Djohan Effendi: Kosmopolitanisme Se-“Urang Banjar

Djohan Effendi: Kosmopolitanisme Se-“Urang Banjar

Djohan Effendi: Kosmopolitanisme Se-“Urang Banjar

Di Yogyakarta, atau tepatnya di jalan Mataram, berseberangan dengan Hotel Melia Purosani, persis di pojok jalan, ada sebuah masjid mungil. Quwwatul Islam namanya. Masjid ini didirikan oleh para saudagar asal Banjar, Kalimantan Selatan, beberapa warsa yang lalu, dan awalnya dimaksudkan sebagai ‘transito’ bagi para pendatang Banjar di Yogyakarta, baik mereka yang hendak mengadu nasib maupun yang ingin menuntut ilmu di Yogyakarta. Pendirinya konon berwasiat agar pengurus takmir masjid ini selalu orang Banjar, supaya ia selalu bisa menjadi ‘pusat’ pertemuan dan komunikasi orang-orang Banjar di Yogyakarta. Memang pada tahun-tahun pendiriannya, belum ada asrama daerah milik warga Kalimantan Selatan yang bisa menjadi pusat pertemuan dan kegiatan, serta komunikasi pasti masih sulit. Karena itu, fungsi masjid itu –di luar untuk kepentingan ibadah— sangat penting bagi warga Banjar di Yogyakarta. Dan sesuai dengan wasiat, hingga sekarang pengurus takmirnya selalu orang asal atau keturunan Banjar yang bermukim di Yogyakarta. Meski peranan masa lalunya telah merosot, hingga kini masjid itu tetap menjadi pusat pertemuan warga Banjar di Yogyakarta.

Suatu kali, di awal di pertengahan 1990-an, tak ada mendung tak ada petir, saya diundang rapat pemilihan pengurus baru masjid tersebut. Saya tidak aktif dan tidak terlalu suka dengan perhimpunan yang bersifat etnis, jadi saya tidak tahu mengapa saya diundang. Tapi dengan berbagai pertimbangan, saya memutuskan tetap datang.

Ada satu pembicaraan dalam pertemuan itu yang terus saya ingat sampai sekarang. “Tahu kada. Sabujurannya kita tu baisi orang panting. Panulis pidato presiden (baca: Soeharto) tu orang Banjar. Pajabat jua di depag pusat. Banyak kalo nang kada tahu. Cuma sidin ni urang Ahmadiyah. Jadi kada tapi cucuk lawan kita,” demikian kira-kira ungkap orang tersebut.

Meski nama ‘orang panting’ itu tidak disebut dengan jelas, saya yakin orang yang dimaksud adalah Djohan Effendi (DE) atau Pak Djohan sebagai biasa saya menyebut.  Bagi orang itu, DE dianggap sebagai orang yang sukses dan sepatutnya menjadi contoh bagi para orang Banjar lainnya. Bagi etnis kecil seperti ‘Banjar,’ kehadiran warga mereka sebagai tokoh di level nasional, sangatlah membanggakan. Tapi pada saat yang sama, rupanya orang itu menyayangkan banyak orang Banjar yang tak kenal bahwa penulis pidato presiden dan pejabat tinggi di depag itu adalah DE, yang orang Banjar. Selain itu, ia agak menyesal juga karena, menurutnya, DE mengikuti paham Ahmadiyah.

Anggapan DE sebagai penganut Ahmadiyah ini juga pernah saya dengar dari seorang dosen asal Banjar di IAIN Sunan Kalijaga, yang masa kuliahnya sezaman dengan DE. Pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan serupa tentang Pak Djohan pada masa-masa berikutnya sering juga muncul.

