Nuqud merupakan mata uang yang terdiri atas dinar dan dirham, yang masing-masing komponen penyusunnya terdiri dari emas (dzahab) dan perak (fidlah). Dua-duanya menyatakan satuan besar mata uang, karena bagaimanapun juga, emas dan perak, keduanya adalah entitas logam mulia (jauharatu al-atsman). Karena masyarakat tidak mungkin melakukan transaksi dengan menggunakan dua logam mulia itu disebabkan karena tingginya nilai tukar terhadap barang, maka dalam sejarahnya lalu terbitlah fulus sebagai bentuk satuan terkecil uang, yang berupa mata uang logam dengan bahan dari campuran emas dan tembaga, atau perak dan tembaga, atau bahkan tembaga (al-nuhas) murni. Baik nuqud maupun fulus, keduanya dikalibrasi menurut tingkat kemurnian dan kadarnya demi menyatakan harga (qimah).
Di era modern ini, bahan penyusun uang logam tidak hanya terdiri dari rupa tembaga, melainkan juga aluminium, atau kuningan. Apakah fulus ini termasuk nuqud? Simak ta’rif dari al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah:
النقود لغة جمع نقد ، والنقد العملة من الذهب أو الفضة وغيرهما مما يتعامل به
“Nuqud secara bahasa merupakan jama’ dari naqd. Nuqud yang dipergunakan sebagai alat transaksi pembayaran terbuat dari bahan 1) emas atau 2) perak dan 3) selain keduanya, meliputi barang yang bisa dipergunakan dalam rangka transaksi pembayaran.” (al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah, Juz XLI, 172)
Berdasarkan ta’rif di atas, kita bisa menggarisbawahi bahwa nuqud merupakan entitas alat transaksi pembayaran, baik itu yang terbuat dari bahan emas, perak, dan selain keduanya. Nah, berangkat dari sinilah maka lahir persoalan. Untuk dinar dan dirham dipandang sebagai nuqud adalah sudah mafhum. Sebab, memang para fuqaha dahulu sudah sering menyatakan istilah naqdani, yang artinya menuju pada dinar dan dirham (secara khusus) dan secara umum kepada segala yang terbuat dari keduanya. Itu pula sebabnya muncul istilah madhrub dan maskuk.
Madhrub merupakan istilah bagi emas dan perak yang dicetak dalam bentuk dinar atau dirham. Sementara maskuk, merupakan istilah yang dipergunakan untuk semua entitas emas dan perak, yang ada dalam bentuk selain dinar dan dirham, meliputi emas batangan, lembaran, perhiasan, intinya selain dalam bentuk dinar dan dirham. Yang terpenting asal bahan dasarnya, adalah dari emas dan perak.
أنها اسم للمضروب من الذهب والفضة خاصة ، أطلق عليها الاسم لأنها هي التي كانت تنقد في الأثمان عادة ، سواء دفعت حالا أو بعد أمد ، جيدة كانت أو غير جيدة ، دون غيرهما مما يستعمل للتبادل . ومن عباراتهم الدالة على ذلك قول السرخسي في المبسوط إن الفلوس تروج في ثمن الخسيس من الأشياء دون النفيس ، بخلاف النقود ، فباين بين الفلوس وبين النقود
“Sesungguhnya nuqud itu merupakan istilah bagi emas dan perak yang dicetak secara khusus. Istilah ini dimutlakkan penggunaannya untuk keduanya karena ia dipergunakan untuk menyatakan harga dalam adatnya, baik itu diserahkan dalam sebagai kontan, atau berjangka waktu, dalam kondisi baik atau tidak baik, dan tidak dipergunakan untuk selain keduanya, mencakup semua sarana yang bisa dipakai sebagai sarana pertukaran. Para ulama yang menyatakan demikian ini, termasuk di antaranya adalah al-Sarakhsi dalam kitabnya al-Mabsuth, yaitu: “Sesungguhnya fulus itu disirkulasikan untuk menyatakan harga terendah dari barang, dan bukan untuk harga tertinggi barang, sehingga berbeda dengan nuqud. Karenanya, di sini jelas perbedaan antara fulus dan nuqud.” (al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah, Juz XLI, 172)
Adapun Imam Nawawi dan Imam Al-Rafi’i menyatakan bahwa nuqud yang disyaratkan dalam Qiradh, memiliki makna sebagai :
يشترط في رأس المال أن يكون نقدا ، وهو الدنانير والدراهم المضروبة
“Disyaratkan bahwa modal itu adalah dalam rupa nuqud, yaitu dinar dan dirham yang dicetak.” (al-Mausu’atu al-Fiqhiyyah, Juz XLI, 172)
Nah, berdasar kedua penjelasan dari Imam Sarakhsi, Imam Nawawi dan Imam Al-Rafi’i di atas, maka secara tegas, bahwa fulus bukan termasuk bagian dari nuqud. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah hal ini berlaku secara mutlak? Imam Nawawi dalam Kitabnya Raudlatu al-Thalibin menyatakan demikian:
إن كان في البلد نقد واحد أو نقود يغلب التعامل بواحد منها انصرف العقد إلى المعهود وإن كان فلوسا إلا أن يعين غيره
“Bilamana dalam suatu negeri berlaku adanya satu jenis nuqud saja, atau nuqud yang umum dipergunakan sebagai transaksi pembayaran, (misalnya terdiri dari) salah satu dari dinar atau dirham, maka akad dialihkan kepada media yang dikuatkan dalam negeri itu, meskipun itu berupa fulus, kecuali jika ada ketentuan pembayaran dalam bentuk lain.” (Raudlatu al-Thalibin, Juz 3, halaman 31).
