Di dunia modern sekarang agama beberapa kali dipahami di luar substansinya. Persepsi keagamaan yang keliru membuat sebagian kalangan pesimis terhadap agama sebagai pembebas. Sehingga tidak heran jika ada yang beranggapan bahwa agama seakan menjadi sumber masalah, agama dianggap kemudian menimbulkan konflik.
Sejatinya agama merupakan jalan yang mengarahkan manusia pada jalan kebenaran, yang tentunya hanya Tuhan yang mengetahui kebenarannya. Namun banyak pula orang yang berpikir sebaliknya, bahwa manusia hidup untuk menegakkan agama. Sehingga bukan hal yang mengherankan jika seruan pemurnian agama sering mencuat diranah publik.
Di level yang lebih ekstrim, ada kelompok tertentu yang ingin mengganti dasar negara, mengganti sistem kenegaraan dengan sistem khilafah. Meski begitu, retorika negara Islam tentu saja tetap hegemonik di negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Seakan-akan mereka tidak mengingkinkan adanya perbedaan, sehingga hanya menginginkan penerimaan tunggal terhadap satu agama saja.
Bukankah sebenarnya perbedaan yang ada adalah rahmat, bahkan Tuhan sendiri yang menciptakan? Sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang artinya, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat diatas seharusnya ditelaah dengan perenungan mendalam, jika tidak, maka agama akan dipandang menakutkan. Mengapa? Sebab agama terkesan arogan dan memaksakan. Kesan agama yang ramah sesuai misi dakwah Nabi Muhammad SAW pada waktu itu seakan kehilangan esensi.
Jika dibiarkan terus-menerus maka eksistensi Islam Nusantara yaitu Islam yang menghargai tradisi kebudayaan, kearifan lokal masyarakat akan terganggu, terlebih jika tercerabut dari akar filosofis dan praksis.
Secara historis Islam masuk di Nusantara dengan cara membaur dengan kearifan masyarakat setempat, namun tetap disesuaikan dengan prinsip ajaran agama Islam sehingga substansinya tidak hilang. Melainkan budaya dan kearifan yang ada dijadikan media dakwah, seperti yang dilakukan Wali Songo ketika mendakwahkan Islam.
Tentu Wali Songo paham betul bahwa sejarah agama-agama yang masuk di Nusantara tidak akan berhasil jika mencoba menghilangkan budaya masyarakatnya, justru kebudayaan masyarakat didekati, dimodifikasi sesuai ajaran agama. Sehingga Islamisasi budaya sering terjadi di Indonesia.
Pahami Kearifan Lokal
Kebudayaan Nusantara sendiri, sejak awal selalu dipengaruhi oleh keberadaan agama-agama masyarakatnya. Corak kebudayaan berupa kesenian misalnya seperti wayang dan gamelan, sarat dengan kisah dan pesan keagamaan. Sehingga jika masyarakat dipaksa meninggalkan kebudayaannya karena tidak sesuai dengan ajaran agama tertentu, maka yang terjadi adalah agama akan ditolak oleh masyarakat.
Metode dakwah yang tepat telah dilakukan dan dicontohkan oleh Wali Songo, yang kemudian melahirkan sintesa terbaik dari Islam dan Kebudayaan. Islamisasi budaya ini memberikan warna tersendiri serta menjadi corak yang khas, sebab nilai-nilai kearifan budaya yang ada tetap diterima selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Sehingga kearifan lokal perlu dijaga dan diwariskan, sebab kebudayaan tersebut selain melekat pada jati diri bangsa juga merupakan alat pemersatu. Adalah hanya bangsa Indonesia dalam kehidupan masyarakatnya yang guyub rukun, meski kenyataannya berbeda suku, ras, bahkan agama.
Sebagai contoh, di daerah Poso, Sulawesi Tengah, dengan realitas masyarakatnya yang beragam dapat dipersatukan dengan tarian khas daerah tersebut, orang biasa menyebutnya dengan Tarian Dero. Tarian ini sangat sederhana. Peserta hanya perlu melingkari lapangan dengan bergandengan tangan kemudian menghentakkan kaki dua kali kekiri dan dua kali kekanan.
Meski sederhana, namun semua masyarakat bisa berkumpul tanpa memandangan gender, etnis, suku, agama, maupun kelas sosial yang ada. Tidak hanya di Poso semua daerah di Nusantara pun memiliki kekhasan kebudayaan, memiliki kearifan yang sarat dengan pesan perdamaian. Bukankah Islam juga hadir membawa misi perdamaian?
Menguatkan Pancasila
Demi menjaga harmonisasi kebangsaan, dan untuk membendung massifnya gerakan radikal di Indonesia, penguatan pemahaman terhadap Pancasila menjadi langkah awal yang perlu dilakukan.
Pancasila tidak cukup dihapal disekolah-sekolah, tidak cukup hanya mengerti 5 sila yang terkandung di dalamnya, melainkan lebih jauh, mampu mengaktualisasikan secara kongkrit dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku keseharian perlu disandarkan kesesuaiannya dengan pemahaman Pancasila.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran agama manapun. Bahkan sebaliknya justru pancasila merupakan hasil dari perenungan terhadap ajaran agama. Seperti dalam pidato Soekarno 1 Juni 1945, mengatakan:
“Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi, marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!”
Dengan begitu, jelas bahwa keinginan Soekarno agar Pancasila dijadikan alat untuk menjaga harmonisasi antar umat beragama dengan saling menjamin kebebasan memeluk agama yang diyakini tanpa intimidasi dan dipaksakan. Jika dijalankan dengan baik bukan tidak mungkin kedamaian yang terjalin lama di Indonesia dapat bertahan meski rintangan datang dari segala penjuru.
Menjadi jelas pula, bahwa tidak ada alasan bagi ideologi maupun gerakan radikalis untuk mengganti ideologi Pancasila, sebab Pancasila sendiri merupakan Ideologi yang lahir atas perenungan mendalam atas nilai-nilai agama Islam dan nilai luhur para leluluhur bangsa. Karena itu pula, nilai-nilai keagamaan dan ketuhanan diletakkan pada Sila pertama sebagai bukti konkrit bahwa rakyat Indonesia mengakui ke-Esaan Tuhan.
Maka atas nama apapun Pancasila harus kita jaga, tinggal bagaimana kita mengaktualisasikan nilai yang terkandung di dalamnya agar tercipta kemanusiaan yang yang menjunjung tinggi keadilan yang beradab. Menciptakan iklim permusyawarakatan/mufakat demi terjaganya persatuan. Dan bersama-sama mengupayakan keadilan baik ekonomi, sosial-politik, dan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.
Wallahu A’lam.