Tak Menonjolkan Diri Sebagai ‘Banjar’

Bukan hanya warga (asal) Banjar, orang kebanyakan pun, menurutku, sering tidak tahu kalau DE adalah orang Banjar. Ia sudah barang tentu dikenal sebagai seorang ‘tokoh’, salah seorang pejuang demokrasi, penganjur perdamaian, dan penggiat dialog antaragama, serta atribut-atribut lain seperti peneliti utama Departemen Agama, penulis naskah pidato presiden, pendukung Forum Demokrasi (FD), Kepala Balitbang Depag, dan puncaknya, menteri sekretaris kabinet era Presiden Abdurrahman Wahid. Tapi saya yakin sedikit orang –termasuk orang Banjar sendiri— yang tahu kalau dia orang Banjar. Ini beda misalnya dengan tokoh-tokoh nasional kelahiran atau berdarah Banjar lain seperti K. H. Idham Chalid (Mantan Ketua PBNU dan Wakil Perdana Menteri), K. H. Hasan Basri alm. (Mantan Ketua MUI), atau yang lebih belakangan Sa’adillah Mursjid (alm.), menteri sekretaris kabinet era Soeharto  atau Sjamsul Mu’arif, Menteri Komunikasi & Informasi era Megawati. Mereka semua dikenal sebagai orang Banjar, lebih-lebih di daerah Banjar sendiri. Nama DE tidak demikian, meski dia sebenarnya menduduki posisi prestise, menjadi penulis naskah pidato Presiden Soeharto dan Menteri Sekretaris Kabinet. Mungkin karena kebanyakan mereka itu bergerak di wilayah politik, yang memang membutuhkan dukungan, termasuk sebagai ‘representasi’ daerah, sedangkan DE bergerak di ranah pendidikan dan pemikiran. Namun, menurut saya, ada satu sebab lagi: DE memang sangat jarang, untuk tidak mengatakan sama sekali tidak pernah, menampilkan atau menonjolkan dirinya sebagai orang Banjar.

Menurutnya, sepanjang ia belajar di akhir 1950-an dan awal 1960-an, ia hanya pernah sebentar bermukim di asrama daerah (tepatnya di asrama Kalimantan Selatan Jalan Jetis, sekarang Asrama Lambung Mangkurat), itu pun ketika dia sedang sakit keras menjelang masa akhir studinya di Yogyakarta. Secara umum ia tak pernah tinggal di asrama mahasiswa daerah atau ikut aktif di organisasi-organisasi kedaerahan, seperti Persatuan Mahasiswa Kalimantan Selatan (PMKS) atau Kerukunan Tatuha Banjar (Katabayo). Bergabung dengan teman-teman sedaerah, dalam pandangannya, bisa membuat orang berpikiran sempit dan kerdil.

Sepanjang puluhan pertemuan saya dengan DE, hanya sekali seingat saya, “kami” sebagai sama-sama berasal dari Banjar membincangkan topik yang berkaitan dengan Banjar, yaitu pentingnya riset dan penelitian sejarah secara khusus terhadap peristiwa pemberontakan Darul Islam (DI) di Kalimantan Selatan dengan tokohnya Ibnu Hajar. Kebetulan peristiwa itu berlangsung di sekitar Kandangan, kawasan kampung halaman DE sendiri. Kalau sejarah DI/TII di daerah-daerah lain, Aceh, Sulawesi Selatan dan di Jawa Barat telah ditulis secara mendalam, seperti karya Anhar Gonggong, Abdul Qahhar Mudzhakar, Dari Patriot Hingga Pemberontak (edisi revisi, Ombak, 2004) untuk peristiwa di Sulawesi Selatan, pemberontakan Ibnu Hajar, menurut kami waktu itu, belum memperoleh perhatian sejarah yang memadai. Karya Cees Van Dick, Rebellion Under Banner Islam, yang edisi Indonesianya diterbitkan oleh Penerbit Grafiti beberapa tahun lampau, terlalu bersifat umum, dipandu oleh perspektif nasional, dan bersandar pada dokumen-dokumen yang dibuat pemerintah atau berita-berita resmi saja.