Jika memahami istilah ini, maka fulus itu kedudukannya disamakan dengan nuqud, dengan catatan bila fulus itu merupakan bagian dari media sirkulasi keuangan. Lebih lanjut, Imam Nawawi menyampaikan:
وتقويم المتلف يكون بغالب نقد البلد. فإن كان فيه نقدان فصاعدا، ولا غالب، عين القاضي واحدا للتقويم. ولو غلب من جنس العروض نوع، فهل ينصرف الذكر إليه عند الاطلاق؟ وجهان. أصحهما: ينصرف كالنقد – إلى أن قال – وكما ينصرف العقد إلى النقد الغالب، ينصرف في الصفات إليه أيضا
“Penetapan nilai kadar harga barang yang dirusakkan oleh seseorang adalah dengan berdasar pada nuqudnya negeri itu. Jika di negeri itu berlaku dua jenis nuqud atau lebih, sementara tidak ada satupun darinya yang diutamakan, maka boleh bagi hakim menetapkan nilai harga barang itu berdasar salah satu nuqud yang dipergunakan. Bagaimana bila suatu ketika ada jenis ‘urudl (komoditas) yang berlaku umum sebagai alat tukar di negeri tersebut? Apakah boleh dialihkan dengan menyebut nilai urudl (komuditas) itu sebagai ganti ketika memutuskan perkara? Dalam hal ini ada dua pendapat jawaban. Yang paling shahih adalah dialihkan ke ‘urudh (komuditas) dan berlaku layaknya nuqud. Sampai kemudian beliau menyampaikan: “Maka sebagaimana suatu akad ditetapkan berdasar nuqud yang berlaku di suatu negeri, maka segala sifat yang berkaitan dengan nuqud ghalib (mata uang yang berlaku) juga diserupakan dengan nuqud (emas dan perak).” (Raudlatu al-Thalibin, Juz 3, halaman 32 dan Majmu’ Syarah al-Muhaddzab, Juz IX, halaman 329).
Alhasil, fulus (mata uang logam) menurut definisi ini dan dalam konteks Indonesia, adalah menempati derajatnya nuqud yang terbuat dari emas dan perak. Jadi, ia merupakan barang ribawi.
Apakah pendapat ini dinyatakan hanya oleh Imam Nawawi sendiri? Ternyata tidak. Imam Al-Rafi’i dan Imam Al-Ruyani juga menunjuk pengertian yang sama dengan Imam Nawawi di atas. Khusus pendapat al-Ruyani ini bisa dijumpai dalam Kitab Bahru al-Madzhab fi Furu’i al-Fiqhi al-Imam Al-Syafii, Juz 3, halaman 153, Kitab Zakat. Bahkan dari ketiga pendapat yang disebut, dua pendapat menyatakan kesamaan, yaitu fulus menempati maqamnya nuqud, dan disebut sebagai nuqdi al-balad, dengan catatan berupa syarat yang sama dan telah disampaikan oleh Imam Al-Nawawi di atas.
Alhasil, jika nuqud yang terdiri dari emas dan dirham merupakan barang ribawi, maka sifat dari fulus menjadi mengikut pada yang diserupai. Dengan demikian, fulus adalah masuk dalam kategori sebagai barang ribawi.
Bagaimana dengan uang kertas (auraq)?
Dengan mencermati pada ragam pendapat di atas, uang kertas juga menduduki maqam wasilah pertukaran / transaksi bisnis yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu pula, uang kertas adalah menempati derajat barang ribawi pula.