Kota Salatiga adalah sebuah kanvas hidup yang diwarnai oleh lukisan beragam kelompok etnis, suku, dan agama. Di setiap sudutnya, terasa denyut kehidupan yang dipenuhi oleh keberagaman. Di tengah perbedaan-perbedaan itu, terlebih di tengah arus modernitas yang terkadang memisahkan, masyarakat Salatiga tetap hidup berdampingan dan saling menghargai.
Lebih dari itu, Salatiga juga adalah tempat bermacam pemeluk agama memanjatkan doa. Itu semua ditegaskan dengan keindahan arsitektur spiritual yang menghiasi Kota Salatiga. Masjid, Gereja, Vihara, dan Pura berdiri saling berdampingan, membentuk gambaran konkret tentang toleransi dan keberagaman. Maka tak heran, jika kota ini mendapatkan penghargaan sebagai salah satu kota toleran di Indonensia. Sebuah penghargaan yang diberikan oleh Setara Institut untuk Kota yang berhasil mengelola kerukunan, toleransi, wawasan kebangsaan dan inklusi sosial.
Bukan hanya rumah ibadah, salah satu pilar utama Salatiga sebagai kota toleran adalah perguruan tinggi. Bukan kebetulan jika dua perguruan tinggi dari dua agama besar berdiri di Salatiga. Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) dan Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga, tidak hanya menjadi tempat penyelenggaraan pendidikan tinggi, tetapi juga menjadi motor penggerak semangat toleransi di kota ini. Melalui kegiatan akademis, seminar, dan forum diskusi, dua perguruan tinggi di Salatiga banyak menciptakan ruang untuk dialog antaragama. Ini tidak hanya memperdalam pemahaman mahasiswa tentang keragaman agama, tetapi juga mengajarkan mereka nilai-nilai saling menghormati dan memahami, serta merangsang kesadaran sosial dan tanggung jawab terhadap pembangunan kota yang inklusif.
UIN dan UKSW, Dapur Narasi Damai Kota Salatiga
Kota Salatiga telah identik dengan label sebagai kota toleran. Akan tetapi, label hanya menjadi label saja jika tidak dibarengi dengan kerja-kerja konkret untuk terus menjaga toleransi di dalamnya. Selain itu, perlu ada upaya mengantisipasi tantangan-tantangan yang terus ada. Hidup yang makin individualistik, pergolakan politik, dan riuhnya sosial media dalam menebar pemberitaan, ibarat bom waktu yang bisa meledakkan ketegangan di tengah masyarakat. Kesadaran atas potensi itu, mendorong semua pihak untuk terus bekerja sama dalam rangka menjaga kerukunan dan keharmonisan di Kota Salatiga.
Kerjasama tersebut dilakukan oleh dua kampus besar yang ada di Kota Salatiga, yaitu UIN Salatiga dan UKSW Salatiga. Kedua kampus tersebut, kendati berasal dari latar belakang keagamaan yang berbeda, telah berhasil menjalin kerjasama yang erat, baik dalam hal edukasi, inovasi, ataupun dalam konteks moderasi beragama. Hal ini penting sebab perguruan tinggi merupakan tempat yang menjadi wadah bagi bagi pengembangan sumber daya manusia dalam hal pemikiran, tindakan, kepribadian, dan pencapaian karya yang berguna bagi masyarakat.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kehadiran dua kampus tersebut (UIN dan UKSW) tidak hanya menciptakan lanskap pendidikan yang beragam tetapi juga sebuah cermin kebersamaan dalam mengkampanyekan narasi damai di Kota Salatiga. Salah satu bentuk kerja sama konkret dari dua lembaga tersebut adalah dengan saling berkirim duta terbaiknya untuk mengajar perkuliahan studi agama. Dosen UIN mengajar tentang keislaman di UKSW, begitu pula sebaliknya. Dosen UKSW yang menggelar kajian ilmiah di UIN.
Salah satu dosen UIN yang mengajar keislaman di UKSW adalah Dr. M. Chairul Huda, M.H., yang akrab disapa Kang Huda. Dosen bidang Hukum Islam yang masih menjabat sebagai Sekretaris Jurusan Syariah di Fakultas Syariah UIN Salatiga. Selain itu, dia juga berperan sebagai instruktur Moderasi Beragama Kemenag RI.