Bagi kami waktu itu, riset ini penting untuk mengetahui apa sesungguhnya yang terjadi? Mengapa mereka disersi? Benarkah mereka menginginkan ‘negara Islam’? Ataukah ini reaksi spontan saja terhadap kebijakan “rasionalisasi” Hatta waktu itu, dan lain-lain? Menurut DE, beberapa tokoh pemberontakan itu masih hidup —seraya menyebut beberapa nama— dan perlu segera diwawancarai secara mendalam sebagai basis untuk menulis sejarah dengan perspektif lokal. Sayang, pembicaraan kami sekitar lima belas tahunan yang lalu ini, hanya tinggal pembicaraan. Gagasan itu tidak pernah terealisir dan menguap begitu saja.

Saya lupa mengapa kala itu tidak mengusulkan agar Litbang Depag saja yang mengerjakan proyek riset itu. Bukankah Pak Djohan sendiri peneliti utama di Depag? Tapi seandainya pun diusulkan, saya tidak yakin juga apakah DE sudi menerima, karena itu sudah sebentuk ‘kolusi’ yang cukup menggejala juga di dunia penelitian kita.

Yang jelas, sebagai peneliti di Departemen Agama yang sempat memegang posisi decision maker –sejauh penelusuran saya— DE tak pernah melakukan penelitian di Kalimantan Selatan. Ini agak mengherankan dan menarik, karena biasanya peneliti di Indonesia, entah yang berbasis di perguruan tinggi maupun di departemen pemerintah, kerap kali meneliti masyarakat di kampung halamannya sendiri dengan motif yang kebanyakan bersifat praktis-pragmatis: mulai kemudahan memperoleh akses informasi hingga sekaligus pulang kampung halaman secara gratis. Saya yakin DE ingin bersifat profesional dan menjaga obyektivitas sebagai peneliti, suatu sikap yang patut dipuji.

Orang Banjar yang Tak Biasa

Sebagai orang Banjar, menurut saya, DE bukanlah orang Banjar yang lazim. Tentu saja, ini dengan pengandaian kita percaya pada pandangan ‘esensialis(me)’ dalam kebudayaan yang meyakini ada suatu karakter budaya yang melekat dalam diri seseorang sesuai dengan identitas etnis, agama, ras atau warna kulitnya. Esensialisme ini dalam praktik sehari-harinya secara kasar  kita kenali berupa ‘stereotipe’ yang biasa ditempelkan pada seseorang yang memiliki identitas tertentu. Setiap suku karena itu memiliki stereotipenya sendiri. Orang Banjar, sebagai bagian dari subetnik Melayu misalnya, dianggap memiliki sikap yang ‘keras’, konsumtif, dan memiliki gengsi yang tinggi, serta agak malas. Kalau berbicara, nada suaranya biasanya tinggi dan lantang. Tapi sebagaimana rumus stereotipe, ia memiliki kebenaran dan sekaligus kekeliruannya sendiri. Ia bisa tepat juga bisa salah. Kenyataannya memang banyak orang Banjar yang memiliki karakter demikian. Tapi ketika ditempelkan ke sosok DE, hampir seluruh stereotipe orang Banjar itu meleset.

DE dalam banyak hal adalah sosok yang pendiam dan lembut. Siapapun yang mengenalnya selalu punya kesan ini. Ia tidak banyak omong dan lebih senang mendengarkan. Kalau berbicara seperlunya saja. Dan kalau berbicara, suaranya pelan dan cenderung lambat. Ini pembawaan yang tak umum pada orang Banjar. Apalagi kalau hal ini dikaitkan dengan daerah asal DE di Kalimantan Selatan, yaitu Kandangan, sebuah daerah di Kalimantan (Selatan) yang dikenal (lagi-lagi stereotipe) sebagai orang-orang yang pemberani, memiliki karakter keras, gampang panas, dan tak segan berkelahi. Kandangan juga dikenal sebagai daerah pencetak para jagoan lokal di Kalimantan, bahkan konon para jagoan asal daerah ini telah berkiprah di terminal-terminal dan pelabuhan-pelabuhan di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Betapa jauhnya sosok Pak Djohan dari citra seperti itu.

