Setelah sembuh dari sakitnya, Hasan bin Ali bin Abi Thalib menulis surat kepada Mu’awiyah yang isinya mengajak Mu’awiyah untuk berdamai. Mu’awiyah merespon baik ajakan damai itu, kemudian ia mengutus Abdullah bin Amir dan Abdurrahman bin Samurah untuk menemui Hasan di kediamannya di Kufah.
Setelah bertemu dengan kedua utusan Mu’awiyah, Hasan mengajukan beberapa persyaratan di antaranya agar ia diperbolehkan mengambil bagian sebesar lima juta dirham dari Baitul Mal Kufah dan pajak wilayah Darabjard diserahkan kepada beliau. Hasan juga meminta tidak boleh seseorang mencela Ali bin Abi Thalib. Jika persyaratan tersebut dipenuhi, maka Hasan akan menyerahkan kepemimpinannya kepada Mu’awiyah demi menyelamatkan darah kaum muslimin. Peristiwa itu terjadi pada bulan Jumadil Awwal 41 H, yang ketika itu Mu’awiyah berumur 66 tahun.
Hasan lalu pergi meninggalkan Kufah menuju Madinah dan menetap di sana bersama teman-teman seperjuangannya dan keturunan Hasyim. Hubungan Mu’awiyah dan Hasan setelah perdamaian itu bisa dibilang baik. Suatu hari, Hasan berkunjung ke kediaman Mu’awiyah. Sebagai oleh-oleh, Mu’awiyah memberinya hadiah uang sebanyak 400.000 dirham (sekitar 60 miliar), seraya berkata, “Aku berikan hadiah yang belum pernah aku memberikannya kepada seseorang sebelum Anda, dan aku tidak akan memberikannya kepada orang lain setelah Anda”.
Bahkan menurut satu riwayat, setiap tahun, Mu’awiyah memberikan tunjangan sebesar 100.000 dirham (sekitar 15 miliar). Pada satu tahun tertentu, Mu’awiyah tidak mengirimkan tunjangan kepada Hasan, sehingga beliau meminta untuk diambilkan tempat tinta untuk menulis surat kepada Mu’awiyah. Sebelum menulis surat, tiba-tiba Hasan mengantuk lalu tertidur. Dalam tidurnya, beliau bermimpi didatangi Rasulullah, kakeknya. Rasulullah bertanya, “Hasan, apa engkau akan mengirim surat kepada manusia untuk meminta agar ia memenuhi hajatmu, dan engkau enggan meminta kepada Tuhanmu?.” Hasan bertanya, “Rasulullah, apa yang sebaiknya saya lakukan, sementara hutangku banyak?”. Rasulullah lalu memberinya do’a:
اللهُمَّ إِنّي أَسْأَلُكَ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ ضَعُفَتْ عَنْهُ قُوَّتِي وَحِيْلَتِي وَلَمْ تَنْتَهِ إِلَيْهِ رَغْبَتِي وَ لَمْ يَخْطُرْ بِبَالِي وَلَمْ يَبْلُغْهُ أَمَلِى وَلَمْ يَجْرِ عَلَى لِسَانِي مِنَ الْيَقِيْنِ الَّذِى أَعْطَيْتَهُ أَحَدًا مِنَ الْمَخْلُوْقِيْنَ الأَوَّلِيْنَ وَالْمُهَاجِرِيْنَ وَالْأخِرِيْنَ إِلاَّ خَصَّصْتَنِى يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
“Ya Allah, aku memohon pada-Mu dari setiap sesuatu yang membuat daya dan kekuatanku menjadi lemah, sesuatu yang tidak mampu aku lakukan, sesuatu yang tidak terfikir di benakku. Keinginan yang tidak mampu aku sampaikan, dan belum pernah terlontar dari lidahku keyakinan yang Engkau berikan kepada makhluk-makhluk terdahulu, orang-orang yang hijrah, dan orang-orang belakangan, kecuali Engkau telah mengkhususkan itu padaku wahai Yang Maha Pengasih dan Penyayang.”
Bangun tidur, Hasan benar-benar menghafal do’a itu, lalu beliau membacanya terus menerus. Namun, tetap saja Mu’awiyyah tidak datang. Berjalan satu tahun, Hasan bermimpi kembali bertemu kakeknya. Di dalam mimpinya, beliau diajari doa’ yang berbunti:
اللَّهُمَّ اقْذِفْ فِي قَلْبِي رَجَاكَ ، وَاقْطَعْ رَجَائِي عَنْ مَنْ سِوَاكَ حَتَّى لا أَرْجُو أَحَدًا غَيْرَكَ ، اللَّهُمَّ وَمَا ضَعَفَتْ عَنْهُ قُوَّتِي ، وَقَصَرَ عَنْهُ عَمَلِي ، وَلَمْ تَنْتَهِ إِلَيْهِ رَغْبَتِي ، وَلَمْ تَبْلُغْهُ مَسْأَلَتِي ، وَلَمْ يَجْرِ عَلَى لِسَانِي مِمَّا أَعْطَيْتَ أَحَدًا مِنَ الأَوَّلِينَ وَالآخِرِينَ مِنَ الْيَقِينِ ، فَخُصِّنِي بِهِ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ
“Ya Allah, tanamkan di dalam hatiku harapan-Mu, putuskan harapanku kepada selain-Mu sehingga aku tidak pernah lagi berharap kepada selain-Mu. Ya Allah, tanamkan di dalam hatiku sesuatu yang membuat kekuatanku menjadi lemah, sesuatu yang membuat usahaku sia-sia, keinginan yang tidak tersampaikan padanya, persoalan yang tidak mampu aku menanggungnya, dan tidak pernah terlontar dari lidahku keyakinan yang Engkau berikan kepada orang-orang terdahulu dan belakangan. Berikanlah itu kepadaku, wahai Tuhan semesta alam.”
Belum genap satu minggu Hasan membaca do’a itu, Mu’awiyah mengirim uang kepadanya sebanyak 1.500.000 dirham. Al-Hasan kemudian berdoa’, “Segala puji bagi Allah yang tidak akan melupakan orang yang mengingat-Nya dan tidak mengecewakan orang yang meminta-Nya.” Setelah itu, Hasan mimpi bertemu lagi dengan Nabi. Kata Nabi kepada Hasan, “Hai Hasan, bagaimana keadaanmu?”. Hasan menjawab, “Baik, ya Rasulallah”. Hasan lalu menceritakan kejadian yang ia alami. Nabi kemudian bersabda, “Wahai cucuku, demikianlah (balasan) orang yang menggantungkan harapannya kepada sang pencipta dan tidak pernah mengharapkan mahkluk.”