Djam’ijatul Muslimin Indonesia, selanjutnya disingkat DMI, merupakan organisasi Islam di bawah naungan Partai Nasional Indonesia (PNI). Sumber sejarah tentang DMI ini sangatlah terbatas. Dalam penulisan artikel ini saya lebih banyak merujuk pada dokumentasi Kongres Nasional ke-1 Djam’ijatul Muslimin Indonesia tahun 1964 yang diterbitkan oleh panitia kongres. Menurut keterangan Roeslan Abdulgani, DMI didirikan tahun 1957. Yang ditunjuk sebagai ketua umum pada waktu itu adalah Sabilal Rasjad, ketua 1 Osa Maliki, ketua II KH. Rachmatullah, dan Sekretaris Jendral E. Moh. Mansjur.
DMI dibentuk untuk merealisasikan semangat Api Islam yang sudah digaungkan sejak lama oleh Bung Karno, terutama setelah tahun 1930-an. Api Islam ini penting terus digali untuk mewujudkan masyarakat baru yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, Pancasila, dan bebas dari bersih kolonialisme dan imperialisme. Sebab tugas umat Islam bukan hanya ibadah di masjid, tetapi juga bertanggung-jawab untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik di masyarakat. Hal ini sebagaimana dikatakan Bung Karno, dikutip dari Roeslan Abdulgani, bahwa Islam is not only a religion of the mosque, but a religion of life and struggle. Artinya, beramal dan berjuang untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera juga bagian dari ajaran Islam dan masuk dalam kategori ibadah.
Mewujudkan “dunia baru” agenda penting dalam gerakan DMI. Ini dapat dimaklumi karena Indonesia baru merdeka dari penjajahan, sehingga dibutuhkan rumusan konseptual tentang dunia yang idela dan bagaimana penerjemahannya dalam konteks negara dan masyarakat. Dalam proses menuju nilai baru itu perlu kiranya melibatkan umat Islam, mengingat jumlah pemeluknya mayoritas Indonesia, supaya sejalan dengan semangat revolusioner yang menjadi agenda utama pemerintah pada masa itu.
Apalagi, keberadaan kaum kolonialis, neo-kolonialis, dan imperialis di negara-negara Islam, dalam pandangan Sabilal Rasjad, menyebabkan sinar Islam semakin memudar beberapa abad belakangan ini. Islam kerapkali menjadi alat kekuasan kolonialis. Pemuka dan pemimpin islam diadu-domba dengan membahas masalah khilafah yang tidak ada habisnya, yang sebenarnya bukan masalah pokok, dan merusak persatuan.
Sabilal Rasjad menegaskan bahwa, “Djam’ijatul Muslimin Indonesia diharapkan membawa “Rethinking of Islam” di kalangan kaum muslimin di Indonesia, yang kesemuanya itu memang sesuai dengan nada dan kebutuhan revolusi bangsa Indonesia, menggalang seluruh kekuatan progresif revolusioner khususnya di kalangan kaum muslimin Indonesia dan umumnya di kalangan bangsa Indonesia, menuju sosialisme Indonesia yang berdasarkan Pancasila, serta membina Dunia Baru yang bersih dari imperialisme/kolonialisme dengan segala bentuk manifesnya.”
“Rethinking of Islam”, atau dalam bahasa lain pembaharuan Islam, sangat ditekankan dalam gerakan DMI. Ajaran Islam yang dikembang di sini adalah Islam yang progresif, bukan yang kolot dan jumud. Hal ini menjadi perhatian para pengurus supaya Islam yang dipahami anggota DMI tidak menghambat lajunya revolusi. Seperti kata Ali Sastroamidjojo, ketua Umum PNI, DMI berkembang menjadi gerakan masa Marhaen yang di dalamnya menyala-nyala Api Islam, membasmi segala kokolotan dan ketahayulan yang dapat menghambat perjuangan menyelesaikan revolusi kita.
Kemudian, Roeslan Abdulgani menambahkan, ada tiga hal yang menjadi landasan gerakan DMI: politik revolusioner, sosial-revolusioner, dan religious revolusioner. Religius revolusioner maksudnya, DMI harus menghidupkan api ajaran Islam yang progresif, memupuk tolernasi-positif terhadap agama lain, membangkitkan jiwa patritism yang merupakan salah satu bagian dari iman, yaitu hubbul wathon minal iman, dan membuang jauh-jauh ajaran yang kolot dan formalisme kosong.