Saya juga tak pernah melihat Pak Djohan tertawa terbahak-bahak dengan mulut terbuka lebar, yang biasa muncul ketika seorang Banjar terlibat dalam aksi spontan bapapakalahan. Ini adalah tradisi –yang tak menyenangkan terutama bagi mereka yang kalah dan jadi korban, dan ‘menyehatkan’ otot-otot tegang mereka yang mendengarkan— di kalangan orang Banjar, suatu kegiatan saling mengejek dan menyerang, yang biasanya berlangsung di warung teh, acara pertemuan, atau di pinggir sungai. Tak jarang tradisi ini membuahkan permusuhan dan perkelahian. Jauh dari tradisi seperti itu, pada kebiasaannya, Pak Djohan hanya tersenyum kecil jika mendengar sesuatu yang oleh rekan-rekan ngobrol-nya dianggap lucu. Penampilan seperti ini lalu mengesankannya sebagai orang yang selalu serius.

Demikian juga dalam pandangan dan gaya hidup. DE jauh sekali dari kesan orang Banjar, –lebih-lebih sebagai orang Banjar yang sukses dan terkenal—, yang biasanya senang mengenakan pakaian yang mahal, kendaraan yang bagus, dan penampilan yang hebat, serta atribut-atribut yang gebyar lainnya. Dalam praktik hidup sehari-hari, DE sangat sederhana dan asketik, cenderung menghindar dari kegiatan-kegiatan yang berbau hura-hura dan pesta.

Stereotipe orang Banjar lainnya adalah suka kawin dan penggemar poligami. Bukan hanya orang kaya atau ulama, lelaki yang ekonominya pas-pasan pun tak sedikit yang berpoligami. Sedemikian stereotipnya sampai ada lelucon di sana: istri satu itu wajar, istri dua itu baru belajar, istri tiga kurang ajar, dan istri empat? Nah, itu baru orang Banjar. Pak Djohan sudah barang tentu bukan orang Banjar jenis ini. Dalam banyak hal, bahkan Pak Djohan punya perhatian dan pembelaan serius terhadap kedudukan kaum perempuan.  Periode dia bekerja di Kantor Kerapatan Qadhi di Amuntai pada awal dasawarsa 1960, di mana dia banyak bersentuhan dengan masalah-masalah pengadilan agama, memberikannya banyak pengalaman betapa lemahnya posisi perempuan sebagai isteri dan membuatnya kritis terhadap fikih perempuan yang berlaku selama ini.

Pribadi yang Selalu ‘Mencari’

Banjar, mengikuti pendapat antropolog Judith Nagata beberapa tahun lampau, boleh jadi merupakan salah satu suku di Indonesia ini mana identitas kesukuan bertumpang tindih dengan identitas keagamaan. Agama ya suku, suku ya agama. Kebanjaran sejajar dengan keislaman. Hampir-hampir tak ada orang Banjar yang agamanya non-Islam, kecuali dia konversi, yang secara sosial pasti akan menuai masalah, atau ia pendatang dari luar (Jawa atau Manado misalnya) yang setelah bertahun-tahun tinggal di wilayah Banjar, dan terutama karena faktor bahasa, mengaku ‘orang Banjar.’

Dengan identitas yang tumpang tindih demikian, orientasi keagamaan orang Banjar boleh dibilang cenderung eksklusif. Identitas keislaman mereka sangatlah kuat  dan memiliki gaya ‘truth claim’-nya sendiri. Dengan latar itu, jika dineracakan, kecenderungan orang Banjar untuk menjadi ‘radikal’ jauh lebih besar daripada  untuk menjadi ‘pluralis.’ Masyarakat Banjar adalah mayarakat yang monolitik sehingga tak ada lingkungan plural dalam pengalaman sosial dan kehidupan mereka. Memang ada Dayak (Meratus) yang menjadi tetangga mereka, yang dianggap sebagai ‘saudara tuha,’ yang kebanyakan menganut Agama Kaharingan atau sebagian konversi ke Kristen. Tapi batas-batas kehidupan sosial orang Banjar dan Dayak (Meratus) ini sangat terpisah. Dalam praktik sehari-hari, kebanyakan orang Banjar merasa lebih superior secara budaya dan memandang Dayak sebagai  ‘orang yang tak beragama’ dan ‘bukit,’ keduanya bernada nyinyir dan pejoratif. Dengan pandangan ini, orang Banjar merasa perlu ‘mengislamkan’ orang Dayak.

