Satu dari sekian tradisi agama yang dibawa Muhammad adalah adanya ikatan (akad) perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan agama. Ikatan atau akad tersebut umumnya dikenal dengan istilah pernikahan. Sebagai bagian dari agama, pernikahan konon akan dapat mendatangkan rejeki dan pahala. Nabi sendiri konon menganjurkan sebelum menjalani pernikahan tersebut dengan beberapa pertimbangan seperti asal (keturunan) dan agama yang dianutnya.
Pada saat yang sama, teks-teks Al-Qur’an juga banyak menyebutkan tentang apa yang menjadi tujuan dari pernikahan. Misalnya yang banyak dikutip dalam undangan-undangan pernikahan, seperti Q.S. Al-Rum ayat 21. Dalam menafsirakn ayat tersebut, Ibn Katsir berpendapat bahwa Tuhan menciptakan perempuan dari jenis yang sama dengan laki-laki sebagai pasangan agar tercipta keserasian, rasa kasih sayang, cinta, dan senang.
Baik apa yang telah disinggung Al-Qur’an dan Nabi tentang tujuan dan pertimbangan dari sebuah pernikahan, kedua-keduanya tentulah benar. Karena dari kedua sumber tersebut, agama ini bisa tegak berdiri dan menjadi sumber inspirasi untuk perbaikan tatanan kehidupan sosial maupun spiritual dalam sejarah manusia.
Namun demikian, bagaimana dengan persoalan-persoalan yang terjadi seiring dengan sifat-sifat manusia yang terkadang justru mencederai fitrah dari pernikahan itu sendiri, meski tentu adalah sebuah kemustahilan untuk menjadi manusia yang sempurna tanpa kesalahan.
Al-Qur’an sendiri menggambarkan manusia setidaknya dengan dua hal, yakni dengan apa yang disebut ‘Aql’ dan ‘Qalb’. Kata Aql dengan segala derivasinya dapat dijumpai dalam Al-Qur’an setidaknya sebanyak 49 kali. Sedangkan kata Qalb dengan segala derivasinya setidaknya dapat dijumpai dalam Alquran sebanyak 122 kali yang tersebar dalam 45 surat, mencakup Makiyah dan Madaniyah.
Secara bahasa kata Aql mempunyai beberapa makna seperti Al-Hijr atau Al-Nuha yang berarti kecerdasan dan habasa, sebagai makna dari kata kerja Aqala yang berarti mengikat atau menawan. Dalam bahasa Arab kata Aql terdiri dari huruf ain, qaf, dan lam. Menurut Ibnu Zakariya (w. 395 H) kata yang memiliki akar kata yang terdiri dari huruf ain, qaf, dan lam, menunjuk kepada arti kemampuan mengendalikan sesuatu, baik berupa perkataan, pikiran, maupun perbuatan.
Aql sebagai dimensi insaniyah jiwa manusia, sebagaimana dikatakan Baharuddin dalam disertasinya, sedikitnya mencakup dua makna. Pertama, bahwa akal adalah instrumen jiwa yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Kedua, bahwa akal mampu menemukan, mengembangkan, mengkonstruksi hukum alam menjadi teori-teori ilmu pengetahuan.
Kematangan dimensi Aql dalam diri manusia dengan begitu dapat menampung segala yang kasat oleh mata dengan kadarnya yang juga sebagai manusia. Selain itu, dengan kemampuan Aql yang mampu memahami hukum alam dengan sendirinya juga berarti bahwa ia dapat menjadi alat untuk mengatasi segala masalah-masalah yang ada melalui sisi rasionalitasanya.
Berbeda dengan Aql yang lebih menekankan kepada sisi rasional empiris atau realitas kongkrit, Qalb sebagaimana dikatakan Al-Ghazali sedikitnya memiliki dua pengertian. Pengertian pertama adalah segumpal daging yang berbentuk bulat panjang, terletak di dada sebelah kiri yang di dalamnya terdapat rongga-rongga dan disebut jantung. Sedangkan pengertian kedua adalah hakikat manusia yang dapat menangkap pengertian, pengetahuan, dan ‘arif.
Ibnu Manzur dalam Lisan Al-Arab menyebut bahwa Qalb adalah segumpal daging yang menggantung kepada sesuatu. Kata Qalb sendiri berasal dari kata qalaba atau kalbu yang berarti berubah atau berpindah. Ar-Raghib menyebut bahwa Qalb itu berarti hati atau jantung.
Dimensi Qalb pada manusia merupakan dimensi yang dapat menangkap pemahaman realitas spiritual dan emosional. Ia mampu memahami sesuatu yang tak kasat mata dan merasakan rasa, baik senang, gembira, cinta, dan sebagainya. Dengan Qalb itu manusia juga dapat merasakan kedekatan yang lebih bersama penciptanya.
Selain itu, dengan dimensi Qalb ini, sisi rasionalitas Aql yang berlebih, yang terkadang menimbulkan permasalahan, juga kemudian dapat dikendalikan. Karena Qalb tidak saja menimbang apa-apa yang kasat mata dari sisi rasional, melainkan juga yang tak kasat mata yang tidak bisa dipungkiri juga menjadi bagian dari manusia.
Dua dimensi manusia itupun semakin matang dengan apa yang disebut Al-Qur’an dengan Ruh yang berasal dari Tuhan. Konon, oleh sebab itulah manusia kemudian ditugaskan sebagai khalifah Allah di bumi karena dalam diri manusia itu sendiri terdapat unsur ketuhanan yang tidak lain adalah pencipta dan pemelihara alam semesta ini. Atau dengan kata lain karena salah satu yang menjadi bagian dari sifat manusia adalah cerminan sifat penciptanya.
Ibnu Zakariya, sebagaimana dikutip Baharuddin, mengatakan bahwa kata Al-Ruh dan semua kata yang memiliki kata aslinya terdiri dari huruf ra, waw, dan ha, memiliki arti dasar besar, luas, dan asli. Dimensi Al-Ruh inilah yang kemudian menjadikan manusia sebagai makhluk yang semakin istimewa istimewa.
Baik Aql dan Qalb sebagai pertimbangan sebelum melaksanakan pernikahan setidaknya ibarat sebuah wadah yang mampu menampung seluruh apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh manusia pada umumnya. Oleh sebab itulah, pada saat yang sama, kematangan tersebut juga dapat menjadi wadah atas segala yang dipikiran dan dirasakan oleh setiap pasangan nantinya. Dengan tidak saja berdasar pada sisi rasionalitas, akan tetapi juga spiritualitas. Dengan harapan bahwa semua juga akan mendapat cahaya kasih dan sayang sebagai cermin dari ruh yang diberikan oleh-Nya.