Pdt. Izak Lattu Ph.D, selaku Dekan Fakultas Teologi UKSW mengapresiasi kehadiran dosen UIN mengajar Studi Islam di UKSW.
Dia mengungkapkan, kehadiran dosen UIN di UKSW membawa keuntungan ganda. Selain memberikan wawasan langsung tentang Islam dari sumbernya, ini juga menjadi langkah strategis untuk memperkuat kolaborasi antara dua kampus.
“Belajar tentang Islam langsung dari orang Islam adalah pengalaman yang tak ternilai bagi mahasiswa kami. Ini juga membawa peluang untuk menjalin hubungan yang lebih erat antara UKSW dan UIN Salatiga,” ungkapnya sebagaimana dilansir oleh rilis resmi UIN Salatiga terkait kerjasama ini.
Dikonfirmasi oleh Prof. Ilyya Muhsin, M.Si. selaku Dekan Fakultas Syariah UIN Salatiga, dia juga menyampaikan hal serupa.
Kolaborasi ini, katanya, bukan sekadar kerjasama biasa. Baginya, ini adalah peluang emas yang harus terus dijaga dan diperkuat untuk mengukuhkan kedamaian dan harmoni di tengah-tengah keberagaman Kota Salatiga.
“Dengan adanya kerja sama ini, maka mahasiswa dapat belajar tentang Islam dari sumber yang otoritatif dan memiliki kompetensi di bidangnya. Ini juga sebagai ruang produksi narasi damai di Kota Salatiga,” katanya kepada kami.
Pertanyaan Syahadat sampai NU-Muhammadiyah
Mengajar di kelas berisi mahasiswa mayoritas Kristen dan berasal dari berbagai daerah di Indonesia, punya ceritanya sendiri. Setiap kali Kang Huda berdiri di depan kelas, dia dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang unik. Ini tidak hanya mencerminkan antusiasme mahasiswa Kristen terhadap Islam, tetapi juga menandakan keinginan mereka untuk memahami nilai dan dasar-dasar hukum agama Islam. Di tengah kelas itu, Kang Huda menjelajahi perbincangan yang mendalam tentang Islam, membuka pintu dialog antaragama di ruang akademik.
Kang Huda mengingat salah satu momen ketika seorang mahasiswa dengan polos bertanya, “Pak, saya bukan seorang Muslim. Misalnya, saya bersyahadat hari ini, tapi besok saya pergi ke gereja. Bagaimana status agama saya?”
Mendengar pertanyaan itu, Kang Huda tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia memilih untuk diam sejenak, memeriksa pertanyaan itu dengan cermat. Apakah ini hanya candaan atau pertanyaan sederhana yang menyimpan konteks yang lebih dalam? Melalui kesunyian yang bermakna, dia menunjukkan bahwa pertanyaan ini mengandung dimensi psikologis yang perlu dijelajahi. Pertanyaan ini tidak hanya mencerminkan keingintahuan, tapi juga terkait dengan identitas agama personal dan realitas yang dihadapi di keseharian.
Setelah refleksi mendalam, Kang Huda menemukan substansi dari pertanyaan itu. Baginya, pertanyaan tersebut mencerminkan kekhawatiran terhadap potensi pemaksaan untuk masuk ke dalam agama Islam. Dengan penuh kebijaksanaan, dia membuka pintu ke dalam pemahaman Islam tentang kesaksian, pengakuan tulus, dan pentingnya kesungguhan dalam mengucapkan kalimat syahadat.
“Aqidah adalah masalah kerelaan hati setelah mendapat keterangan dan penjelasan, bukan pemaksaan dan tekanan,” jawabnya.
Memang begitu adanya. Islam datang kepada manusia melalui kemampuan akalnya yang berbicara, intuisi yang berpikir, dan perasaan yang sensitif, serta berbicara kepada fitrah yang tenang. Dengan kata lain, Islam menekankan kepada bukti dan penjelasan yang terang benderang sehingga jelas sudah mana jalan yang benar dan mana yang salah. Karena sudah sedemikian jelas, maka manusia tidak perlu lagi dipaksa, ditekan, diancam ataupun diteror untuk memeluk agama Islam.