Seperti keluarga Banjar lainnya, keluarga DE –sebagaimana pernah ditulisnya beberapa tahun lampau dalam esai “Arti Hamka Bagi keluarga Kami” (1977) untuk menyambut 70 tahun Hamka— adalah keluarga “kaum tuha,” ini sebutan untuk kalangan Islam tradisional di kawasan Banjar sebagai lawan terhadap ‘kaum muda’ atau biasa disebut juga Kaum Wahabi. Sampai sekarang pun, Kalimantan Selatan tetap menjadi basis penting ‘Islam kaum tuha’ di luar Jawa, yang dekat dengan NU atau al-Washliyah. Kakeknya adalah orang yang keras terhadap mereka yang ‘nyebal’ dan menjadi pengikut ‘kaum muda.’ Orang tua dan guru-guru agamanya semuanya adalah pengikut ‘kaum tuha.’ Dan tentu saja, pendidikan keagamaan masa kecilnya pun dilalui dalam pola pendidikan agama ‘kaum tuha’ ini. Saya bisa membayangkan bagaimana sengitnya pertentangan ‘kaum tuha’ dan ‘kaum muda’ ini pada masa kecil DE, karena pada masa saya kecil di tahun 1970-an pun, pertentangan itu masih terus berlangsung.

Beruntung DE mempunyai orang tua yang agak moderat dan senang membaca. Ayahnya adalah pembaca Pembela Islam dan Al-Lisan yang diterbitkan Persatuan Islam (Persis), juga Pedoman Masyarakat dan Panji Islam yang diterbitkan kalangan muda di Medan. Menurut DE, karena pengaruh orang tuanya dan bacaan masa kecil itulah, ia pada masa sekolah menengah lalu secara kultural menempatkan dirinya sebagai pengikut ‘kaum muda’ dengan mendaftarkan diri sebagai anggota Persis.

Di tengah masyarakat dan keluarga yang sebagian besar para pemeluk teguh ajaran ‘kaum tuha,’ pilihannya bergabung ke Persis (yang baginya waktu itu jauh lebih serius memberantas ‘TBC’ (takhayul, bid’ah, khurafat) daripada Muhammadiyah) sungguh bukan suatu pilihan yang gampang dan mudah. Ia tentu menghadapi dilema-dilema intelektual dan sosial yang mendalam. Ia pastilah harus ‘berkelahi’ dengan lingkungan keluarga dan masyarakat sekitarnya. Tapi sebagai respon terhadap kehidupan agama masyarakat yang dianggapnya ‘beku,’ pilihan itu harus diambil dengan semangat memeluk yang tak kalah teguhnya pula.

Tapi ternyata ini adalah bagian saja dari pencarian intelektual dan spiritualnya. Persis bukanlah terminal akhir pengembaraan keagamaannnya. Didasari pada pertanyaan-pertanyaan mengenai ‘hakikat’ agama dan kemanusiaan, pengembaraannya terus berlanjut. Ketika ia merasa bosan dan tak banyak menemukan jawaban di dalam pemikiran keagamaan salafi, ia memasuki pikiran-pikiran keagamaan Ahmadiyah dan dekat dengan tokoh-tokohnya. Bahkan, diakuinya bahwa bacaan-bacaan terhadap literatur keagamaan Ahmadiyah banyak menyumbang pada pemikiran keagamaannya.