Maka dari itu, semangat Api Islam, Pancasila, dan dunia baru merupakan ketiga kata kunci penting dalam perjalanan DMI. Ketiga hal ini saling berkaitan dan tidak bisa dilepaskan. Hal ini sebagaimana tercermin dalam mars DMI:
Djam’ijatul Muslimin Indonesia
Barisan Pejuang Pancasila
Pengemban Manipol Haluan Negara
Pedoman Agung Al-Qur’an dan Sunnah
Ayo seluruh barisan kita
Ayo tegak membela agama
Gali api Islam dengan penuh bersatu
Membentuk dunia baru
Seputar Kongres Djam’ijatul Muslimin Indonesia
Tujuh tahun setelah pendiriannya, DMI baru bisa menyelenggarakan kongres nasional pertama, tahun 1964. Kongres berlangsung selama lima hari, dari 25 sampai 30 Agustus 1965 di Cipayung dan Jakarta. Pada saat kongres pertama ini dilaksanakan, pengakuan Ali Sastroamidjojo, DMI sudah memiliki sekitar 200 cabang di berbagai wilayah Indonesia ataupun luar negeri. Gerakan ini ternyata tidak hanya menarik perhatian masyarakat Indonesia di dalam negeri, tetapi juga masyarakat luar negeri.
“Djam’ijatul Muslimin Indonesia dewasa ini telah berkembang di mana-mana di seluruh tanah air, begitu juga mendapat perhatian besar dari dunia Islam di luar negeri. Perkembangan yang pesat tersebut, tentu di samping aktivitas para pengurusnya, yang terutama adalah karena DMI membawa “nafas baru”, karena DMI diharapkan akan membawa progres di dalam perkembangan Islam di Indonesia, karena DMI sanggup membawa toleransi di dalam perjuangannya,” Jelas Ketua Panitia Kongres Moh. Mansjur.
Kongres nasional pertama diadakan untuk merespons beberapa hal, di antaranya rencana pelaksanaan Konfrensi Islam Asia Afrika (KIAA) di Bandung dan Dwikora. KIAA akan diadakan beberapa bulan setelah kongres DMI. Sabilal Rasjad, sebagai ketua Umum, menganggap penting untuk mendiskusikan pelaksanaanya itu. Apalagi, dua bulan sebelum kongres, tepatnya juni 1964, sudah diadakan Konfrensi Pendahuluan Konfrensi Islam Asia Afrika (KP-KIAA).
Dari sisi pelaksanaannya, KP-KIAA memang terlihat berhasil, tetapi itu bukan berati tanpa kekurangan. Salah satu kekurangannya menurut Sabilal Rasjad adalah peserta yang hadir tidaklah memuaskan. Tidak seimbang antara energi yang dikeluarkan, nama besar yang dipertaruhkan, sponsor yang sudah direncanakan, dengan hasil yang didapat. Hal ini menjadi catatan ke depannya, supaya KIAA yang akan dilaksanakan benar-benar berjalan sesuai dengan apa yang diharapakan.
Selain itu, kongres juga diadakan dalam situasi Dwikora sedang bergejolak di tengah masyarakat. Tema ini juga menjadi bahasan serius dalam diskusi kongres. Gubernur Jakarta Raya Soemarno Sosroatmodjo berharap agar kongres ini juga merespons isu ini dan mendapatkan resonansinya di dalam kongres, supaya peserta kongres memiliki semangat untuk mensukseskan Dwikora dan menghantarkan proyek neo-kolonialisme Malaysia ke dalam liang kuburnya.
Dalam sambutannya, Sabilal Rasjad menyebut tema besar kongres ini adalah “Memudahkan pengertian Islam to build the world a new (dunia baru)”. Tema besar ini kemudian diturunkan menjadi lima bahasan. Kelima bahasan itu sebagai berikut:
- Mempersatukan potensi umat Islam yang merupakan sebagaian besar dari pada rakyat Indonesia dalam rangka meningkatkan dan mengamankan revolusi bangsa.
- Mempopulerkan Pancasila dan Manipol dilihat dari sudut kacamata Islam yang progresif revolusioner sehingga menjadi milik tiap-tiap muslimin Indonesia khususnya dan rakyat Indonesia umumnya.
- Mensukseskan perjuangan bangsa Indonesia di dalam memusnahkan Imperialisme, kolonialisme dalam segala bentuk manifestasinya, terutama mensukseskan DWIKORA untuk menghancurkan Neo-Kolonialisme Malaysia sebagai proyek imperialis Inggris.
- Mempersiapkan diri untuk mensukseskan K.I.A.A dalam rangka ketiga kerangka Revolusi Bangsa Indonesia yang digariskan dalam Manipol.
- Mengkonsolidasi organisasi DMI ke dalam guna mencapai tujuan yang dimaksudkan di atas.
Di antara topik khusus yang didiskusikan dalam kongres adalah Marhaenisme-Pancasila, dan Islam; Islam dan perjuangan sepanjang masa; umat Islam sebagai potensi nasional dalam mensukseskan revolusi; menggali api Islam untuk memudahkan pengertian “Islam to build the world a new; dan lain-lain. Yang diminta menjadi narasumber untuk mengisi sebagian topik ini adalah Presiden Soekarno, ketua MPRS Dr. Chairul Saleh, Kasab Jendral Dr. A.H. Nasution, Menko Kesejahteraan Rakyat KH. Muljadi Djojomartono, dan Menko Bidang Hubungan Masyarakat Dr. H. Roeslan Abdulgani.