi praktik hijrah ini seolah memantapkan kedangkalan dan kesalahkaprahan tatkala mendorong muhajirinnya berjibaku dengan pamer dan nyinyir kepada publik yang majemuk. Dua sikap tercela ini jelas merupakan penyakit hati akibat gelegar hawa nafsu yang mestinya teredam oleh kegempalan bangunan rohani hijrah itu sendiri. Pelaku hijrah yang hakiki, dengan kata lain, mustahil membiarkan dirinya terus didera hawa nafsu sejenis itu.
Tak berlebihan kiranya ungkapan resah Gus Ulil Abshar-Abdalla beberapa waktu lalu kepada para pelaku hijrah yang selebratis ini: tidak usahlah bawa-bawa marwah hijrah jika hijrahmu hanya mengantarmu jadi manusia yang merasa paling benar dan suci.
Menohok, tapi ya begitulah adanya. Sebuah kritik yang mestinya berharga dijadikan bahan introspeksi gerakan-gerakan hijrah hari ini.