Momen ini perlu saya sebut secara khusus karena hal ini –seperti saya sebut dalam  pembuka tulisan— sering menjadi sumber salah paham terhadap dirinya. Padahal, itu sekali lagi hanya bagian dari fase pengembaraan intelektual dan spiritualnya. Sembari mengakui kontribusi besar Ahmadiyah, dia berbeda paham dalam hal kenabian, al-masih dan imam mahdi, tiga ajaran yang prinsipil di dalam Ahmadiyah.

Penjelasan ini perlu saya tekankan, karena DE selama ini diam dan tidak terlalu menggubris terhadap anggapan-anggapan ini. Saya kira, sebagai seorang ‘pluralis sejati,’ ia memang merasa tak perlu risau dan menanggapi anggapan-anggapan ini. Baginya –dan mestinya bagi ‘kita’ semua— apakah ia Ahmadiyah atau bukan, itu bukan urusan siapapun.

Konsistensinya membela kedudukan dan hak Ahmadiyah –sebagaimana kelompok-kelompok minoritas keagamaan lainnya— untuk hidup di bumi Pancasila ini, membuat anggapan ini, bertahan dan direproduksi terus-menerus. Barangkali ini sebagian kecil dari resiko yang harus diterima seorang pejuang dan pemikir sejati: disalahpahami. Saya ingat cerita Pak Djohan ketika membela hak sekte Seksi Jehovah. Lepas dari cara-caranya yang agresif dan sangat ‘mengganggu’ dalam menyiarkan dan mengkabarkan kebenaran agamanya, Seksi Yehovah bagi Pak Djohan tetap berhak hidup di bumi pertiwi dan pelarangan terhadapnya secara hukum tidak bisa dibenarkan. Besoknya, kata Pak Djohan, ia didatangi oleh pemeluk Seksi Yehovah, dianggap sebagai orang yang telah menerima ‘petunjuk’-Nya dan diajak segera bergabung ke dalam kelompok keagamaan tersebut.

Sejak bergabung ke dalam HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) pada tahun 1962, hubungan emosional dan organisasionalnya dengan Ahmadiyah terputus. Namun, hubungan silaturrahminya dengan mereka tetaplah berlangsung, sebagaimana juga dengan kalangan anggota HMI yang –sebagai bagian dari pengembaraan intelektual dan keagamaannya— juga ia tinggalkan pada 1969.

Sejak itu, saya kira, DE terbang dan mengembara ke mana-mana. Ia tak bisa lagi dikurung dan dihentikan dalam satu pemahaman keagamaan saja. Apalagi kini baginya, “…semua pendapat tidaklah mutlak. Kebenarannya bersifat relatif. Organisasi keagamaan bukanlah bagian dari agama dan karena itu menjadi anggota organisasi keagamaan bukanlah bagian dari keberagamaan melainkan sekedar kegiatan sosial. … semua faham atau mazhab tidak seluruhnya benar dan tidak seluruhnya salah. Ia merasa bebas untuk mengambil mana yang kuanggap benar dari faham atau mazhab apapun…” Demikian tulisnya tentang perjalanan hidupnya yang mirip sebuah manifesto. Ia menjadi pluralis sejati.

***

Itulah sedikit catatan saya tentang DE, yang dengan caranya sendiri terus ingin melampaui primordialisme, baik primordialisme kesukuan, keagamaan maupun ras. Sebagai sama-sama berasal dari Banjar, kami memiliki latar belakang masyarakat yang serupa. Hanya semangat zaman yang berbeda. Jika dulu pada zaman mudanya, DE dipengaruhi bacaan-bacaan yang ditulis mereka yang disebut sebagai ‘kaum muda,’ dan dengan itu semua ‘meloncat’ dari tempurung primordialnya, maka dalam periode saya, justru ‘dipengaruhi’ oleh DE dan intelektual-intelektual segenerasinya, Abdurahman Wahid, Th. Sumartana (alm.), Goenawan Mohamad, dan lain-lainnya, yang tidak bisa lagi dikotakkan dalam bingkai ‘kaum tua’ atau pun ‘kaum muda.’ Saya ingat betul, betapa kami sejumlah santri Al-Falah Banjar Baru, Kalimantan-Selatan, termangu-mangu dan heran tapi sekaligus tertantang ketika secara diam-diam membaca sebuah ‘kitab putih’ berjudul Pergolakan Pemikiran Islam, yang disunting oleh DE (dan Ismet Natsir).

