Dalam kurun dua bulan terakhir, dua masjid megah baru di Pulau Jawa diresmikan. Dua masjid itu adalah Masjid Raya Sheikh Zayed di Solo, Jawa Tengah, dan Masjid Raya Al-Jabbar di Bandung, Jawa Barat. Yang pertama diresmikan pada 14 November 2022 silam, sedangkan yang kedua baru saja diresmikan pada 30 Desember 2022.
Mendapati peresmian dua masjid megah tersebut, saya pribadi ditimpa perasaan campur aduk. Di satu sisi, saya turut bangga dengan berdirinya dua bangunan yang di masa mendatang mungkin tak hanya jadi ikon kota masing-masing, melainkan juga ikon Indonesia. Bahkan, saya pun tertarik untuk ‘berwisata’ ke sana. Namun, di sisi lain, ada perasaan tidak sreg di dalam hati saya.
Perasaan tidak sreg itu muncul lantaran kekhawatiran saya terhadap tren pembangunan masjid megah ketika di daerah tempat pembangunan masjid tersebut sebenarnya sudah banyak berdiri bangunan yang sama. Perasaan tersebut lantas memunculkan pertanyaan: Buat apa membangun masjid lagi ketika umat muslim tidak sedang kekurangan tempat ibadah?
Biaya Pembangunan Masjid Raya yang Fantastis
Dengan kemegahan bangunan yang luar biasa, pembangunan Masjid Raya Sheikh Zayed dan Masjid Raya Al-Jabbar tentunya menelan biaya yang tidak sedikit. Masjid Raya Al-Jabbar, misalnya, berdiri di atas lahan seluas 25 hektar, biaya pembangunan masjid ini ditaksir mencapai satu triliun rupiah. Pembangunannya telah dimulai sejak tahun 2017. Sempat tertunda lantaran hantaman pandemi Covid-19 pada tahun 2020 silam, pembangunan akhirnya berhasil dituntaskan pada tahun 2022.
Sementara itu, Masjid Raya Sheikh Zayed berdiri di atas lahan seluas tiga hektar. Biaya pembangunannya ditaksir mencapai 300 miliar rupiah. Namun, sumber dana pembangunan dua masjid di atas berbeda. Jika biaya pembangunan Masjid Raya Al-Jabbar menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), maka Masjid Raya Sheikh Zayed menggunakan dana pemberian pemerintah Uni Emirat Arab (UEA).
Penggunaan APBD untuk pembangunan Masjid Al-Jabbar sendiri menuai kritik. Misalnya, kritik datang dari seorang pengamat kebijakan publik asal Universitas Trisakti. Dilansir oleh Detik, pengamat tersebut menuturkan bahwa seyogyanya APBD digunakan untuk kepentingan masyarakat luas, seperti jalan umum dan transportasi umum. Kritik itu cukup masuk akal, mengingat kemanfaatan masjid kemungkinan besar hanya bisa dirasakan oleh umat muslim.
Pengamat tersebut melanjutkan, sebaiknya pembangunan masjid menggunakan dana umat. Adapun jika terpaksa menggunakan APBD, maka hanya sebagian dari total biaya pembangunan saja. Di sinilah letak masalah pembangunan Masjid Raya Al-Jabbar. Biaya pembangunan yang telah disebutkan (satu triliun rupiah) sepenuhnya berasal dari APBD. Inilah alasan pertama yang melatarbelakangi perasaan tidak sreg saya. Apalagi, tidak jarang saudara sebangsa kita yang beragama lain justru kesulitan mencari tempat ibadah karena jumlahnya yang minim.
Masjid Megah Bisa Apa?
Alasan kedua yang melatarbelakangi perasaan tidak sreg saya adalah adanya keraguan terhadap kontribusi yang bisa diberikan oleh Masjid Raya Sheikh Zayed dan Masjid Raya Al-Jabbar. Saya khawatir, pembangunannya nggak ada bedanya dengan kebanyakan masjid yang telah dibangun sebelumnya: Tak lebih dari sekedar tempat ibadah. Itupun kalau banyak yang datang untuk sholat berjamaah, kalau tidak? Naudzubillahi min dzalik.
Namun, alasan kedua ini agaknya masih bisa ditepis oleh gagasan dan inovasi yang dicanangkan oleh dua masjid tersebut. Paling tidak dari keterangan yang diberikan oleh pejabat dan ketersediaan fasilitas bagus yang ada di dalamnya.
Misalnya, Masjid Raya Sheikh Zayed. Dilansir website Kemenag, Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, Kamaruddin Amin mengatakan, masjid itu diharapkan bisa menjadi contoh masjid yang dikelola secara profesional. Nampaknya harapan itu sedang diupayakan oleh Kemenag. Bahkan, Kamaruddin dengan percaya diri masjid itu bisa menjadi pionir dalam penguatan moderasi beragama, yakni dengan menjadikannya tidak hanya sebagai tempat ibadah, melainkan juga pusat pendidikan keagamaan yang moderat.