Kepercayaan diri bahwa Islam membawa kepada jalan yang lurus ini seharusnya menjadi pegangan semua orang. Cukup kita menjelaskan keindahan Islam secara jujur, dengan tidak perlu menjelekkan agama orang lain, mengolok sesembahan mereka ataupun menunjukkan kekeliruan kitab suci mereka. Sebab, menjelekkan agama orang lain itu adalah perilaku orang yang tak cukup percaya diri dengan kebenaran agamanya. Bagi Kang Huda, Dialog ini bukan hanya tentang menjawab pertanyaan, tetapi juga membuka jendela pemahaman yang lebih luas tentang pluralitas keyakinan.
Pertanyaan lain yang cukup sering muncul di kelas adalah mengenai perbedaan antara Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Pertanyaan ini cukup menggambarkan rasa ingin tahu mahasiswa kampus Kristen dalam keragaman dan dinamika di dalam Islam di Indonesia.
Pertanyaan ini adalah jalan pembuka untuk tabayyun atau klarifikasi terhadap informasi yang mereka dapatkan, baik dari dari media atau sumber lain yang bersifat parsial. Sebab, banyak sekali narasi yang membenturkan antara NU dan Muhammadiyah sebagai dua entitas yang berbenturan. Padahal, jika dilihat lebih dalam, perbedaan kedua organisasi ini semata pada aspek furu’ al-din (hal partikural dalam Islam). Sementara yang menyangkut ushul al-din (hal pokok dalam Islam) tidak ada perbedaan di antara keduanya. Terlebih, jika dilihat dari ajaranya, kedua organisasi ini memiliki ajaran yang sama, yaitu tentang Islam yang moderat, damai, ramah dan santun.
Bagi Kang Huda, hal ini penting untuk jelaskan. Terlebih di tengah penetrasi ideologi transnasional dan polarisasi berbasis ideologi keagamaan yang berpotensi terjadinya segregasi sosial di tengah masyarakat Kota Salatiga yang damai. Maka dari itu, penting untuk menyampaikan bahwa Islam bukanlah agama teroris, kekerasan, atau stigma negatif lainya terhadap Islam.
“Harus dipahami bahwa tujuan agama yang paling hakiki adalah memanusiakan manusia,” ujarnya.
Artinya, dengan beragama seharusnya manusia mampu meningkatkan kualitas spiritualnya, yang tercermin dasri perilaku sehari-hari, baik dalam relasi dengan Tuhan ataupun relasi dengan sesame manusia.
Pada sisi yang lain, pertanyaan ini juga menyadarkan bahwa ternyata tidak semua orang tahu tentang NU dan Muhammadiyah, meskipun NU dan Muhammadiyah adalah dua organisasi terbesar di Indonesia. Hal ini mirip dengan konteks bahwa tidak semua orang tau perbedaan antara Katolik dan Kristen, atau Pastur dan Pendeta. Oleh sebab itu, selalu diperlukan ruang yang dapat mempertemukan entitas-entitas berbeda, agar warga dapat saling bertukar infromasi dan memberi pemahaman, sehingga tidak terjebak dalam informasi yang salah, keliru, dan menyesatkan.
Walhasil, bagi Chairul Huda yang notabene dosen UIN, mengajar studi Islam di UKSW bukanlah sebuah halangan. Sebagai dosen UIN, sekaligus instruktur Moderasi Beragama, baginya ini adalah bagian dari jihad kemanusiaan untuk merawat nilai-nilai perdamaian, persaudaraan, dan menebar maslahat kepada sesama manusia.
Selain itu, mengajar di kampus Kristen dia maknai sebagai suatu cara untuk kembali mengingat kebesaran Allah melalui ayat kauniyah-Nya. Terakhir, mengajar di UKSW bagi Kang Huda membawanya pada satu kesadaran bahwa fitrah ilmu pengetahuan adalah untuk mempersatukan segala perbedaan, sekaligus menjebol prasangka berbungkus agama, suku, ras, etnis, dan budaya.