Saya tidak pernah menduga bahwa beberapa tahun kemudian saya bisa bertemu dan berkenalan dengan DE, penyunting catatan kontroversial itu. Saya juga tidak tahu sebelumnya, kalau DE ternyata orang Banjar. Persahabatan kami makin karib setelah saya bergabung dengan Dian/Interfidei di awal 1990-an, di mana DE menjadi salah seorang pengurus yayasannya. Dan tentu saja, dalam kerja-kerja kampanye pluralisme dan perdamaian. Dalam suatu diskusi di ICRP, saya pernah mengatakan bahwa DIAN/Interfidei, dengan motornya Th. Sumartana dan DE, adalah pioner ‘swastanisasi dialog antaragama,’ setelah sebelumnya dialog antaragama hanya diselenggarakan dan dikonstruksi oleh pemerintah saja.

Melihat latar keluarga dan riwayat pendidikannya, Pak Djohan mungkin pernah diproyeksikan menjadi ulama. Tapi harapan menjadi ulama –dalam arti yang telah mapan selama ini—mungkin telah dianggap ‘sirna’, karena Pak Djohan telah menjelma menjadi seorang ‘ulama’ dalam arti yang lain, seorang pemikir Islam yang bebas dan pluralis. Kehilangan DE sebagai ulama dalam arti yang pertama itu di masyarakat Banjar yang dari dulu hingga kini terkenal dengan produksi ulamanya, mungkin bukan sebuah ‘kehilangan.’ Karena di daerah ini, regenerasi ulama tak pernah berhenti dan seolah berjalan secara alamiah. Tapi seorang ‘ulama’ seperti Pak Djohan, belum tentu lahir dalam satu generasi. Mengingat latar keislaman di daerahnya yang cenderung monolitik dan eksklusif, betapa besar arti Pak Djohan sebagai ‘ulama’ tersebut.

Bagi saya, sumbangan besar DE pada Banjar justru terketak pada ketiadaan sumbangannya yang bernilai ekonomis-pragmatis sebagaimana biasa tokoh-tokoh daerah yang menjadi tokoh nasional selama ini. Sumbangan DE, adalah dirinya sendiri, dengan segala pengalaman, pengembaraan, pengetahuan, dan perjuangannya sebagai seorang pejuang demokrasi dan pluralisme. Pak Djohan adalah sebuah preseden, sebuah uswah bagi generasi ‘santri’ Banjar berikutnya, bahwa sangat bisa dan terbuka kemungkinan melampaui gaya keislaman dan kebanjaran yang telah mapan, monolitik, dan eksklusif selama ini. Inilah alasan saya mengungkit-ungkit ‘aspek primordial’-nya itu, demi melampaui ‘primordialisme’ itu sendiri. []

Catatan: Tulisan ini merupakan pengantar untuk buku biografi Dr. Djohan Effendy: Sang Pelintas Batas. Djohan adalah mantan Menteri Sekretaris Kabinet era Gus Dur, penulis pidato Presiden Soeharto, dan salah seorang tokoh pembaruharuan Islam Indonesia. 2009 yang lalu, beliau berusia 70 tahun. Rekan-rekannya merayakannya dengan di antaranya menerbitkan biografi beliau dan sebuah persembahan dari sejumlah aktivis dan intelektual, Merayakan Kebebasan Beragama: Persembahan 70 tahun Djohan Effendy. Kedua buku tersebut diterbitkan oleh ICRP dan Kompas, Jakarta (HS).