Nampaknya, itu bukan isapan jempol belaka. Itu dapat dilihat dari fasilitas yang terdapat di Masjid Raya Sheikh Zayed. Rencananya, di sekitar bangunan utama masjid akan dibangun Islamic Center. Tempat itu kelak diharapkan menjadi pusat pendidikan dan pengajaran. Kajian Tafsir Al-Qur`an, Taman Pendidikan Al-Qur`an, hingga madrasah akan memainkan peran tersebut. Di masjid ini juga telah tersedia fasilitas perpustakaan seluas 20 meter persegi.
Harapan untuk menjadikan Masjid Raya Sheikh Zayed menjadi pionir dalam penguatan moderasi beragama juga dapat dilihat dari seleksi imam masjid. Selain harus hafal Al-Qur`an 30 Juz, kriteria lain yang harus dipenuhi calon imam di sana adalah memiliki wawasan keagamaan yang Rahmatan lil ‘Alamin.
Masjid Raya Al-Jabbar tak kalah menjanjikan. Kemegahan arsitekturnya mampu diimbangi dengan fasilitas yang cukup inovatif. Sudut-sudut bangunan juga dimanfaatkan sebagai sarana edukasi yang memadukan kultur Jawa Barat dan nilai-nilai Islam. Misalnya, terdapat 27 pintu dihias dengan ornamen tertentu yang masing-masing merepresentasikan kabupaten/kota di Jawa Barat. Di lantai dasar, terdapat pusat edukasi yang berbasis teknologi, seperti museum digital Rasulullah. Selain itu, pusat edukasi itu juga memiliki perpustakaan dengan jumlah koleksi yang lumayan.
Masjid Raya Al-Jabbar juga didesain ramah difabel, di sana tersedia jalur, toilet, lift hingga tempat wudhu yang disediakan khusus untuk para penyandang difabel. Meski bukan hal baru, penyediaan fasilitas khusus semacam itu tetap patut diapresiasi. Karena, belum tentu masjid lainnya memerhatikan hal serupa.
Jangan Sampai Salah Alamat
Daya tarik dua masjid megah dengan fasilitas mewah yang sedang kita bahas ini memiliki potensi yang besar untuk bermanfaat bagi umat muslim. Manfaat itu bisa dari segi pendidikan, sosial keagamaan, hingga ekonomi. Dari segi pendidikan, misalnya seperti fasilitas masjid yang berupa pusat edukasi hingga Islamic Center. Selain perlu dijaga, kalau bisa fasilitas semacam itu dikembangkan dengan melibatkan para cendekiawan.
Dari segi sosial keagamaan, baik Masjid Raya Sheikh Zayed maupun Masjid Raya Al-Jabbar, keduanya memiliki kapasitas jamaah yang cukup besar. Yang pertama dapat menampung hingga 10 ribu jamaah, dan yang kedua hingga 30 ribu lebih jamaah. Dengan kapasitas sebanyak itu, kedua masjid bisa memainkan peran penting dalam kehidupan sosial keagamaan masyarakat maupun jamaah dari luar daerah yang datang.
Dari segi ekonomi, banyaknya jamaah maupun ‘wisatawan’ yang berkunjung bisa menjadi keuntungan tersendiri bagi masyarakat sekitar. Masjid Raya Sheikh Zayed, misalnya, berencana akan memasrahkan pengelolaan parkir kepada masyarakat sekitar. Area hiburan di sekitar Masjid Raya Al-Jabbar juga tidak menutup kemungkinan menjadi sumber penghasilan bagi para pedagang asongan (mohon dikoreksi jika ternyata ada larangan berjualan).
Yang jelas, semua itu perlu dikawal bersama, agar manfaat yang bisa diberikan oleh masjid tepat sasaran dan tidak salah alamat. Misalnya, pusat edukasi dan Islamic Center haruslah digawangi oleh para ulama dan cendekiawan yang berwawasan luas dan toleran. Jangan sampai, dua masjid megah ini malah menjadi ‘sarang’ bagi kelompok-kelompok yang ngono kae.
Pada intinya, semoga Masjid Raya Sheikh Zayed dan Masjid Raya Al-Jabbar bisa menjadi pusat penyebaran Islam yang ramah, tempat menjalin silaturrahmi antar umat muslim, dan berbagai aktivitas yang bermanfaat lainnya. Jangan sampai hanya menjadi spot foto yang instagramable. Yang perlu diingat, dan ini yang paling penting, meski berkapasitas hingga puluhan ribu orang seperti halnya stadion, jangan sampai dua masjid itu difungsikan seperti stadion, yakni untuk *Sebagian teks menghilang*. [NH]