Abdul Wahid bin Yazid suatu ketika berangkat haji. Dalam rombongannya, ada salah seorang pemuda yang tak henti-hentinya membaca shalawat. Bahkan dalam keadaan berdiri sekalipun, ia membaca shalawat. Hal demikian membuatnya penasaran. Ia pun bertanya langsung kepada pemuda itu, ada apa gerangan dan apa sebab ia melakukan amalan itu.
“Tolong beri tahu aku, apa yang menyebabkanmu membaca shalawat secara terus menerus itu?” tanya Abdul Wahid.
Pemuda itu bercerita bahwa suatu ketika saat ia pergi ke Mekkah untuk pertama kali, ia berangkat bersama ayahnya. Sepulang dari sana, di suatu tempat, ternyata ayahnya meninggal dunia. Saat itu, ia sedang tidur, sehingga tak mengetahui ihwal wafatnya sanga ayah.
Lalu, datanglah seseorang yang membangunkannya dan mengabarkan bahwa ayahnya meninggal. Namun tak hanya itu, ia juga mengabarkan bahwa wajah ayahnya menghitam.
Dalam keadaan panik, ia pun bangun dan menuju melihat langsung keadaan ayahnya. Benar saja, ketika ia buka kain penutup wajah ayah yang sudah terbujur itu, ia mendapati wajah ayahnya benar-benar hitam. Tak ayal, hal tersebut membuatnya begitu takut dan khawatir.
Saat itu, meski dalam keadaan sedih yang begitu mendalam, ia ternyata masih sangat mengantuk. Ia pun mau tidak mau akhirnya tidur. Dalam tidurnya itu, ia bermimpi sesuatu yang aneh.
Dalam mimpinya, ia melihat ayahnya di kelilingi empat orang berkulit hitam dan masing-masing dari mereka membawa tongkat besi (yang siap memukulnya, pen.). Tiba-tiba saat itu datanglah seorang yang sangat tampan dan memakai pakaian serba hijau.
“Menyingkirlah!” perintah orang tampan ini kepada empat orang yang membawa tongkat itu.
Lelaki itu mendekati ayahnya, lalu mengusap wajahnya dan berkata, “bangkitlah! Allah telah memutihkan wajah ayahmu.”
“Siapakah Anda sehingga engkau berkenan membantu keluarga kami?” tanya pemuda itu.
“Aku Muhammad,” jawab lelaki tampan itu singkat.
Setelah bangun, ia membuka kain penutup wajah ayahnya, dan benar, wajah ayahnya menjadi putih. Selepas kejadian itu, ia tak pernah meninggalkan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.
Kisah di atas termaktub dalam Ihya ‘Ulumiddin karya Imam al-Ghazali. Lewat kisah di atas kita mengerti bahwa bukti berterima kasih kepada Nabi, salah satunya, adalah dengan memperbanyak membaca shalawat. Semakin banyak shalawat yang kita baca, berarti semakin kita berterimakasih kepadanya.
Di sisi lain, umat Islam sepakat bahwa Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling berjasa dalam kehidupan setiap muslim di seluruh dunia. Mengapa? Karena dialah yang menunjukkan jalan keislaman. Dengan demikian, berterimakasih kepadanya adalah suatu keniscayaan. Tentang shalawat, Allah SWT berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.” (Al-Ahzab/33:56)
Dalam tafsir Marah Labid karya Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi, dijelaskan bahwa ayat ini menjadi dasar diwajibkannya membaca shalawat dalam shalat menurut mazhab Syafi’i.
Lebih lanjut, Syaikh Nawawi mengungkapkan, sebenarnya shalawat Allah kepada Nabi sudah cukup baginya (Nabi tak membutuhkan shalawat kita). Hanya saja, kita tetap diwajibkan membaca shalawat karena untuk menampakkan keagungan Nabi. Sama halnya ketika Allah memerintahkan kita untuk zikir kepadaNya, padahal sama sekali Dia tak membutuhkannya.
Walhasil, kisah di atas menjadi penyemangat bagi kita untuk terus menerus membaca shalawat kapan dan dimana saja. Selain sebagai bentuk terimakasih kepada Nabi Muhammad Saw, shalawat yang kit abaca juga sebagai bukti kita berharap agar kelak ia berkenan memberi syafaat kepada kita. Allahumma shalli wa sallim ‘ala sayyidina Muhammad…